Opini

Gus Dur dan Wong Cilik

NU Online  ·  Senin, 27 Desember 2010 | 05:26 WIB

Oleh: Nazar Nurdin

Setahun lalu, Abdurrahman Wahid alias Gus Dur ‘resmi’ meninggalkan kita. Banyak warisan pemikiran terlahir dari mantan Presiden ke-4 ini. Warisan itu setidaknya tersimpan kuat dalam memori sebagian masyarakat Indonesia yang secara tulus dan ikhlas mencintai dan menggeluti pemikiran-pemikirannya.

Gus Dur memang telah tiada. Sejatinya, ia tak pernah mati, terutama terkait ide dan gagasan-gagasannya. Sebagaimana penuturan Yenni Wahid (putri alm. Gus Dur), bahwa sosok Gus Dur telah mempunyai tempat tersendiri dalam relung kehidupan masyarakat Indonesia.<> 

Menurutnya, Gus Dur dalam melaksanakan perjuangan dilakukan dengan rasa penuh kejujuran dan keikhlasan. Meski pada akhirnya dikecewakan oleh para ‘sahabat’nya dan para musuhnya, dicaci maki, dikambinghitamkan, bahkan dijadikan ajang pelampiasan oleh banyak kalangan, beliau tidak pernah marah ataupun berkehendak untuk membalaskan dendam. Karena beliau sadar bahwa dendam tidak menyelesaikan suatu masalah. Beliau juga tidak segan untuk terus menegaskan tentang penegakan keadilan meski nyawa menjadi taruhan. Dari sini bisa dilihat bahwa perjuangannya tidak ditujukan untuk mengambil manfaat dengan memperoleh jabatan ataupun popularitas. Ironisnya, jamak dari kita malah berjuang mencari hal demikian.

Satu hal yang pasti, Gus Dur adalah sosok yang luar biasa. Ia begitu fenomenal. Hampir seluruh hidupnya, diabdikan untuk rakyat. Bahkan dalam kondisi darurat –menjelang wafat-, Gus Dur selalu berfikir untuk rakyat. Ia bukan saja pembela wong cilik dan pengayom kaum minoritas, melainkan guru bangsa, bapak demokrasi sekaligus bapak Pluralisme Indonesia.

Bapak Demokrasi

Jika Dunia mengakui Abraham Lincoln sebagai bapak Demokrasi, mestinya Gus Dur juga di gadang-gadang sebagai bapak Demokrasi Indonesia. Pasalnya, ada banyak warisan pemikiran dan kebijakan Gus Dur menyangkut kebebasan berekspresi dan mengeluarkan pendapat. Warisan itu bisa dilihat ketika Gus Dur menjabat sebagai orang pertama di negeri ini. Belum sampai satu jam setelah pelantikan beliau sebagai orang nomor satu di negeri maritim ini, Gus Dur berujar bahwa ‘hanya mereka yang mengerti dan memahami hakikat demokrasi yang akan mampu mengamalkan, memelihara dan menegakkan demokrasi’.

Menurutnya, prinsip-prinsip demokrasi musti didasarkan atas tiga hal, yakni kebebasan, persamaan dan musyawarah. Ketiga konsepsi ini mirip dengan konsep yang dikeluarkan pentolan Gerakan Anti Diskriminasi, Mahatma Gandi dan rumusan sederhana Ali Abdurraziq, (Sumanto, 2010). Bagi suami Shinta Nuriyah ini, konsep demokrasi harus dielaborasikan dengan bentuk yang nyata berupa penyampaian teori dan bentuk keteladanan diri.

Kebebasan dimaknai sebagai bentuk/upaya untuk keluar dari belenggu tirani dan kedzaliman yang merupakan buah dari sistem politik yang hegemonik, yakni sebuah sistem yang tidak memberi sedikitpun ruang untuk aktivitas berfikir dan berekspresi. Gus Dur dengan tegas mengkritik kebijakan Orde Baru yang terus memasung kebebasan dan kreativitas putra bangsa. Hal inilah yang kemudian mendorong beliau untuk terus melancarkan kritik keras kepada penguasa Orde baru.

