Distorsi Haji dan Kesalehan Virtual
NU Online · Rabu, 21 November 2007 | 12:40 WIB
Oleh :Muhammad Muhibbuddin*
Musim haji kini telah datang. Sebagian umat Islam yang mampu di penjuru dunia, terutama di Indonesia, mulai sekarang sudah mulai gegap gempita mempersiapkan dirinya untuk melakukan perjalanan ke Mekkah-Madinah dalam rangka menunaikan ibadah haji. Untuk lingkup Indonesia sendiri mungkin agak sedikit paradok. Meskipun Indonesia terkenal sebagai negeri yang miskin, terkungkung krisis, korup, terbelakang dan seabrek setreotip lainnya, dalam kenyataanya umat Islam Indonesia masih banyak yang berbondong-bondong pergi haji. Bahklan saking banyaknya, beberapa tahun yang lalu, sampai tidak memenuhi kuota.
<>Maka kalau haji bisa dijadikan sebagai ukuran kemakmuran sebuah masarakat, bangsa Indonesia mungkin tergolong bangsa yang makmur. Bayangkan setiap tahun ribuan orang berhaji, bahkan tiap orang ada yang haji sampai dua tau tiga kali. Sementara bagi umat Islam Indonesia, haji sendiri adalah ibadah yang tergolong ekslusif dan mewah, hal ini karena biayayanya yang tergolong mahal. Namun meskipun mewah, kenyataannya sampai sekarang masih banyak umat Islam Indonesia yang berlomba-lomba melakukan karnaval ke Arab Saudi tatkala musim haji tiba.
Tingkat paradoksal mobilitas haji tersebut semakin tinggi manakala kita benturkan dengan realitas sehari-hari yang terjadi di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Haji dalam perspektif ajaran Islam, merupakan tingkat kesempurnaan dari lima rukun Islam. Artinya dalam stratifikasi ibadah mahdlah, haji adalah ibadah yang nilai ubudiyahnya paling tinggi. Oleh karena itu hanya orang-orang tertentu saja yang bisa melakukannya. Dengan demikian orang yang berhaji berarti orang yang sudah mengalami puncak pendakian ibadah kepada Allah SWT. Dengan kualitas ibadahnya itu tentunya ia mempunyai tingkat kesalehan dan kearifan yang paripurna, yakni kesalehan indifidual plus kesalehan sosial.
Sejak Indonesia ini merdeka sampai sekarang, kalau dihitung entah sudah berapa juta jamaah haji yang sudah ditelurkannya. Logikanya semakin banyak rakyatnya yang berhaji berarti negaranya semakin apik dan bersih. Tapi kenyataanya sampai sekarang negara kita tingkat kerusakannya malah semakin parah saja: KKN semakin marak, kerusakan lingkungan terus meningkat, dekadensi moral terus mengalami eskalasi dan seterusnya. Nyaris tak bersinggungan antara banyaknya orang Indonesia yang berhaji dengan kondisi sosial negara kita. Pertanyaanya, lantas nilai-nilai dan esensi haji itu lari ke mana? Wallahu a’lam.
Distorsi haji
Ketidak sinkronan antara banyaknya jamaah haji dengan kondisi bangsa Indonesia sekarang ini bukan berarti ibadah ini salah, melainkan jamaah haji sendiri, khususnya jamaah haji Indonesia, yang tidak mampu menangkap pesan-pesan moral haji itu sendiri. Secara universal ibadah haji adalah aktifitas melihat secara langsung situs-situs perjuangan para nabi. Mulai dari nabi Ibrahim, yang awal mula membangun Ka’bah, sampai nabi Muhammad SAW. Aktifitas Melihat di sini bukan hanya melihat dengan mata telanjang, melainkan merefleksikan sedalam-dalamnya apa yang ditinggalkan oleh para nabi Allah tersebut dan mengambil pelajaran darinya untuk kebaikan kehidupan selanjutnya.
Pembangunan Ka’bah oleh Ibrahim adalah pembangunan peradaban dunia baru. Sebuah peradaban yang didirikan bukan hanya di atas nilai-nilai meterialisme yang wadak belaka, melainkan justru atas dasar nilai-nilai keilahian yang sifatnya spiritual. Dan justru dengan nilai inilah peradaban yang diwariskan Ibrahim yang kemudian dikembangkan oleh nabi Muhammad SAW, sampai sekarang, masih tetap bisa bertahan. Untuk itu, melalui haji ini kita dituntut untuk meraih pencerahan ruhani dengan cara memperbaiki diri selama di tanah suci untuk kita aktualisasikan dalam rangka membangun peradaban baru di negeri kita masing-masing.
