Opini

Formula Kaderisasi Eksakta ala PMII

NU Online  ·  Kamis, 16 Agustus 2018 | 01:00 WIB

Oleh: Joko Priyono

Kabar baik berembus—saat mendengar upaya Pengurus Besar (PB) Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) melakukan pengembangan organisasi dengan mendeklarasikan Pengurus Cabang Internasional (PCI), yang masing-masing adalah Maroko, Korea Selatan dan Jerman. Hampir bersamaan itu pula, PMII mulai merambah pada wacana di ranah pengembangan sisi akademik, yakni dengan meluncurkan program pendampingan bagi kader untuk seleksi beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP)—dengan menyaratkan minimal telah melalui tingkatan kaderisasi berupa Pelatihan Kader Lanjut (PKL). Penulis mengira, dua terobosan itu memiliki maksud dan tujuan yang mulia dan baik, dengan beberapa latar belakang yang mendasari.

Tendensi pertama yang ada tentunya adalah perombakan terkait mengenai formula kaderisasi yang ada sejauh ini—yang mana, memang dalam beberapa tahun terakhir wacana yang kuat bahwa tingkatan fakultas atau dalam hal ini berupa Rayon merupakan ujung tombak kaderisasi PMII. Dengan kata lain, anggota maupun kader PMII yang ada digiring untuk memperkuat basic kajian maupun keilmuan yang ada di masing-masing jurusan maupun program studi yang digeluti. Kalau dikorelasikan dengan trilogi PMII, tentu saja erat kaitannya dengan salah satu poin yang termaktub dalam tri khidmat, yaitu berupa profesional.

Tendensi yang kedua, penulis kira adalah terkait wacana pengembangan Islam yang menjadi bagian vital di dalam PMII. Sebagaimana kita ketahui bersama, Islam yang ada di dalam PMII adalah Islam dengan landasan berupa Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja). Kurang lebihnya adalah menjalankan keislaman dengan memegang prinsip-prinsip yang terkandung di dalamnya, antara lain tawasuth (moderat), tasamuh (toleransi), tawazun (keseimbangan), ta’adul (keadilan), serta tatharruf (non-ekstremitasi). Selain itu pula, semenjak banyak dibahas terkait konsep 'Islam Nusantara' hingga menjadi perhatian dari beberapa negara, penulis kira PMII ikut andil dan melibatkan secara organisasi di dalamnya.

Keluar dari topik awal yang penulis sodorkan, setidaknya ada banyak hal yang menjadi titik kelemahan dan hingga saat ini belum menemukan jawaban konkret untuk mengatasinya. Satu di antara dari kelemahan tersebut adalah berupa formula kaderisasi di ranah eksakta. Dalam hal ini berbicara ihwal kaderisasi di ranah anggota maupun kader yang berasal dari kalangan eksakta, seperti di antaranya tersebar di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA), Fakultas Teknik (FT), Fakultas Pertanian (FP) hingga Fakultas Kedokteran (FK).  Betapa sudah menjadi keharusan bagi PMII untuk mulai menggagas secara serius terkait mengenai hal itu.

Wacana

Ada salah satu tulisan yang menarik dalam bunga rampai berjudul Citra Diri PMII yang disunting oleh Mohammad Fajrul Falaakh pada tahun 1998. Buku yang berisikan kumpulan tulisan dari banyak aktivis PMII kala itu—membicarakan perkembangan, kehidupan kultural, dinamika yang terjadi dalam menghadapi zaman hingga tantangan yang dihadapi PMII—yang rata-rata dari tulisan yang ada sudah pernah dimuat di media cetak sebelumnya. Satu tulisan tersebut berjudul PMII, Aswaja dan Ipatek yang ditulis oleh M Zainuddin dan F Alfa yang dimuat dalam Harian Pelita pada tanggal 21 Mei 1985.

