LANGKA. Tak berlebihan bila saat ini kita mengatakan kejujuran menjadi perilaku langka. Kita bisa membuktikan itu dengan salah satunya mencari di pasar-pasar. Di sana banyak kita temukan transaksi perdagangan yang menipu konsumen. Saat ini kita sudah jarang menemukan pelaku perdagangan yang menunjukkan kepada kita bobot penimbangan barang yang kita beli. Jangan heran, begitu kita lengah sedikit, barang-barang yang kita beli sudah dibungkus.
Semestinya kalau pedagang jujur, ia bisa memberikan edukasi kepada kita tentang cara kerja alat timbangan yang banyak kurang dimengerti khalayak pembeli. Minimal, kejujuran itu diungkapkan dengan meminta pembeli memeriksa indikator pada alat penimbangan, bahwa ia sudah melakukan penimbangan dengan benar, sebelum membungkusnya.<>
Kasus-kasus ketidakjujuran dengan konsumen sebagai korbannya, bukan hanya terjadi di pasar – pasar tradisional melainkan juga di pasar-pasar modern, dari ritel kecil, sedang, besar, hingga raksasa. Tentu saja bentuk manipulasinya bukan pada pengurangan bobot timbangan barang. Seperti berbagai macam pengungkapan kekecewaan atau komplain oleh khalayak konsumen yang hampir setiap hari dapat kita temukan di kolom surat pembaca media cetak dan investigasi media elektronik beberapa bulan lalu.
Ketidakjujuran transaksi perdagangan yang telah memadat menjadi kejahatan terhadap konsumen sungguh menyedihkan. Pesawat televisi rusak, yang telah diservis, diganti seakan-akan TV baru dan bermerek. TV rekondisi ini jelas membuat konsumen merasa tertipu, karena tidak menduga barang yang dijualnya ternyata barang rongsokan. Konsumen yang mendapatkan bandrol harga barang di rak, dengan di tempat pembayaran (kasir: Red.) berbeda juga sering kita temukan.
Ketidakjujuran sektor industri yang memroduksi makanan, pasta gigi, sabun mandi, shampo, mainan anak, yang bercampur formalin (pengawet mayat, zat berbahaya bagi manusia: Red.) dalam jumlah massif jelas menimbulkan kerusakan, yaitu merusak kesehatan manusia, termasuk warga bangsa ini. Maklum, ketidakjujuran sektor produksi itu bukan hanya kelas lokal, namun juga oleh perusahaan multinasional. Bila Uni Eropa telah melarang penggunaan formalin baik untuk mengawetkan makanan, bahkan mayat sekalipun, anehnya produk dengan kandungan formalin dalam istilah formaldehyde dalam kadar rendah, masih beredar di pasaran lokal.
Bentuk kejahatan lainnya adalah membuang limbah industri berbahaya yang mencemari sungai dan lautan juga terjadi karena ketidakjujuran telah merasuki jiwa pelaku industri dan perdagangan. Akibatnya, ekosistem sungai dan laut tercemar. Ikan dan air yang semestinya layak konsumsi, menjadi membahayakan kesehatan. Kasus Buyat bisa menjadi contohnya.
Sejak meletus Revolusi industri di Inggris awal abad ke-18, semua produksi dilakukan secara massal alias over product. Konsekwensinya, pelaku usaha atau investor berisiko bangkrut, bila barang-barang produksi yang dijual di dalam negeri dan lintas negara tidak laku dalam waktu cepat. Sementara persaingan kian ketat, cukup menjadi hambatan penjualan. Untuk mencegah kerusakan barang dalam waktu cepat dan berakibat kebangkrutan modal besar-besaran, pelaku industri mencampurkan bahan pengawet, seperti formalin. Dengan cara ini barang bisa tahan lama, tidak mudah rusak. Dengan menampilkan tanggal jatuh tempo expired, maka makanan dianggap masih layak konsumsi selama belum jatuh tempo. Itupun kadang-kadang aparat berwenang yang melakukan razia masih menemukan barang-barang expired tetap dijual di toko ritel.