Namun para jama’ah umumnya tidak melakukan hal itu. Kebanyakan para jamah haji justru banyak yang mendistorsi makna ibadah haji ini ke arah gaya hidup yang sifatnya instan dan artifisial. Pendistorsian itu tecermin pada tradisi yang selama ini berlaku misalnya menjadikan haji hanya sebagai plesir atau jalan-jalan santai. Atau menjadikan haji hanya sekedar untuk meningkatkan gengsi sosial –supaya nantinya dipanggil pak haji atau ibu hajjah, atau bahkan sekedar untuk mencari pesugihan- dengan haji supaya nantinya bisa lebih kaya dan sejenisnya.
Pendistorsian ini akhirnya berakibat pada lahirnya kesalehan virtual. Virtualitas, kalau dalam dunia politik adalah seperti yang dikatakan oleh Yasraf .A. Pilliang (2006) yaitu dunia politik yang terperangkap di dalam dunia imajinasi umum, dunia politik yang sangat menggantungkan dirinya pada ilusi-ilusi dunia yang diangun dalam gemerlap cahaya citra dan manipulasi tanda. Begitu juga dengan kesalehan para jamaah haji kita. Kesalehan jamaah haji yang virtualistik ini adalah kesalehan yang hanya sebatas citra, imej atau kesan dan bukan pada realitas sebenarnya. Kesalehan ibadah haji pada level ini hanyalah kesalehan imagologi yang terbungkus oleh simbol-simbol agama dalam ritus haji.
Dengan melakukan ibadah haji, maka imej atau kesan yang terbentuk adalah bahwa pihak yang bersangkutan merupakan orang yang shaleh, baik, bermoral tinggi, berahlak mulai dan sejenisnya. Dengan bergelar haji atau memakai kopiah putih maka citra yang terbangun adalah bahwa pihak yang bersangkutan adalah orang tingkat relegiusitasnya tinggi, suka beribadah dan seterusnya. Padahal sebenarnya belum tentu begitu.
Kesalehan virtualistik semacam itu adalah kesalehan palsu, karena dimensi yang lebih ditonjolkan adalah dimensi luar atau bentuk formalitasnya sementara dimensi dalam atau substansinya tetap saja kropos. Maka tidak heran, meskipun para pejabat kita banyak yang bergelar haji, namun mereka masih tetap suka korupsi. Atau para pengusaha yang juga banyak bergelar haji, namun masih suka menindas buruh, atau para majikan yang sudah sering haji tapi masih suka berbuat kasar dan tidak manusiawi terhadap pembantu rumah tangga (PRT), atau juga tetangga kita yang sudah berhasil memakai kopiah haji, tetapi tetap tidak peduli dengan saudaranya yang kelaparan atau terjerat kemiskinan dan seterusnya.
Inilah kesalehan virtual haji yang disebabkan oleh pendistorsian esesnsi dan nilai-nilai haji dari para jamaahnya. Dengan demikian, kalau realitas haji di negeri kita terus demikian, maka tidak ada gunananya kita setiap tahun membuka peluang ibadah haji. Sebab para jamaah haji sama sekali tidak memperoleh out put haji yang sebenarnya, melainkan hanya sebatas out put yang penuh dengan kepalsuan. Buat apa kita membuang biaya dan energi banyak kalau hanya memburu kepalsuan?
*Muhammad Muhibbddin adalah pegiat diskusi filsafat "Linkaran ‘06" dan koordinator Jaringan Islam Kultural (JIK)
Terpopuler
1
Saat Jamaah Haji Mengambil Inisiatif Berjalan Kaki dari Muzdalifah ke Mina
2
Perempuan Hamil di Luar Nikah menurut Empat Mazhab
3
Pandu Ma’arif NU Agendakan Kemah Internasional di Malang, Usung Tema Kemanusiaan dan Perdamaian
4
360 Kurban, 360 Berhala: Riwayat Gelap di Balik Idul Adha
5
Saat Katib Aam PBNU Pimpin Khotbah Wukuf di Arafah
6
Belasan Tahun Jadi Petugas Pemotongan Hewan Kurban, Riyadi Bagikan Tips Hadapi Sapi Galak
Terkini
Lihat Semua