Oleh Muhammad Al-Fayyadl
Sebelum menelisik masuk “matja”, kita patut bertanya: apakah “kenusantaraan” yang menjadi
anggitan tematik pameran ini merupakan suatu motif ideologis baru yang coba ditawarkan oleh para seniman Nahdliyin untuk menamai praktik mereka berkesenian, suatu orientasi estetik, suatu ranah <>kreatif, atau sekadar respons mereproduksi wacana yang dijejalkan sebagian publik Nahdliyin terhadap bangunan ke-NU-an mereka, yang cenderung mereka lihat sebagai sesuatu yang mapan, “jadi”, dan solid? Apa yang ingin dinamai oleh “kenusantaraan” ini? Suatu proses, produk, tradisi, atau orientasi?
Perdebatan hangat yang muncul menyusul bergulirnya wacana “Islam Nusantara” memperlihatkan tarikan “kenusantaraan” dalam irisan kemasan politik ideologis yang coba membaku-bekukan “kenusantaraan” dalam suatu konstruksi yang uniter, lapang, dan tunggal, dengan silogisme yang mengerucut: Nusantara = Islam, Islam = NU; Islam Nusantara = NU (konklusi); dan irisan estetis yang selalu tergoda untuk melihat konstruksi “kenusantaraan”, “keislaman”, dan “ke-NU-an” secara tak linear, tambal sulam, atau longgar – seakan ingin mengatakan: Nusantara tak mesti Islam, Islam tak mesti NU, dan NU tak mesti satu-satunya juru bicara Islam Nusantara. Ada suatu garis yang kadang kusut dan berliku di antara entitas-entitas itu, untuk tak mengatakan suatu hubungan yang tak ajeg, belum selesai dan definitif, selalu menuntut untuk dirumuskan, dibongkar, dan ditata-ulang. Seakan tersimpan pertanyaan di ceruk irisan itu: sudahkah NU cukup tawadhu’ untuk merepresentasikan diri sebagai lokus “kenusantaraan”, sementara “kenusantaraan” adalah medan luas yang berisi lokus-lokus yang beragam, yang sebagian di antaranya berbicara tapi tak terdengar, eksis tapi tak tercatat, atau bersuara tapi tak dimengerti?
Pertanyaan ini menyodorkan problem representasi kepada konstruksi itu: apakah NU sudah cukup kuat membawa beban menjadi juru bicara yang mampu membawakan kepentingan suara-suara kalahan (subaltern) ke dalam lalu-lintas wacana-wacana arus utama yang hegemonik di medan “kenusantaraan”, dan menjahit suara-suara itu ke dalam lingua franca baru di mana soalnya bukan lagi kalah-menang, tapi bagaimana agar masing-masing dapat saling eksis mendaulati “seni hidup”-nya sendiri – untuk meminjam istilah Gus Dur[1] – tanpa rasa minder atau rasa superioritas yang berlebih atas yang lain?[2]
Bahasa agama yang sebagian besar mengambil bentuk wicara (parole) dan bersifat verbal cenderung menghadirkan konsepsi yang abstrak dan “intelektualistik” tentang kehidupan, lebih khusus lagi kehidupan budaya. Soalnya adalah bagaimana melihat, memahami, dan kemudian memberi putusan atas persoalan-persoalan yang muncul di dalam kehidupan tersebut. Kecenderungan untuk memahami persoalan-persoalan budaya dengan “halal-haram”, dengan kategori-kategori yang bersifat aksiomatik (meskipun dengan gradasi dan tingkat toleransinya tertentu), dan dengan keinginan untuk menghindari ambiguitas dan mengejar kepastian (walaupun sifatnya lebih kepastian hukum untuk ketenangan batin atau esoteris), menyulitkan agama untuk menangkap ketampakan (visibility) dari ekspresi konkret dan materiil dari kehidupan budaya yang berdenyut di atas medan “kenusantaraan” itu. Kemampuan abstraksi tingkat tinggi yang diperagakan agama, melalui tradisi intelektualnya yang canggih sekalipun, belum memungkinkan agama untuk mampu mendekati “kenusantaraan” dalam wujudnya yang telah manifes. Abstraksi itu hanya melahirkan upaya-upaya yang cenderung semakin bergerak “ke dalam” dalam bentuk ortodoksi yang lain, seperti pendefinisian terus-menerus “kesenian Islam” dan penetapan ulang standar-standar berupa konsistensi ekspresi kesenian tersebut dengan norma-norma agama.[3]
Dalam tradisi pesantren, terdapat suatu kepercayaan bahwa orang dapat keluar melampaui fiqh (dimensi norma-norma legal agama) dan mencapai kearifan dalam beragama, dan kearifan dalam memahami ekspresi estetik dari kehidupan budaya, jika ia dapat masuk ke dalam tasawuf, alias dimensi spiritualistik dan esoteris dari agama itu sendiri. Namun pun begitu, spiritualitas sufistik itu dapat segera terjatuh ke dalam kecenderungan abstraksi yang sama, ketika seseorang yang mencapai tingkat kesufian tertentu tidak lagi tertarik kepada bentuk, melainkan kepada isi; tidak tertarik kepada manifestasi, melainkan kepada esensi, sehingga melewatkan berbagai ekspresi kesenian itu semata-mata sebagai keanekaragaman yang bersifat maya dan ilusif, yang memalingkan kesadarannya dari tujuan ilahiahnya. Ini menjelaskan, mengapa cukup banyaknya lembaga-lembaga tasawuf (tarekat) dan komunitas penekun tasawuf tidak mampu meregenerasi suatu ketertarikan yang lebih massif terhadap kesenian dan melahirkan pendekatan yang lebih maju dalam hubungan antara agama dan kesenian.
Di mana kita dapat menemukan lokus “kenusantaraan” yang tidak tereduksi ke dalam representasi politis-ideologis itu, dan yang mampu membawa agama keluar dari kecenderungan nomotetisnya[4] terhadap kesenian? Di dalam ketampakan dan tekstur sensibel dari “kenusantaraan”, dan, dalam kaitannya dengan kesenian, di dalam ketampakan dan tekstur sensibel karya seni itu sendiri — kemampuannya untuk dapat dilihat, disentuh, didengar, dan dialami dalam materialitas benda, warna, tonasi-intonasi, gestur dan tekstur karya itu sendiri. Dengan kata lain, menolak karya seni sebagai alegori Ide.
“Kenusantaraan”, pertama-tama, bukan untuk didefinisikan, tetapi dilihat, dialami. Ia dialami oleh mata yang melihat, telinga yang menyimak, atau tangan yang menyentuh. “Kenusantaraan” Lir-ilir dan Syair Tanpa Weton tidak terletak di mana pun, di pesan maupun kebijaksanaan yang dikandungnya, kecuali di dalam langgam lagu dan komposisi kata-katanya. Bahasa seni rupa memiliki kekhasan yang singular karena hadir langsung di depan mata, terpampang di dalam materialitasnya yang nyata di hadapan mata. Ia pertama-tama tidak untuk disentuh atau diraba, tetapi dilihat. Bahasa seni rupa mendayagunakan ketampakannya sebagai kekuatan – berbeda dari karya musik atau karya kinetis. Ketampakan, visibilitasnya, adalah kenyataannya. Karya seni rupa bersifat faktis, tergeletak di suatu tempat, namun ia seketika menjadi sebuah karya, begitu ia hadir di depan mata, dilihat, menjadi objek bagi pandangan dan tatapan. Fenomenalitas dari ketampakan itu hadir sebelum karya itu menjadi alegori, simbolisasi, atau representasi bagi suatu gagasan. Dengan kata lain, karya itu menjadi primer (bukan sekunder) ketika tampak bagi mata, dan bukan suatu data bagi otak, atau bahan bagi interpretasi. Karya seni rupa tidak untuk dibaca.[5]
Sebelum mungkin untuk ditafsir sebagai alegori bagi pergumulan antara syahadat keislaman dan bayang-bayang syaithoniyah kebatilan, Kesaksian hadir dengan citra dua jari yang kontras, yang terpisahkan oleh warna hitam keabu-abuan dan merah dan garis setengah lingkaran yang mempertemukan sekaligus memisahkan antara jari telunjuk dan jari lain yang merengkuh. Ketampakan tubuh (atau dari jauh, sebuah menara, atau phallus?) yang tegak merupakan momen pertama lukisan ini hadir bagi mata. Membetot mata, mengundang mata untuk mendekati dan memandangnya. Dari kekaburan latar yang menghalangi untuk melihat, sang jari (yang tampak pertama-tama bukan sebagai jari) menampakkan diri, dengan kecerahan warnanya, sebagai figur, sosok[6] yang menjadi lokus menjadi terlihatnya yang-tak-terlihat, menjadi figuralnya yang-non-figural. Ini juga berlaku, misalnya, pada mengkilapnya cahaya Nur Songkok Nabi Muhammad, atau sosok-sosok pada Tantris dan Sunan Kalijogo.
Merah absolutnya Telapak Kaki Gus Dur membutakan mata, jika bukan melumpuhkannya. Jika bukan karena perbedaan (différence)[7] yang dimungkinkan oleh kontur “teratai” di marjin lukisan, “tapak” itu tidak akan menjadi sosok yang menyelamatkan mata dari kebutaannya. Monokromi lukisan itu, yang menjadi satu-satunya cirinya sebagaimana lazim dalam lukisan abstrak, mencegah mata kita untuk melihat bentuk, sehingga pada pandangan pertama karya ini tampak non-figural. Bentuk itu tersubordinasikan oleh warna, sehingga warna tak hanya dominan, tetapi juga absolut dan hegemonik. Tetapi, dominasi warna ini diinterupsi oleh tekstur, memunculkan jejak “tapak” dan “teratai” di atas bidang datar kanvas, sehingga lukisan ini mampu keluar dari non-figuralitasnya yang membutakan mata, dan bentuk mampu menampakkan apa yang sebelumnya tak tampak, memperlihatkan apa yang sebelumnya tersembunyi.
Sebagai alegori Ide, merahnya merah karya ini dapat menyimbolkan suatu pembebasan, atau jalan pembebasan yang berdarah, atau sosialisme (semua ini mungkin), yang mendapat pengertian lain dengan teratai dan jejak Gus Dur sebagai simbol kearifan, atau “kesabaran” revolusioner. Tetapi, kekuatan karya ini tidak terletak pertama-tama dalam representasi itu, atau caranya mengubah representasi menjadi alegori, tetapi dalam kemampuan tekstur(al)nya[8] memperlihatkan yang tak terlihat. Dengan kata lain, kemampuannya memunculkan apa yang sebelumnya tersubordinasi untuk muncul keluar dan menjadi tampak.
Tekstur ini adalah lokus di mana karya ini berpolitik. Seni rupa berpolitik, tidak dengan Ide (karena kalau itu terjadi, ia sekunder terhadap Ide), tetapi dengan medium dan perangkatnya, yang dengannya ia menampakkan apa yang tak tampak, mengangkat apa yang tersubordinasi, memberi bentuk bagi yang amorf, atau memberi tempat bagi yang tak memiliki tempat. Masuknya teratai dan tapak dari marjin lukisan tidak hanya simbolik, tetapi juga politik. Ia tidak hanya menandai masuknya kontur ke dalam bidang, noda ke dalam warna, atau variasi ke dalam monokromi, tetapi juga masuknya unsur yang tak diperhitungkan ke dalam arena, yang mengacaukan hierarki keabsolutan ruang dan memberi kesempatan bagi pandangan untuk melihat apa yang tak terlihat – “jejak” Gus Dur sebagai figur subaltern dari “kenusantaraan”.[9]
Dalam hal ini, apakah yang lebih banyak dapat bercerita selain tekstur karya itu sendiri? Setiap tekstur niscaya bersifat sensibel. Ia dapat dirasakan, baik oleh indera peraba maupun pelihat. Indera peraba merasakan perbedaan antara dimensi yang timbul dan tenggelam dari permukaan bidang; indera pelihat memvisualkan perbedaan itu di dalam kontras warna antara yang terang dan gelap dari topologi bidang. Baik dengan salah satu atau dua-duanya, tekstur menunjukkan perbedaan yang mengkonstruksi bidang, dan perbedaan itu bukan sekadar komposisi yang netral dan tanpa makna. Perbedaan itu politis, karena mengangkat apa yang tersembunyi atau tak terbaca, dan menghadirkan apa yang absen, hilang, atau dilenyapkan pada permukaan yang dinetralisir.
Dalam tradisi tulis, seperti terlihat dari tradisi manuskrip Nusantara,[10] tekstur bersifat ornamental. Fungsinya adalah menghiasi bidang, menjadi elemen sekunder atau tersier terhadap aksara. Tetapi, sebagaimana dalam kaligrafi atau arabesque, tekstur dapat menubuh di dalam aksara itu sendiri, melampaui statusnya sebagai sekadar ornamen, dan fungsi ini yang dimainkan seni rupa dengan kemampuannya menjadikan tekstur menjadi tempat inskripsi bagi manifestasi politik. Tekstur mendemonstrasikan ketimpangan dan kesenjangan-kesenjangan, sekaligus kemajemukan berbagai anasir yang tidak dapat saling meniadakan.
“Sebuah ‘permukaan’ bukan sekadar komposisi geometris garis-garis. Ia adalah berbaginya yang sensibel”.[11] Teori Plato menyebut, lukisan merupakan bidang permukaan bagi tanda-tanda yang bisu. Citra dihadirkan sebagai sehimpunan tanda bisu yang saling merujuk untuk melahirkan suatu kebermaknaan. Namun, tekstur tidak bisu, melainkan berbicara. Ia berbicara dengan konturnya yang tidak merata untuk mengangkat berbagai anasir yang sama sekali tidak berhubungan, acak, atau arbitrer satu sama lain. Ia menunjukkan suatu konfigurasi di mana berbagai peristiwa dan sosok dapat hadir bersamaan (co-exist), tanpa saling menafikan atau melupakan.
Suatu karya seni rupa bersifat politis, setidaknya dilihat dari salah satu dari empat hal: kemampuannya mengubah kriteria apa yang dapat dilihat; kemampuannya memperlihatkan yang sebelumnya tak terlihat; kemampuannya memperlihatkan secara lain apa yang telah biasa terlihat; atau kemampuannya menghubungkan yang terlihat dan yang tak terlihat.[12]
Tidak perlu jauh-jauh merujuk ke tradisi Eropa kontemporer untuk mengalami hal itu. Mencari contoh pada karya Jean Dubuffet, Petualang tanpa Kompas (1952), misalnya, untuk melihat cara kerja tekstur (Dubuffet sendiri memperkenalkan relief sebagai motif utama karya-karyanya), karya Rocka Radipa, Echoes of Glory, di pameran kali ini memperlihatkan kekayaan tekstur, sekaligus menunjuk di koordinat(-koordinat) mana “kenusantaraan” itu meletak.
Terhadap pertanyaan “apakah kenusantaraan itu”, karya ini tidak memberikan jawaban tunggal, melainkan mendemonstrasikan (mise en scène): “kenusantaraan” itu tidak di mana-mana sekaligus di mana-mana. Ia bisa diitemukan pada gigir batu arca atau motif-motif surealis ukiran primitif atau Hindu kuna, tetapi juga pada rambatan bambu, anyaman, atau tesktur topeng pada sebuah pertunjukan teater Jawa. Lokus par excellence dari “kenusantaraan” bukan pada kaligrafi (simbol kehadiran “Islam”), tetapi pada kaligrafi yang menubuh dengan sisa-sisa arkaisme pra-Islam, di mana yang Arab dan yang bukan Arab tidak lagi terbedakan, sebagaimana tidak terbedakannya figur manusia dan figur alam atau artefak bendawi. Semua organik, menubuh-menyatu, tetapi sifat organik itu tidak dapat direpresentasikan, karena semua elemen berbicara – kecil maupun besar, remeh-temeh maupun penting, ornamental maupun monumental… Sebagaimana dalam karya Jean Dubuffet, kita tidak bisa memisahkan antara manusia dan alamnya, antara budaya dan ekosistemnya (lukisan itu menempatkan alam, manusia, dan teknologi dalam satu ‘kontinuum’ yang organik); bagi para penghuni “Nusantara”, demikian pun, manusia ya alamnya, alam ya budayanya, budaya ya manusianya.
Dari keempat hal di atas, karya ini menunjukkan kemampuan memperlihatkan yang tak terlihat: mengangkat hal-hal remeh-temeh dan tak bermakna menjadi elemen utama, melampaui fungsi dekoratifnya yang biasa. Hal-hal remeh, yang sering mendapat posisi sekunder dalam lukisan figuratif, mendapat tempatnya di sini, karena “kenusantaraan” tidak dapat didefinisikan tanpa menyertakan hal-hal tersebut. Sifat organik “kenusantaraan” membuat berbagai elemen hadir-bersama, lebur-bersama, dan bergerak-bersama. Implikasi pascakolonial dari sifat organik ini sangat simbolik: “kenusantaraan” merupakan subversi atas cara berpikir kolonial yang membangun hierarki di antara berbagai elemen: hegemoni budaya atas alam, manusia atas budaya, teknologi atas budaya dan alam.
Di sini kita melihat hal yang analog dengan teori “keserentakan waktu”-nya Benedict Anderson, ketika menguji problem nasionalisme: sebuah bangsa menciptakan imajinasi kolektif bersama melalui keserentakan waktu baru yang tersekularisasi, menggantikan keserentakan waktu yang diciptakan oleh agama. Di atas kanvas, keserentakan waktu itu mengambil wujud keserentakan momen ketampakan berbagai elemen. “Kenusantaraan”, dengan demikian, bukan semata konsep ruang (kosmologis atau geografis), tetapi juga konsep waktu (ditandai oleh keserentakan dan terus-hadirnya momen kekinian dari masa lalu – itu sebabnya tradisi selalu “aktual”).
Namun, perlu digarisbawahi, meski momen ketampakan itu berlangsung serentak, keserentakan itu tidak identik dengan keseragaman. Analogi dengan bangsa bermanfaat di sini: meski sebuah bangsa adalah (diandaikan) “satu”, tetapi “kesatuan” imajinatifnya, secara riil, adalah beragam. Meski “Nusantara” diimajinasikan “satu”, atau “sambung-menyambung menjadi satu”, dalam realitasnya ia beragam. “Kenusantaraan” adalah suatu keserentakan dari berbagai hal-ihwal yang satu sama lain tidak dapat direduksi, berbagai anasir yang satu sama lain tidak dapat saling meniadakan.
Heterogenitas yang luar biasa kaya (yang tidak dapat terwakili oleh “pluralisme” apapun! – kita dapat menyebutnya “heterogenitas radikal”) dari “kenusantaraan” itu memang kemudian menghadirkan rupa yang tumpang-tindih dan hubungan-hubungan sosial yang kompleks antara tradisi dan kemodernan, lebih-lebih bila kemodernan itu dibangun di atas relasi ekonomi yang timpang dan melanggengkan ketimpangan (kapitalisme). Modernism memperlihatkan kepekatan itu melalui irisan-irisan tajam antara citra kemodernan yang angkuh dan manusia-manusia tradisional yang resisten. Koeksistensi di antara berbagai modus kehidupan yang lahir dari persilangan tradisi dan kemodernan merupakan warisan yang tak pernah selesai membungkus “kenusantaraan” itu sendiri.
Dalam kosakata Nahdliyyin, pertanyaannya, apakah yang bertahan adalah tradisi yang baik (al-qadim al-shalih) dan yang diambil kemodernan yang lebih baik (al-jadid al-ashlah)? Ataukah sebaliknya: yang bertahan adalah tradisi yang buruk warisan feodalisme, dan yang sedang diadopsi adalah kemodernan yang lebih buruk, warisan pascakolonial?
Patut dicatat, bahwa sejumlah karya dalam pameran kali ini tak hanya mendorong kita keluar dari politik representasi “kenusantaraan” yang monolitik; mereka juga mendorong kita keluar dari representasi “keislaman” yang tunggal. “Jawa” telah (dan sedang) menjadi salah satu medan bagi pengujian terus-menerus representasi keislaman itu, seperti diperlihatkan oleh Maca Maning Nasirun. Tapi tak hanya “Jawa”, “ke-Arab-an” itu sendiri (yang mendapat penerjemahan pribuminya dalam aksara pegon) juga terus menjadi bahan eksperimentasi estetik, melalui subversi dan permainan tekstural maupun tipografis. Melalui formalisme à la Martin Barré, Hanya Lafal A. Mustofa Bisri (Gus Mus) melenyapkan kedalaman lafdzul jalalah (lafal “Allah”) ke dalam balok-balok datar tanpa ekspresi. Seakan-akan representasi ke-Arab-an lafal itu dapat dileburkan ke dalam suatu bentuk minimalis yang siapapun dapat menggambarnya tanpa canggung atau takut menodai kesuciannya. Arahmaiani menghadirkan versi kontemporer dari Arab pegon dengan pesan yang akrab di telinga anak muda: I love you, menginkarnasikan tiga elemen ke-Arab-an, ke-Jawa-an (yang memungkinkan peniruan kreatif atas ke-Arab-an terjadi), dan ke-Inggris-an dalam satu momen ketampakan sekaligus. Eksperimentasinya memungkinkan ke-Arab-an tidak dimaknai melulu dalam kerangka keislaman, tetapi juga dalam bahasa pergaulan kontemporer yang memperlakukan entitas ke-Arab-an itu sebagai sebuah fakta budaya.
