Forum Silaturrahmi Ulama dan Pengurus NU yang dilaksanakan di kediaman Rais Aam Pengurus Besar NU KH Sahal Mahfudz, Sabtu (23/02/2008), menarik untuk ditanggapi. Forum yang melibatkan pengurus dan kiai khos NU di Jawa Tengah dan daerah lain itu, menarik diperbincangkan karena digelar menjelang Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jateng dan Jawa Timur (Jatim). Di Jateng, iklim politik semakin hangat dan menegangkan. Hal ini dikarenakan KH Muhammad Adnan (Ketua Pengurus Wilayah NU Jateng) maju bersanding dengan Bambang Sadono, dalam gelanggang Pilgub yang dihelat pada 22 Juni 2008 nanti. Selain itu, Ali Mufiz (Gubernur Jateng, dan kader NU), dikabarkan akan maju dalam kontestasi Pilgub, walaupun belum memperoleh kendaraan politik yang pasti.
Di Jatim, aroma persaingan Pilgub juga semakin tajam. Saifullah Yusuf (Ketua Umum Pengurus Pusat Gerakan Pemuda Ansor) meramaikan gelanggang orkestrasi politik Pilgub Jatim. Selain itu, Ali Maschan Moesa (Ketua Pengurus Wilayah NU Jatim), menjadi perbincangan hangat karena didekati beberapa partai politik, untuk dicalonkan maju dalam pergulatan Pilgub Jatim pada 23 Juli nanti. Di beberapa daerah, kader NU juga menghangatkan suhu politik dalam medan persaingan pilgub dan pemilihan kepala daerah (pilkada). Warga NU seakan diperebutkan berbagai partai dan tokoh politik, karena dipandang memiliki ‘magnet’ yang dapat menarik massa melimpah.<>
Silaturrahim Ulama
Pada forum itu, KH Sahal Mahfudz menegaskan, ketika memandang NU, harus dibedakan NU secara jam’iyyah (organisasi) dan NU dalam konteks pribadi. NU dalam ranah organisasi, tidak diperkenankan bergelut dalam kubangan politik, karena bertentangan dengan Khittah NU, yang ditegaskan dalam Muktamar di Situbondo, Jatim, pada 1984. NU dalam atmosfer jam’iyyah, ketika berada dalam ranah politik, akan lebih membawa madlarat (keburukan) dari pada maslahat (kebaikan). Biaya politik yang dikeluarkan ketika berjibaku dalam dunia politik, tidak sepadan dengan manfaat yang direnggut. Justru, garis perjuangan organisasi akan semakin kabur. Agenda pemberdayaan warga NU mengalami disorientasi dan tak jelas makna serta arahnya. Untuk itu, pengurus dan warga NU, dilarang membawa atribut organisasi ketika berselancar di gelombang politik.
Akan tetapi, dalam konteks individual, warga NU dipersilakan mempergunakan hak politiknya secara bebas. Kemerdekaan politik menjadi jaminan di tengah kehidupan sosial warga NU. Dengan penegasan, dilarang membawa nama organisasi.
Pada forum ini, terjadi perdebatan hangat tentang relasi NU dengan partai politik. Perbincangan yang berlangsung juga menanggapai tentang banyaknya kader NU yang terjun di arena pertarungan Pilgub dan Pilkada. Akan tetapi, Kiai Sahal menolak untuk memberi rekomendasi dukungan kepada salah satu kader NU yang maju dalam Pilgub. Selain itu, ia menegaskan, forum silaturrahmi ini murni agenda ulama.
“Sebagai shohibul bait (penyelenggara acara), saya mengundang ulama dan pengurus NU, atas nama pribadi, bukan dengan legitimasi sebagai Rais Aam PBNU. Untuk itu, forum ini tidak ada tendesi politis apapun. Tujuan saya, forum ini untuk menyegarkan kembali hubungan silaturrahim antar-ulama,” kata Kiai Sahal, yang juga Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia.
Politisasi NU
Dalam jejak sejarah, perjalanan NU di gelanggang politik sangat dinamis. NU masih dipandang sebagai lumbung massa yang menentukan kemenangan politik. Di berbagai media, beberapa politisi Tanah Air masih terlihat melakukan kunjungan-kunjungan politik ke berbagai basis massa NU dan pesantren. Kiai NU diyakini mampu menggerakkan dan menggali massa melimpah. Hal inilah yang menyebabkan NU tak lepas dari bingkai politik di berbagai orde pemerintahan.
Di era Orde Lama, ketika Soekarno berkuasa, NU menghadapi dilema orientasi organisasi. Ketika tampuk kekuasaan Presiden Soekarno digoyang lawan politik dan sejumlah organisasi Islam, karena dianggap tidak memenuhi kriteria pemimpin seperti dalam teks klasik, NU membela dengan semangat gigih, melalui fatwa yang terkenal; waliyul amri al-dzaruri bi al-syaukah.
Setelah fatwa itu bergulir dan kekuasaan Soekarno kembali stabil, NU memperoleh durian runtuh dari pohon politik. "Buah" politik inilah yang menjadikan NU, dapat menikmati kue kekuasaan selama beberapa periode. NU dipercaya menempatkan putra terbaiknya sebagai Menteri Agama (KH Ahmad Wahid Hasyim, ayah Gus Dur). Akan tetapi, hubungan harmonis dengan penguasa agak renggang, ketika Soekarno mesra dengan PKI. Dan, NU, dengan bujukan kekuatan Orde Baru (Orba), bertiwikrama dengan barisan pengganyang PKI.
