Opini

Buku Ajar dan Radikalisasi di Dunia Pendidikan

NU Online  ·  Kamis, 28 Januari 2016 | 12:02 WIB

Oleh Ruchman Basori
Belakangan kerap ada buku yang berpotensi mendukung paham radikal, buku yang menyerang paham Ahlussunnah wal-Jamaah yang menjadi paham mayoritas muslim Asia. Ada juga buku-buku yang menghebohkan dari sisi ideologis untuk keselamatan negeri kita.

Apa kesalahan penulisan buku ajar yang dikonsumsi pelajar-pelajar kita baru terjadi akhir-akhir ini? Atau sejak dulu Orde Baru berkuasa?

Setahu saya tidak saja saat ini, namun waktu aku sekolah, setidaknya juga terdapat kasus-kasus demikian, namun informasi belum seterbuka dan sebebas ini. Peran negara waktu itu untuk membatasi paham-paham yang relatif berbeda agak ketat, lain dengan sekarang. Kita kenal apa yang disebut sebagai wacana serba negara. Hari-hari ini seakan mendapat momentum, sebuah bom waktu akibat ketertutupan dan faktor “kebebasan” atas nama demokrasi yang justeru menyuburkan paham-paham radikal yang kerap mengatasnamakan agama.

Sempitnya pemahaman beragama menyebabkan kurang terbuka terhadap paham-paham yang berbeda dengan dirinya. Akibatnya muncul merasa dirinya yang paling benar (truth claim), intoleransi yang berdampak pada ingin menyerang pihak lain yang berbeda paham. Hal ini tentu memprihatinkan justeru ketika Indonesia menancapkan diri sebagai tonggak demokrasi, tepat berseainya Islam yang rahmatan lil’alamin.

Dalam dasawarsa terakhir terakhir ini kita disibukan dengan munculnya Buku-buku Pelajaran Agama Islam (Aqidah Akhlak, Fiqih, Quran Hadits, SKI dan Bahasa Arab) pada Madrasah dan Pendidikan Agama Islam (PAI) pada Sekolah Umum yang dinilai disusupi oleh paham Salafi Wahabi dan Gerakan Trans Nasional lainnya. Disinyalir juga terdapat buku yang bertendensi merugikan paham keagamaan tertentu yang telah mapan di masyarakat.

Ini masalah serius terkait dengan kebijakan pengadaan buku-buku ajar di MI, MTs dan MA dan PAI oleh pemerintah. Yang paling tertuduh adalah para penyelenggara pendidikan. Karena dampak yang akan ditimbulkannya akan sangat dahsyat, nasib sekian juta anak yang nantinya menjadi pemimpin bangsa dipertaruhkan. Penyebaran paham dan idiologi tertentu akan sangat efektif melalui jalur pendidikan.

Seandainya ramalan Mc Kensey benar, bahwa Indonesia akan mengalami bonus demografi penduduk yang berpotensi mengantarkan Indonesia menjadi negara kuat secara ekonomi dan SDM di tahun 2035. Maka penyebaran buku-buku ajar di Madrasah dan Sekolah dan menyelipkan idiologi paham radikal menjadi efektif. Karena merekalah yang akan memegang tampuk kepemimpinan 10-15 tahun mendatang. Sasarannya adalah anak-anak sekolah usia pendidikan dasar dan menengah bahkan PAUD-pun sudah menjadi titik bidiknya.

Kasus terbaru terjadi pada Buku Pendidikan Agama Islam (PAI) untuk Kelas V SD sebagaimana dilansir oleh metrotabagsel.com, yang dinilai menyesatkan yang beradar di Kabupaten Paluta. Pada halaman 86 buku PAI tersebut disebutkan bahwa urutan nama-nama Rasul Allah tertulis bahwa Nabi Muhammad SAW adalah nabi urutan yang ke-13 dan Nabi urutan terakhir adalah Nabi Isa AS. Ini jelas ngawur, ceroboh dan kesalahan yang tidak harus terjadi karena a historis.

Sebelumnya Pimpinan Gerakan Pemuda Ansor menemukan buku-buku Taman Kanak-Kanak (TK) di Depok yang disinyalir berpotensi mengajarkan radikalisasi. Tragisnya sudah dicetak ratusan kali sejak tahun 1999. Dimana kontrol negara atas ini semua? Jangan-jangan negara abai dan lalai karena dianggapnya belum membahayakan untuk integrasi bangsa dan harmoni sosial keagamaan di negeri ini. Belum lagi aksi teror yang kerap terjadi, sebut saja yang terbaru adalah di Jl. MH Thamrin Jakarta beberapa waktu yang lalu yang dramatis, menggugah kesadaran publik bahwa teroris adalah fakta yang harus kita lawan.

***

Menjamurnya paham radikal di tengah masyarakat juga lambat laun berusaha memasuki area yang lebih soft yaitu ke meja-meja belajar dan perkuliahan. Melalui muatan kurikulum, buku-buku palajaran, kultur dan tradisi akademik di marasah dan sekolah dan masuk ke dalam diri seorang guru sebagai penebar ilmu pengetahuan dan pencerah atas berbagai persoalan para murid-muridnya.