Ada upaya-upaya yang dapat ditangkap dari sejumlah karya di pameran ini untuk menjadikan “kenusantaraan” sebagai ranah kreatif, daripada suatu motif ideologis atau orientasi estetik satu-satunya. Ranah kreatif: karena karya-karya itu tidak berpretensi menjadikan “kenusantaraan” satu penanda eksklusif yang terpisah, atau orientasi tunggal yang memperteguh ortodoksi “fiqh berkesenian” NU, tetapi suatu ranah eksperimentasi untuk menguji dan mempertanyakan representasi-representasi ideologis tentang “kenusantaraan”, Islam”, dan “tradisi”. Dengan cara itu, tanpa harus terbebani menampilkan karya yang “Islami”, setidaknya karya-karya itu telah menampilkan suatu kecenderungan di antara para perupanya untuk kembali “nyantri” di pesantren besar bernama “Nusantara”.
Muhammad Al-Fayyadl, dosen di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada, ustadz di Pondok Pesantren Nurul Jadid Probolinggo
[1] Abdurrahman Wahid, “Negara dan Kebudayaan”, dalam Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan, Depok: Desantara, 2001, 3.
[2] Kenyataan beberapa tahun terakhir membuat kita (sementara) layak pesimis: menguatnya sentimen anti-Syi’ah, makin lemahnya pemihakan NU terhadap masyarakat adat (tercermin dari kebisuan “NU struktural” terhadap perjuangan masyarakat Samin di Rembang), merapatnya NU dengan kalangan militer dalam diskursus ideologis “menjaga kedaulatan NKRI”, dan seterusnya, merupakan indikasi-indikasi yang makin mempersulit peran NU dalam membawakan peran ini.
[3] Abdurrahman Wahid, “Islam, Seni, dan Kehidupan Beragama”, Op.cit., 146, 148.
[4] Kecenderungan untuk serba-hukum.
[5] Jean-François Lyotard, Discours, figure, Paris: Klincksieck, 2002.
[6] “Sosok”, penerjemahan dari “figur” atau konsep le figural Lyotard, tidak mesti berupa atau berwujud “manusia”.
[7] Ketebalan (épaisseur) yang memisahkan ketampakan sesuatu dari ketaktampakannya, ketebalan yang inheren di dalam setiap manifestasi sosok.
[8] Kekuatan kata-kata pada kemampuan tekstualnya, kekuatan seni rupa pada kemampuan teksturalnya.
[9] Ini menarik, di tengah upaya banyak orang menjadikan “Gus Dur” figur mainstream yang representatif bagi “Islam Nusantara”, lukisan ini menarik Gus Dur keluar dari konstruksi representatif itu untuk mewakili suara-suara minor yang tak terdengar (“bentuk yang tak berbentuk”) dari berbagai elemen “kenusantaraan” itu sendiri. Puluhan tahun silam, Gayatri Spivak bertanya, “Dapatkah Suara Kalahan berbicara?” (Can the Subaltern speak?). Dalam konteks seni rupa, pertanyaannya: “Dapatkah Suara Kalahan mengambil bentuk?” (Can the Subaltern take form?).
[10] Ann Kumar & John H. McGlynn dkk, Illuminations: The Writing Tradition in Indonesia, Jakarta: Lontar, 1996.
[11] Jacques Rancière, Le Partage du sensible, Paris: La Fabrique, 2000, 19.
[12] Jacques Rancière, Le Spectateur émancipé, Paris: La Fabrique, 2008, 72.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Inilah Obat bagi Jiwa yang Hampa dan Kering
2
Khutbah Jumat: Bahaya Tamak dan Keutamaan Mensyukuri Nikmat
3
Khutbah Jumat: Belajar dari Pohon Kurma dan Kelapa untuk Jadi Muslim Kuat dan Bermanfaat
4
Mulai Agustus, PBNU dan BGN Realisasikan Program MBG di Pesantren
5
Zaman Kegaduhan, Rais Aam PBNU Ingatkan Umat Islam Ikuti Ulama yang Istiqamah
6
PBNU Tata Ulang Aset Nahdlatul Ulama Mulai dari Sekolah, Rumah Sakit, hingga Saham
Terkini
Lihat Semua