Sedangkan persamaan berarti kederajatan dalam segala hal; baik sosial, politik, hukum, maupun kebudayaan. Sementara itu, kata ‘musyawarah’ mengandung tujuan untuk menuntaskan pelbagai persoalan kemanusiaan yang universal lewat jalur perundingan secara damai. Mengingat secara etnografis, Indonesia sangat kaya bentuk kearifan lokalnya yang berbeda-beda; kultur, agama, suku, ras, bahasa. Musyawarah menjadi senjata paling ampuh guna mempertautkan mereka, mendialogkan berbagai masalah kemudian mencarikan solusi atas kesepahaman bersama.

Dengan kata lain, Gus Dur memahami hakikat demokrasi sebagai jalan atau proses bukan tujuan akhir. Inilah yang dingin ditegakkan Gus Dur selama lebih dari 32 tahun di bawah bayang-bayang tirani orde baru. Gus Dur pun sadar ketika mengeluarkan konsep demikian, hidupnya menjadi terancam.

Kendati demikian, agaknya Gus Dur terkesan kurang proporsional dalam menerapkan prinsip-prinsip demokrasi dalam sistem birokrasi pemerintahan. Pasalnya, nuansa ‘kiai-santri’ dengan istilahnya kiai ‘khos’ masih menjadi pegangan dalam upaya memimpin negeri ini. Sehingga, dalam taraf tertentu masyarakat melihatnya tidak menampilkan sisi kedemokratisannya.     

Bapak Pluralisme

Satu hal lagi yang diwariskannya kepada kita, yakni wawasan keberagamaan atau pluralisme. Indonesia adalah negara kepulauan yang memiliki peradaban tinggi, suatu negara yang melahirkan pelbagai macam perbedaan. Kiranya wajar, ketika konsep pluralisme digulirkan dan menjadi konsep yang tak terpisahkan dari keberadaan negara ini.

Ketika bicara pluralisme, Gus Dur mengajarkan kita betapa pentingnya keharmonisan dalam nuansa perbedaan. Mengingat konflik laten yang selama ini terjadi diakibatkan adanya konflik SARA (suku, agama, ras dan bahasa). Gus Dur pun sadar, SARA merupakan persoalan yang sangat sensitif, karena menyangkut harkat dan martabat suatu kelompok. Meski berbeda-beda, tapi sejatinya adalah satu tujuan. Inilah yang filosofi yang ingin ditegakkan Gus Dur yang sejalan dengan landasan negara kita, Bhinneka Tunggal Ika yang melindungi segenap warga negara Indonesia.  

Semasa hidupnya, Bapak tiga anak ini sangat senang membela kaum minoritas. Keberaniannya dalam membela wong cilik terlihat begitu kentara. Betapa tidak, Istana Negara (kepresidenan) dibuka selebar-lebarnya bagi masyarakat yang ingin bersilaturrahmi kepadanya. Padahal jika menengok pada masa Orde Baru, dan masa sekarang (KIB I dan II) terjadi jurang pemisah yang begitu lebar antara rakyat dan pemerintah. Dan masih banyak lagi kisah manis yang tertuang dari mantan pengasuh pesantren Ciganjur ini.  

Satu lagi, menurut Gus Dur budaya nusantara memiliki keunikan kultural tersendiri. Betapa tidak, orang-orang nusantara dari berbagai suku (bugis) mampu memadukan dengan tepat antara capaian dan keterampilan dari barat dengan sistem etika (moralitas). Dan kombinasi itulah yang menurut Gus Dur ‘sangat dibutuhkan’ kelak oleh seluruh elemen bangsa.

Akhirnya, sudah setahun berlalu alm. Gus Dur meninggalkan kita semua. Selamat jalan Gus Dur. Semoga amal baktimu diterimya di sisi-Nya.

*) Nazar Nurdin-Pemimpin Redaksi Majalah LPM Justisia Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang