Opini

Gus Dur, Babak Baru Madzhab Indonesia?

NU Online  ·  Jumat, 6 Januari 2017 | 09:30 WIB

Gus Dur, Babak Baru Madzhab Indonesia?

Almaghfurlah KH Abdurrahman Wahid.

Oleh Cahyono

Toleransi yang dibangun bukan sebatas pengejawantahan cinta kasih Tuhan, tetapi bagaimana iman personal mengungkapkan cinta antar sesama. Sesekali ketika menutup perkuliahan, saya diperkenankan untuk memimpin dalam memanjatkan doa pada yang Kuasa dengan cara dan tradisi beragama saya sebagai seorang Muslim tentunya. Di sini lah perasaan bahwa penghayatan akan Tuhan itu sangat beragam, bukan hanya terbatas pada wadah (Agama) saya sebagai Muslim, dan teman-teman sebagai Kristen, justru iman personal itu lebih penting yang tak boleh diintervensi sekalipun itu kekerasan.

Kalau boleh kita menyitir pendapat Gus Dur, dalam salah satu karya monumentalnya, ‘Islamku, Islam Anda, Islam Kita’, di sini Gus Dur hendak menyampaikan soal kemanusiaan dan hak asasi manusia. Baginya, beragama itu bukan hanya teologis tetapi lebih pada antroposentris atau untuk manusia. Jadi, puncak dari beragama itu memanusiakan manusia. Minannas ilal waqi’, karya Hasan Hanafi juga belajar dari Gus Dur. 

Bagi Gus Dur, menjunjung tinggi nilai-nilai keagamaan yang mengandung nilai-nilai kemanusiaan itu tidak mudah. Masih dalam karyanya yang sama, menurut Gus Dur apa yang dimaksud dengan Islamku itu sebagai pengalaman keagamaan personal. Bahwa, manusia memiliki pengalaman tersendiri dalam beragama, dengan itu Gus Dur menjunjung tinggi kemanusiaan. 

Dengan demikian, harapan kemanusiaan dalam menjaga, menghormati dan terlibat dalam pengalaman iman sesama dapat terdiseminasikan lebih luas. Karena, cita-cita untuk Indonesia lebih baik dan bebas dari tindakan-tindakan kekerasan dan diskriminasi, hal ini merupakan harapan mulia bagai semua manusia yang layak dijunjung tinggi dan diperjuangkan. 

Proses pemenuhan ini tentu tidak mudah, setidakya ada usaha yang sistematis dengan melakukan anti diskriminasi. Bagaimana semangat pembebasan untuk anti diskriminasi ini dapat di eksplor kepada masyarakat luas, bahwa diskriminasi merupakan awal dari tindakan kekerasan.

Pengalaman-pengalaman beragama seseorang selalu mendorong tindakan-tindakan sosialnya, tentu yang diharapkan disini adalah tindakan kemanusiaan. Meski toleransi tak berbatas, sepanjang tak berujung pada kekerasan dan intervensi penguasa hal ini bagian dari pemenuhan hak asasi manusia.

Menjaga dan mengamalkan pemikiran Gus Dur menjadi tanggungjawab kita bersama sebagai masyarakat plural. Sosok Bapak Bangsa ini telah melebarkan sayap sebagai pengusung toleransi dengan pendekatan religiusitas dan kemanusiaan. 

Bangsa ini telah belajar dari Gus Dur yang senantiasa mengembangkan pemikiran dan kesadarannya bahwa agama diturunkan ke bumi ini guna kebaikan dan memudahkan kehidupan manusia beserta alam seisinya. Menurutnya, agama hadir bukan untuk memberi beban, menakut-nakuti atau menjadi ancaman bagi agama lain. Agama hadir untuk memudahkan tugas manusia sebagai khalifah di bumi dan mewujudkan kemanusiaan di antara mereka. 

Terlebih Gus Dur juga merupakan sumber gagasan bagi masyarakat akar rumput. Substansi dari kepemimpinan bagi Gus Dur adalah kemaslahatan umat. Salah satu karya monumentalnya, ‘Islamku, Islam Anda, Islam Kita’, di sini Gus Dur hendak menyampaikan soal kemanusiaan dan hak asasi manusia. Baginya, beragama itu bukan hanya teologis tetapi lebih pada antroposentris atau untuk manusia. Jadi, puncak dari beragama itu memanusiakan manusia. Minannas ilal waqi’, karya Hasan Hanafi juga belajar dari Gus Dur. 

