Opini

Dakwah Bil Medsos

Selasa, 20 Maret 2018 | 16:00 WIB

“Dalam mengajak kebaikan, bersikap keraslah kepada diri sendiri dan lemah lembut lah kepada orang lain. Jangan sebaliknya.” (KH. A Mustofa Bisri)

Dakwah merupakan kegiatan yang bersifat menyeru yang dilakukan oleh pemuka agama untuk menyampaikan ajaran agamanya kepada umat agar mereka beriman dan taat kepada Allah. Secara etomologis, dakwah memiliki arti mengajak, menyeru, atau memanggil. Ini berbeda dengan amar ma’ruf yang berarti memerintahkan berbuat baik, dan nahi munkar yang memiliki arti melarang berbuat munkar. Terkadang orang bingung membedakan antara ketiganya. Atau sengaja membingungkan diri.

Sehingga dampaknya, ada orang yang berdakwah dengan cara kasar, omongan yang kotor, menekan, menakut-nakuti, mengancam, dan bahkan dengan pentungan. Mereka bukan lagi mengajak atau menyeru, tetapi memaksa kepada umat agar mau melakukan apa yang mereka serukan. Bukankah Al Qur'an mengajarkan kepada kita untuk berdakwah dengan cara yang lembut dan arif bijaksana (An Nahl: 125).

Sepanjang sejarah, salah satu dakwah yang dianggap paling sukses adalah dakwah yang dilakukan oleh Wali Songo. Para wali tersebut mampu mengislamkan sepanjang pesisir utara pantai Jawa dalam kurun waktu yang kurang dari lima puluh tahun. Bagaimana itu bisa? Metode dakwah yang dipakai Wali Songo dalam mengajak masyarakat untuk menyembah Allah bukanlah menjadi suatu rahasia lagi. Mereka berdakwah tanpa merombak total tradisi yang sudah mengakar. Mereka juga berdakwah dengan seni dan budaya; wayang, kenduri, lagu-lagu atau syi'ir, dan lainnya.   

Tentu apa yang dilakukan Wali Songo itu merupakan sebuah pencapaian yang sangat luar biasa mengingat waktu itu sarana dan prasarana untuk dakwah sangat terbatas. Saya melihat Wali Songo berdakwah dengan cara-cara yang kreatif, inovatif, dan responsif terhadap permasalahan yang ada di tengah-tengah umat. Itu lah esensi yang perlu kita tiru dan terus kembangkan untuk kemajuan dakwah.

Dakwah di era revolusi informasi
Saat ini, hampir setiap orang memiliki gawai pintar (smartphone). Informasi lagi bukan lagi soal. Sekarang, orang dengan mudahnya bisa menyampaikan dan menerima informasi dari tempat yang paling jauh sekalipun. Bisa dikata, era revolusi informasi bisa melipat jarak dan waktu. Apa yang terjadi di belahan bumi sana, bisa diketahui oleh orang yang ada di sini. Dunia sedang mengalami revolusi informasi.

Sebagaimana data yang dirilis Wearesocial Singapore, Jumlah penduduk Indonesia adalah 251 juta; 38 juta nya adalah pengguna internet, 62 juta nya adalah pengguna Facebook aktif, dan 281 juta yang mengikuti (subscription) akun-akun. Mereka yang aktif menggunakan internet juga memiliki akun di media sosial: 93% Facebook, 80% Twitter, 74% Google+, 39% Linkedin, dan 32% Instagram. Dari jumlah statistik tersebut, dunia internet atau dunia maya sudah menjadi rumah kedua dan sedikit banyak mampu mempengaruhi seseorang dalam kehidupan sehari-hari di dunia nyata.

Seiring dengan kecenderungan masyarakat tersebut, maka pemuka agama dalam berdakwah juga harus terus berbenah diri agar apa yang disampaikan bisa tepat sasaran dan memiliki jangkauan yang luas. Dakwah tidak lagi cukup hanya dilaksanakan di dalam pertemuan-pertemuan secara langsung saja seperti pengajian, majelis ta'lim, dan lain sebagainya. Tetapi dakwah juga harus masuk ke dalam dunia maya, utamanya media sosial, tempat dimana masyarakat mencari dan membagikan informasi tentang apapun.

Sudah saatnya dakwah dengan media sosial (dakwah bil medsos) digarap dengan serius dan konsisten oleh kalangan Nahdliyin. Dibandingkan dengan dakwah ‘biasa’, ada beberapa kelebihan berdakwah dengan menggunakan media sosial seperti jangkauan jamaah yang lebih luas, bisa ‘dinikmati’ kapanpun dan dimanapun, dan lain sebagainya. 

Setidaknya ada tiga hal yang perlu diperhatikan saat berdakwah di media sosial. Pertama, konten harus bermanfaat dan menunjukkan Islam yang damai. Beberapa tahun terakhir ini, kelompok Islam radikal-ekstremis, dan kelompok tekstualis memanfaatkan betul dakwah dengan media sosial ini. Mereka menyerbu dan memenuhi wacana dan konten keislaman kita di dunia maya. Ini yang menjadi salah satu penyebab keberislaman masyarakat kita menjadi kaku, hitam-putih, dan halal-haram.

Kelompok-kelompok Islam moderat harus lebih giat lagi dalam berdakwah dengan menggunakan media sosial sehingga model keberislaman masyarakat kita tidak rigid. 

Kedua, mengemas dengan menarik. Selain konten, kemasan juga harus diperhatikan dengan seksama. Sebaik apapun konten tetapi kalau kemasannya kurang menarik, maka itu tidak akan orang untuk membaca atau melihatnya. Konten harus dikemas dengan semenarik mungkin.  

Ketiga, responsif atau menyesuaikan dengan tren. Saat berdakwah di media sosial, kita juga harus memperhatikan isu-isu yang sedang berkembang di tengah masyarakat. Informasi akan viral (dibaca, dilihat, dan dibagikan) manakala informasi tersebut sedang menjadi tren.

Selain tiga poin tersebut, kelompok Islam moderat juga harus berjalan bersama-sama dalam satu barisan ketika berdakwah di media sosial untuk memenuhi dunia maya Indonesia dengan materi-materi keislaman yang sejuk, moderat, dan damai. Di samping untuk meng-counter kelompok ektremis, radikalis, dan tekstualis. Jika kelompok Islam moderat tidak giat berdakwah di di jagat maya secara konsisten dan serius, maka mereka yang akan semakin merajalela. 
Waallhu ‘alam bissowab. (A Muchlishon Rochmat)