Yang menjadi salah satu hal menarik dari tulisan tersebut adalah terkait satu frasa yang digunakan di dalam judulnya, yakni 'Ipatek. Wacana tersebut lahir—saat di mana pada waktu itu ada pergolakan pemikiran kebingungan pada umat Islam, misalnya di Indonesia saat itu berembus isu mengenai paham Syiah serta ideologi lain yang sangat berpeluang melakukan penetrasi—bahkan merusak eksistensi Islam atas nama modernisasi maupun reformasi dan kemajuan teknologi. Kacamata Ahlussunnah wal Jamaah sebagai pisau analisis sangat begitu diharapkan tentunya untuk melihat fenomena yang ada.

Pembahasan berkembang luas saat kedua penulis menyodorkan terkait gagasan-gagasan para pemikir ekstrem yang mempropagandakan teori-teori hasil impor Barat untuk menggantikan posisi agama. Ada beberapa pemikir yang disebutkan kala itu, yaitu Francis Bacon, Spinosa, Isaac Newton, John Locke, David Hume, Immanuel Kant, Hegel, Darwin, Karl Marx, Freud hingga Einstein. Yang diketengahkan dua penulis dalam hal ini bukan mengenai sosok pemikir serta apa gagasan masing-masing, melainkan terkait mengenai posisi PMII dengan landasan keislaman Ahlussunnah Wal Jamaah dalam mengambil sikap. 

Dalam keberlanjutaannya kemudian disebutkan bagaimana pengertian ilmu menurut Aswaja—kurang lebih bahwasannya ilmu itu mempunyai dimensi pengenalan hakikat melalui keluhuran dari pihak yang berupaya melakukan pengenalan yang tidak diperoleh melalui wawasan rasional, di samping dimensinya yang rasional. Akhir dari tulisan, penulis memberikan kesimpulan—bahwa atas kondisi yang ada, PMII diharapkan mampu mempraktikkan nilai-nilai atau ajaran-ajarannya untuk membendung penetrasi ideologi-ideologi yang menyimpang. Lanjutannya, pembendungan tersebut merupakan upaya kerja yang menuntut keseriusan dan ketekunan sebagai tanggung jawab moral bagi PMII.

Perkembangan

Dari wacana akan ilmu pengetahuan—utamanya terkait mengenai sains dan teknologi atau ranah eksakta yang ada di beberapa paragraf sebelumnya, bisa menjadi bukti bahwa sebenarnya, organisasi sekaliber PMII telah lama membahas, memperdebatkan maupun mengambil sikap yang mewakili marwah organisasi. Dan bukan sebuah barang baru lagi, ketika hari ini—anggota dan kader PMII yang berasal dari ranah eksakta mempertanyakan hal tersebut. Namun, yang menjadi persoalan penting adalah bukan kapan waktunya mulai menggagas, melainkan lebih dari itu, berkaitan konsistensi sikap atas dinamika PMII itu sendiri dalam setiap zaman—terlebih, terhitung sudah berumur 58 tahun pada 17 April 2018 lalu.

Seperti kebanyakan anggota dan kader PMII yang berbasis eksakta yang lain, penulis pun merasa kewalahan—saat kuliah dalam ranah eksakta di program studi fisika kemudian bergabung di PMII sesuai dengan regulasi kaderisasi yang ada. Ya, misalkan berbicara keuntungan jangka pendek, PMII tidak memberikan dampak yang signifikan dalam proses menempuh studi maupun belajar di ruang-rang kelas. Ternyata kuncinya satu: mau terus untuk berproses. Karena, penulis mengamati di beberapa komisariat—terutama dari kampus yang berbasis negeri atau dalam hal ini Perguruan Tinggi Negeri (PTN), ketika berbicara formula kaderisasi di ranah eksakta masih pasang-surut. Artinya masih perlu perombakan demi perombakan untuk mendapatkan rumusan yang ideal.