Bagi Gus Dur, menjunjung tinggi nilai-nilai keagamaan yang mengandung nilai-nilai kemanusiaan itu tidak mudah. Masih dalam karyanya yang sama, menurut Gus Dur apa yang dimaksud dengan Islamku itu sebagai pengalaman keagamaan personal. Bahwa, manusia memiliki pengalaman tersendiri dalam beragama, dengan itu Gus Dur menjunjung tinggi kemanusiaan.

Pemahaman Gus Dur dalam beragama, seringkali menyatakan Islam dan agama-agama yang ada hanya merupakan salah satu bagian saja dari kehidupan masyarakat bangsa, bukan faktor tunggal. Dengan demikian, posisi dan ajaran agama harus ditempatkan dalam fungsi komplementer bersama nilai-nilai, ideologi atau kelompok yang lain. Menempatkan dan memahami agama sebagai faktor tunggal dan yang paling menentukan hanya akan mendorong lahirnya pemikiran dan tindakan absurd yang bertentangan dengan inti ajaran agama itu sendiri.

Juga sering berbicara soal hukum atau dimensi normatif agama. Namun, bagi Gus Dur norma-norma agama akan berfungsi efektif jika ia bisa menjadi etika sosial yang menyatu dengan kesadaran masyarakat. Tanpa bisa menjadi etika sosial, norma-norma agama akan kehilangan dimensi moral dan etisnya, sehingga manifestasi keberagamaan menjadi kaku dan hitam-putih.

Dalam berdakwah Gus Dur senantiasa mendiseminasikan toleransi di internal dan di antara agama-agama itu sendiri. Tidak pernah merasa paling benar. Bagi Gus Dur, toleransi yang sesungguhnya tidak sekedar hidup berdampingan secara damai dalam suasana saling menghormati dan menghargai, tetapi juga adanya kesadaran dan kesediaan untuk menerima ajaran-ajaran luhur dari agama atau keyakinan berbeda. Dengan toleransi itulah, suasana damai dan dinamis bisa dijaga dan kemuliaan ajaran agama menampakkan wujudnya. 

Kehidupan politik Gus Dur juga mendedikasikan hidupnya untuk mewujudkan demokrasi dan tegaknya hak asasi manusia secara menyeluruh dalam kehidupan masyarakat bangsa. Bagi Gus Dur, demokrasi merupakan manifestasi terbaik dari nilai-nilai luhur agama. Dan dalam sistem demokrasi dimungkinkan umat dari berbagai agama, kepercayaan dan suku bisa bersatu untuk mewujudkan tujuan nasionalnya, serta terlindunginya hak-hak asasi manusia. 

Pada dasarnya, pengalaman beragama orang lain memiliki faham dan misi keagamaan ada perbedaan satu dengan yang lainnya. Sehingga, Gus Dur terus menjaga tradisi bagaimana membuktikan Islam sebagai rumusan di masa yang akan datang. Dalam hal ini, negara tidak memiliki hak untuk intervensi pengalaman beragama seseorang. Relasi Negara dan Agama, Gus Dur mengejawantahkan dengan sederhana, yakni Islamku, Islam Anda, Islam Kita.

Pada kesempatan ini, sepanjang perkembangannya pemikiran Gus Dur bukan tidak mungkin menjadi ‘madzhab’ keislaman di Indonesia itu sah. Karena  madzhab itu tidak terstruktur, bahkan hanya sebatas pegangan hukum dalam cara keberislaman. Maka, guna membentuk keislaman bersama tidak boleh ada intervensi sekalipun kekerasan. Menyitir pendapatnya Ibnu Arabi, mengatakan bahwa iman itu ibarat air. Dapat berubah warna tergantung pada wadahnya, dalam hal ini agama sangat menentukan lahirnya pemahaman iman seseorang.

Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Sosiologi Agama UKSW Salatiga, Jawa Tengah.