Opini

Gerakan Membangun Makam Imam Ghazali di Thus

Kam, 12 Oktober 2017 | 20:00 WIB

Gerakan Membangun Makam Imam Ghazali di Thus

Tempat itu diduga makam Imam Ghazali di Thus

Oleh Abdul Hakim 

Di dunia Islam, baik timur maupun barat, siapa yang tak kenal dengan dengan Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Ahmad ath Thusi (1111 M). Ia dikenal dengan nama Imam Ghazali. Seorang ulama yang berhasil menggagas kaidah-kaidah tasawuf yang terkumpul dalam karya yang terkenal Ihya Ulumuddin (The Revival of Religion Sciences). Karya magnum opus yang hingga saat ini menjadi sumber referensi akademis baik di dunia Timur maupun dunia Barat.

Karya-karya yang dikenal hujjatul Islam itu masih bisa kita nikmati hingga saat ini, tapi sangat disayangkan, tempat jasadnya dikebumikan, tak layak disebut makam ulama. Makamnya di Thus, Khurasan, Iran, yang konon sejak 7 tahun lalu ditemukan, hanya dipagari dengan kawat dan beratapkan bahan seadanya, serta di sekelilingnya terlihat rumput-rumput liar.

Jika itu benar, saya berharap kepada semua pecinta Imam Ghazali, mari bergerak mendermakan hartanya. Jika sudah terkumpul, mari kita meminta ahli arsitek khusus dari Indonesia untuk terbang ke Thus atau Khurasan dengan membawa rombongan para pekerjanya, tentunya dengan perizinan pemerintah di sana, untuk merehab atau pembangunannya. 

Jika hal itu dapat direalisasikan, insyaallah, makam beliau akan semakin hidup dan bisa jadi tujuan destinasi ziarah wali bagi Muslimin pecinta Imam Ghazali dari seluruh dunia.

وَلَا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتًا ۚ بَلْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ

“Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezeki”. 

Ayat tersebut mengatakan, para wali dan syuhada atau mujahid yang berjuang di jalan Allah tidaklah wafat, bahkan mereka hidup disisi Allah SWT. 

Kita bisa mencontoh dengan yang sudah dilakukan Muslimin terhadap makam para dzuriyat Rasul, seperti Sayidina Ali (661 M) dan Sayidina Husein (680 M) di Irak serta Sayidina Ali Arridha (819 M) yang tidak jauh dari makam Imam Ghazali. Begitupun dengan makam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i (820 M) yang berada di Mesir. Di makam-makam terlihat hidup dan memberi banyak manfaat bagi para pecintanya, dimana di sana dibangun perpustaan yang merangsang terjadinya halaqoh-halaqoh majelis ilmu.

Di lain sisi kita patut bersedih terhadap kondisi makam para istri Rasulullah SAW, putra, putri dan cucunya serta para sahabat dan aulia yang berada di Jannatul Baqi' Madinah Al Munawarah. Pada tahun 1925 M, makam mereka dahulu diratakan pemerintah Saudi atas dukungan Wahabiyin antiziarah. 

Mari kita bergerak, jangan kita pandai membangun yayasan dan rumah kita saja, lalu kita melupakan diri untuk merawat makam orang yang kita cintai. 

Jika bukan kita siapa lagi yang dapat merealisasikan gerakan pembangunan ini? Jika bukan kita, maka siapa lagi yang dapat mencerdaskan umat agar semangat dalam menjaga atsar ulama dan aulia. Jika bukan kita maka siapa lagi yang dapat menjaga sejarah mereka? Sudikah kita memiliki generasi yang tak mengenal sejarah hanya karena hilangnya atsar tersebut?


Penulis adalah Sekretaris LTN PCNU Kabupaten Bogor, anggota Gusdurian Depok