Nah, kejujuran memang sudah menjadi moral yang langka. Semua kasus-kasus kejahatan konsumen di atas jelas dipicu oleh kerakusan atau sifat tamak yang ditumbuhkan oleh watak buruk kapitalisme. Begitu tamaknya, pelaku industri raksasa atau multinational corporation kerap tidak memiliki tanggung jawab moral dengan proyek rekayasa kebutuhan warga bangsa ini. Harus diakui, fakta menunjukkan perilaku konsumtif, atau nafsu belanja warga masyarakat tidak muncul secara otonom. Nafsu belanja itu diciptakan oleh sektor industri atau para produsen melalui berbagai cara dan media. Sebut saja iklan yang ditayangkan di televisi lokal maupun cetak nyaris merayu warga bangsa ini sehari-hari. Akibatnya, di satu sisi masyarakat terkadang harus memaksakan diri membeli barang di luar kebutuhannya.
Bahkan tak jarang, mereka membeli barang-barang itu dengan duit pinjaman fasilitas pembayaran modern seperti kartu kredit. Begitu nafsu belanja tidak terkendali, penghasilan dari gaji kerja sebulanpun ludes untuk membayar cicilan utang. Tragisnya, mereka terkadang masih harus menderita akibat sakit yang dipicu dari produk makanan yang mengandung zat berbahaya, maupun merugi lantaran barang-barang yang dibeli ternyata barang-barang rongsokan.
Krisis moral yang ditandai dengan langkanya kejujuran umat manusia ini cukup menunjukkan betapa dunia membutuhkan perbaikan moral. Dan puasa Ramadhan menyediakan kesempatan yang luas bagi kita semua untuk membangun kembali moral kejujuran. Dengan berpuasa, menahan diri dari makan, minum, koitus, nafsu amarah, perkataan yang kasar dan tidak patut lainnya dari terbit fajar hingga terbenam matahari, maka kita berlatih melawan hawa nafsu, membangun fundamen kejujuran dalam jiwa dan raga kita. Sementara malam hari kita melakukan shalat, menghisab diri kita atas berbagai macam dosa yang telah dilakukan untuk memohon pengampunan dari Allah Swt. Dengan tadarus di malam hari, kita hayati Firman Allah Swt untuk menata visi hidup kita. Sementara siang hari kita gunakan untuk melakukan ibadah kepada Allah Swt melalui amal shaleh.
Bila kita melakukan perbaikan moral kejujuran dengan menjalankan ibadah puasa secara sungguh-sungguh, maka perbaikan moral secara massif juga akan terjadi. Mungkinkah langkah perbaikan itu bisa kita lakukan? Jawabannya tentu kita jangan pesimis! Asal ibadah puasa diniati untuk mencari ridla Allah Swt, tentu ketaqwaan yang menjadi tujuan dari perintah wajib puasa akan bisa tercapai. Memang hanya Allah Swt yang tahu, manusia hanya bisa melihat apakah seseorang itu bertaqwa apakah tidak hanya dari gejala perilaku selama dan sesudah puasa. Setidaknya, Allah memberikan titik terang bagi manusia yang ingin melakukan perbaikan dirinya untuk mendapatkan kehadiran Allah Swt dalam dirinya. Firman Allah Swt, “Kemanapun engkau hadapkan wajahmu, di situlah wajah Allah Swt … (QS 2:115). Wallahu a’lam.
Penulis adalah jurnalis, pemerhati masalah sosial kemasyarakatan.
Terpopuler
1
Rais 'Aam PBNU Ajak Pengurus Mewarisi Dakwah Wali Songo yang Santun dan Menyejukkan
2
Kisah Levina, Jamaah Haji Termuda Pengganti Sang Ibunda yang Telah Berpulang
3
Gus Yahya: Warga NU Harus Teguh pada Mazhab Aswaja, Tak Boleh Buat Mazhab Sendiri
4
Hal Negatif yang Dialami Jamaah Haji di Tanah Suci Bukan Azab
5
Fantasi Sedarah, Psikiater Jelaskan Faktor Penyebab dan Penanganannya
6
Diundang Hadiri Konferensi Naqsyabandiyah, Mudir ‘Ali JATMAN Siapkan Beasiswa bagi Calon Mursyid
Terkini
Lihat Semua