Oleh: Andi Irawan*)
Orang mungkin akan kecewa kalau menganggap bahwa globalisasi adalah satu-satunya trend global. Di berbagai belahan dunia, globalisasi pun ternyata tidak mampu menghapus pentingnya dimensi lokal. Selama 30 tahun terakhir ini, dunia menyaksikan bahwa devolusi ternyata juga merupakan suatu trend global. Norma umum di dunia pada era 1970-an adalah pemerintahan pusat yang kuat dan pemerintahan regional yang lemah atau bahkan tidak ada. Tentu saja perkecualian perlu diberikan kepada Amerika Serikat (AS), Kanada, Austria, Jerman, Switzerland, India, dan Australia yang pada dasarnya memang sejak awal bersifat federalis. Proses devolusi ini ada yang didorong oleh kekuatan dari “bawah”, misal: kasus Itali, Spanyol, dan Meksiko dengan revolusi Chiapas-nya. Namun, ada juga inisiatif devolusi atau penguatan devolusi dari “atas”, misal: Amerika Serikat, Meksiko, dan Inggris.
<>Dilihat dari aspek derajat devolusi, secara garis besar dapat dibedakan menjadi 4 kelompok, yaitu: 1) Munculnya negara-negara independen baru (contoh: negara-negara anggota bekas Uni Sovyet, Yugoslavia, Chekoslovakia, Eritrea, dan Timor); 2) Transformasi besar dari sistem sentralisasi ke sistem federalisme (contoh: Belgia, Spanyol, Italy, China, Brasil, Argentina, dan Meksiko yang dulunya hanya menganut federalisme di atas kertas); 3) Munculnya negara-negara yang mulai menjalankan proses devolusi, biasanya dalam bentuk otonomi daerah dan desentralisasi fiskal (contoh: Perancis, Polandia, Chili, dan Indonesia); 4) Revivalitas atau pembaharuan federalisme yang memang sejak awal telah dianut (contoh: AS, Kanada, Australia, dan Sudan).
Jadi, dibanding dengan tahun 1970, wajah dunia di tahun 2004 ini telah banyak berubah. Dari sisi jumlah negara, memang masih banyak negara menganut sistem sentralisasi, khususnya di benua Afrika. Tapi, dilihat dari sudut populasi dunia, kita bisa berargumen bahwa devolusi telah menjadi trend global. Populasi China dan India adalah 40% dari total populasi dunia. Total populasi Uni Eropa (UE), AS, Indonesia, Brazil, dan Mexico adalah lebih dari 20% total populasi dunia. Meski hanya 8 dari 15 negara anggota UE yang telah menerapkan devolusi, tapi 87% populasi UE bertempat tinggal di negara yang menjalankan dan/atau memulai proses devolusi.
Kita dan sebagian besar penduduk dunia yang lain telah menjadi “makhluk amphibi” yang harus bertahan hidup di dua alam: alam globalisasi dan alam devolusi. Mungkin ada hikmah dan manfaat yang bisa didapat dari hidup di dua alam ini, tapi tidak kurang juga masalah yang ditimbulkannya. Salah satu masalah yang paling utama adalah ternyata trend devolusi ini juga dibarengi dengan trend global ketimpangan regional dalam masing-masing negara. Mungkinkah hukum Darwin berlaku dalam kehidupan sosial-ekonomi kita? All animals are equal, but some animals are more equal. Manfaat itu mungkin terbuka dan tersedia bagi siapa saja, tapi homo economicus yang lebih kuat lah dan/atau lebih baik lah yang akan lebih menikmati manfaat yang ada. Akhirnya, ketimpangan pun akan terjadi dan/atau semakin melebar karena distribusi manfaat tidak terjadi secara proporsional.
Ketimpangan Regional
Setelah periode panjang konvergensi (baik antar negara maupun antar regional dalam satu negara) pasca Perang Dunia II sampai tahun 1980-an, dunia pada dua dasawarsa terakhir ini mengalami trend pelambatan laju konvergensi atau malah berbalik menjadi divergensi (yaitu: kesenjangan regional yang meningkat), baik di negara berkembang maupun di negara maju. Hanya saja, tingkat dan laju pelebaran ketimpangan regional di negara berkembang itu jauh lebih besar dibandingkan dengan di negara maju.
Kita bisa mengidentifikasi berbagai faktor yang mempunyai dampak terhadap trend kesenjangan regional ini, yaitu: siklus ekonomi (baik global maupun nasional), karakteristik struktural di masing-masing negara dan kawasan regional dalam negara tersebut, struktur transfer dalam anggaran belanja pemerintah pusat-daerah, maupun faktor globalisasi dan perdagangan internasional (yang menjadi bahasan utama dalam New Trade Theory dan madzab New Economic Geography). Intinya, banyak faktor, baik faktor ekonomi maupun non-ekonomi, yang mempunyai kaitan dengan melebarnya ketimpangan regional. Tapi, beberapa di antaranya tampaknya terkait dengan proses devolusi itu sendiri. Dengan kata lain, berbagai kekuatan ekonomi spasial (akibat liberalisasi perdagangan) memang berkontribusi tehadap penciptaan kawasan inti (core/rich regions) dan kawasan pinggiran (periphery/poor regions), namun disisi lain, devolusi juga bisa memungkinkan semakin menguatkan dampak faktor-faktor itu.
Studi Rodriguez-Pose dan Gill (2003) - dengan sampel 7 negara yang dibagi dalam 3 kelompok, yaitu kelompok yang “baru saja” mengadopsi devolusi (China, Itali, dan Spanyol), kelompok negara yang dulunya federalis di atas ke
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Mempertahankan Spirit Kurban dan Haji Pasca-Idul Adha
2
Ketum PBNU Buka Suara soal Polemik Tambang di Raja Ampat, Singgung Keterlibatan Gus Fahrur
3
Jamaah Haji yang Sakit Boleh Ajukan Pulang Lebih Awal ke Tanah Air
4
Rais 'Aam dan Ketua Umum PBNU Akan Lantik JATMAN masa khidmah 2025-2030
5
Khutbah Jumat: Meningkatkan Kualitas Ibadah Harian di Tengah Kesibukan
6
Khutbah Jumat: Menyatukan Hati, Membangun Kerukunan Keluarga Menuju Hidup Bahagia
Terkini
Lihat Semua