Walhasil, saat mendengar secara langsung maupun lewat cerita, penulis takjub saat melihat perkembangan kaderisasi yang ada di PMII Cabang Kota Malang. Misalnya, salah satu komisariat yang ada, di kampus UIN Maulana Maliki Ibrahim mengembangkan salah satu rayon yang ada di ranah eksakta. Pada tahun 2016 membuahkan buku dengan judul PMII dalam Bingkai Eksakta. Pengantar dalam buku tersebut berasal dari dua orang yang juga pernah mengisi struktural PB PMII, Dwi Winarno (Ketua Kaderisasi Nasional PB PMII 2011-2014) serta M Hasanuddin Wahid (Ketua Kaderisasi Nasional PB PMII 2005-2007).

Strategi dan Taktik

Penulis mendapatkan banyak pelajaran dan pengalaman baru—setelah selesai membaca buku tersebut. Seperti di antaranya adalah pengalaman Dwi Winarno ketika ditanya—rumusan kaderisasi di ranah eksakta—dengan melontarkan pernyataan—menyerah tanpa syarat. Meskipun demikian, ia menyambut dengan baik gagasan-gagasan yang ditulis oleh oleh anggota maupun kader yang ada di rayon tersebut. Sembari menyiratkan: masih banyak hal yang bukan bersifat makro saat—katakanlah berbicara mengenai seluk-beluk yang ada di PMII, salah satunya mungkin terkait dunia eksakta ala PMII yang harus terus dikembangkan.

Selain itu, ada pernyataan menarik yang disampaikan oleh M Hasanuddin Wahid dalam kata pengantarnya yang berjudul Nyanyi Sunyi Milestone Kader Eksakta PMII. Misalkan adalah mengidealkan—anak-anak eksakta itu bergaulnya dengan mereka para inovator, saintis hingga penemu-penemu teknologi yang nyatanya sejauh ini masih jarang ketimbang apa yang dominan di dalam PMII itu sendiri, misalnya ia menyampaikan tokoh-tokoh yang barangkali akan menjadi anti mainstream bagi anggota dan kader berlatar belakang eksakta, seperti: Mohammed Arkoun, Hassan Hanafi, Ibnu Khaldun, Habermas, Durkheim hingga Karl Marx.

Kemudian daripada itu, ia juga menyampaikan istilah-istilah baru yang barangkali bisa dijadikan sebagai wacana pengembangangan eksakta—seperti: quantum gerakan, paradigma mestakung, central of control system hingga arsitektur kaderisasi. Hematnya adalah mengisi ruang-ruang yang masih ada korelasi—misalkan sesuai dengan kajian yang digeluti di dalam kampusnya, lembaga-lembaga yang ada, misalkan mampu berjejaring ke Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Badan Pengawas Tenaga Atom Nasional (BAPETEN), Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN)  dan lain sebagainya.

Pertanyaannya adalah apakah memungkinkan—ketika wacana tersebut dapat diakomodasi secara masif dan tersistematis—yang katakanlah berinduk kepada PB PMII? Bukankah, secara penelusuran sejarah bukan barang baru lagi di dalam PMII? Selain itu, bukankah kalau memang tingkatan fakultas atau dalam struktural disebut dengan rayon, memiliki tujuan bahwa anggota dan kader dapat berproses dan bertanggung jawab sesuai dengan fokus kajian keilmuan yang ada di jurusannya? Dan perlu diperhatikan bahwa PMII terus berkomitmen menjaga idiom yang menuntut untuk menjadi anak zaman, al-mufadhotu ‘ala qodimis sholih wal akhdzu bil jadidil aslah (memelihara tradisi yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik). Hemat penulis, tentu saja perlu penguatan dan pembahasan yang lebih serius.

Penulis adalah Ketua PMII Komisariat Kentingan Masa Khidmat 2018-2019. Menempuh Studi di jurusan Fisika Universitas Sebelas Maret sejak tahun 2014.