Akan tetapi, ketika Orba berkuasa, NU menjadi organisasi yang terpinggirkan. NU dituduh pernah memiliki hubungan mesra dengan Soekarno, sehingga penguasa Orba memangkas akses politik NU. Departemen Agama tak lagi dihuni aktivis NU, seakan jalur politik NU dibendung di semua area. Akibatnya, tak hanya di Depag, di hampir semua wilayah politik, NU termarginalkan.
Di Partai Persatuan Pembangunan (PPP), setelah NU melebur diri dalam partai ini dengan beberapa partai Islam lainnya, NU kembali menempati posisi pinggiran. Massa NU yang tersebar di berbagai wilayah seakan menjadi ‘mayoritas yang bisu’, karena tidak mendapatkan akses untuk menyuarakan kepentingan dan aspirasinya. Waktu itu, warga NU hanya menjadi kumpulan "suara politik" yang disapa ketika musim pemilihan umum tiba. Setelah kampanye usai, warga NU kembali ditikam dengan kesunyian. Inilah potret menyedihkan kiprah NU di ranah politik.
Maka, Khittah NU yang mencuat pada Muktamar di Situbondo, hendaknya dimaknai sebagai reaksi atas rasa sakit yang diderita NU. Khittah NU diarsiteki kalangan muda NU progresif, di antaranya KH Ahmad Shiddiq dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur), intinya ingin mengembalikan NU ke ide dasar pendirian organisasi kemasyarakatan, yakni sebagai jam'iyyah islamiyyah dan atau organisasi massa Islam yang mengurusi masalah sosial (mabarot), ekonomi (iqhtishodiyyah), pendidikan (tarbiyah) dan dakwah.
Relasi NU dan politik memang menjadi multitafsir, dan tak dapat dimaknai secara sepihak. Di labirin organisasi yang memiliki massa melimpah ini, kepentingan dan tujuan setiap jamaahnya memang berbeda. Mengenai relasi NU dan politik, analisis Ulil Abshar Abdalla, cendekiawan muda NU ini, dapat dijadikan landasan pemikiran. Ulil membagi warga NU dalam tiga lapisan. Pertama, lapisan elit yang konsentrasi pada politik. Kedua, lapisan kiai yang tidak berubah karakternya, mereka kiai yang tidak dekat dengan politik tetapi tidak antipolitik. Ketiga, lapisan anak muda NU yang berpikir jernih, kelompok ini cukup menjaga jarak dengan politik (Bahrul Ulum, 2002). Tiga lapisan kuat inilah yang menentukan gerak perjuangan dan rencana strategi NU di masa depan.
Pilihan Politik NU
Untuk menyikapi arus politik yang merebak tubuh NU, Forum Silaturrahmi Ulama dan Pengurus NU, setidaknya menjadi gerbang pencerahan untuk memberi cahaya penerangan bagi warga NU, agar tidak tersesat dalam lorong gelap politik. Warga NU yang berkiprah di ranah politik diperbolehkan, dengan catatan tidak mengusung nama organisasi di berbagai kesempatan. Relasi NU dengan politik memang membutuhkan konsep konkret, agar tidak membawa bencana di ‘republik’ NU dan menyakiti kaum Nahdliyin (sebutan untuk warga NU). Gagasan politisi muda Nahdlyin agar PBNU membentuk komisi politik, perlu disikapi secara jernih. Selain itu, Majma’ Buhuts An-Nahdliyyah yang diprakarsai KH Musthofa Bisri perlu mendapat dukungan berbagai pihak. Kerja kreatif ini bertujuan untuk meredam benturan dan perselisihan politik yang membawa akibat buruk bagi warga NU.
Forum Silaturrahmi Ulama yang diprakarsai KH Sahal Mahfudz, Majma’ Buhuts An-Nahdliyyah dalam komando Gus Mus dan gagasan pembentukan Komisi Politik bagi NU menjadi jembatan dialog NU dalam konteks organisasi dengan politisi muda Nahdliyin. Agenda ini diharapkan memberikan sumbangsih bagi kemaslahatan warga NU, hingga berdampingan dengan kinerja NU sebagai corpus civil society.
Setelah mengalami gempuran badai politik di berbagai periode, warga NU diharapkan menjadi lebih cerdas dan dewasa dalam mengaktualisasikan aspirasinya. Politik kebangsaan dan kerakyataan NU semakin menemukan ciri khasnya. Dalam konteks kehidupan berbangsa, warga NU bebas berjuang di ranah politik, asalkan tidak mengusung bendera organisasi. Inilah etika perjuangan kader NU di pangung politik.
Penulis adalah analis gerakan NU dan aktif di Forum Muda Nahdliyin
Terpopuler
1
Saat Jamaah Haji Mengambil Inisiatif Berjalan Kaki dari Muzdalifah ke Mina
2
Perempuan Hamil di Luar Nikah menurut Empat Mazhab
3
Pandu Ma’arif NU Agendakan Kemah Internasional di Malang, Usung Tema Kemanusiaan dan Perdamaian
4
360 Kurban, 360 Berhala: Riwayat Gelap di Balik Idul Adha
5
Saat Katib Aam PBNU Pimpin Khotbah Wukuf di Arafah
6
Belasan Tahun Jadi Petugas Pemotongan Hewan Kurban, Riyadi Bagikan Tips Hadapi Sapi Galak
Terkini
Lihat Semua