Pertanyaannya apakah kita, utamanya komunitas pendidikan akan diam, membiarkan begitu saja atas bahaya laten yang masuk ke jantung pendidikan? Tentu kita harus sama-sama menjawab bersama dengan langkah-langkah konkrit, sistematis, dan menyeluruh karena teror dan sejenisnya menjadi “musuh bersama (common enemy)” kita bangsa yang berpotensi menjadi negara besar.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Kementerian Agama harus duduk bersama terkait kebijakan perbukuan PAI, ujian nasional dan hal-hal lain terkait dengan buku dan kurikulum lainnya. Pusat Kurikulum dan Buku (Puskurbuk) Kemdikbud yang selama ini melampaui kewenangan dalam menyusun buku-buku PAI harus berbagi memberikan kewenangan kepada Kementerian Agama, karena kalau terjadi masalah terkait kerap kali Kemenag yang diseret-seret.

Otoritas penyusunan buku-buku PAI apakah di Sekolah dan Madrasah harus dikembalikan kepada Kementerian Agama, sebagaimana diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan. Dan Kemenag harus lebih teliti dan jeli sebagai regulator setiap buku-buku yang digunakan oleh Madrasah dan Sekolah, sehingga kesalahan-kesalahan cetak, konten dan ilustrasi dapat dihindarkan.

Terkait dengan problem buku PAI di Madrasah dan Sekolah ada baiknya Kementerian Agama RI mendirikan semacam Pusat Kurikulum dan Perbukuan atau setidaknya semacam Badan atau Kepanitiaan (Ad Hoc) yang bertugas melakukan verifikasi kelayakan buku-buku ajar dan agama yang layak beredar di sekolah dan madrasah. Badan ini untuk membantu tugas berat Subdit Kurikulum dan Evaluasi yang ada pada Direktorat Pendidikan Madrasah.

Pada saat yang sama memperkuat model pelaksanaan evaluasi pembelajaran termasuk pembuatan soal yang dari tahun ke tahun ada masalah. Sebelum buku-buku itu beredar ke masyarakat harus melewati verifikasi (pentashihan) baik secara konten maupun aksesorisnya. demikian juga masalah soal ujian yang dibuat oleh Tim MGMP atau kelompok masyarakat lain harus benar-benar telah diuji kelayakannya sebelum diujikan.

Review atas kurikulum agama di sekolah dan madrasah juga menjadi penting. Langkah ini bisa diawali dengan penyusunan Kompetensi Dasar dan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) sebagai pangkal tolak bagaimana para guru menyusun Rencana Program Pembelajaran (RPP), buku-buku ajar, melaksanakan program pembelajaran di sekolah dan madrasah serta penciptaan kultur akademik di sekolah. Kultur yang memungkinkan berkembangnya budaya damai (peace building), memperkuat semangat kebangsaan dan kemasyarakatan.

Para guru tidak saja guru agama meningkatkann capacity building dan kerjasama akademik dalam membangun kultur sekolah dan madrasah yang ramah, damai dan aman termasuk mencegah bagi timbulnya paham-paham keagamaan yang radikal. Tugas ini jangan hanya dibebankan kepada guru-guru agama namun juga guru lain. Apalagi bagi sekolah yang mempunyai guru-guru umum yang sangat peduli pada kegiatan keagamaan karena semula mereka menjadi aktivis-aktivis keagamaan di kampus-kampus umum.

Sekedar urun rembug bagi para guru di sekolah, madrasah dan TK/RA dapat melakukan langkah-langkah konkrit mengantisipasi masuknya paham radikal atau memicu pemecah belah akibat beda paham keagamaan: Pertama, Meneliti buku-buku ajar utamanya yang akan dikonsumsi oleh para siswanya; Dari mulai sampul, konten sampai aksesoris buku tersebut. Baik pada saat membeli maupun mendapat bantuan buku dari pemerintah dan pihak-pihak donor yang peduli pada pendidikan. Jangan mentang-mentang gratisan menjadi abai diterima begitu saja. Buku-buku yang kerap mendatangkan masalah adalah buku-buku agama.

Kedua, Belilah buku-buku pada penerbit yang kredibilitas dan kualitasnya telah teruji. Bukan penerbit dadakan yang menerbitkan buku atas dasar proyek semata dan hanya berorientasi pada keuntungan material. Cenderung mengabaikan kualitas apalagi abai terhadap dampak yang akan ditimbulkannya.

Ketiga, Jika Bapak/Ibu Guru menjadi Tim Penulisan Buku harus menyandarkan pengambilan rujukan pada sumber primer, kitab-kitab kuning karangan ulama-ulama salaf dan lain sebagainya yang jelas berpaham moderat, inklusif dan toleran. Era kemudahan informasi harus dipandang mendukung pelacakan pada kitab-kitab turats bukan malah sebaliknya asal comot sana-sini hanya didasarkan pada Mbah Google. Pun dalam hal pengambilan gambar-gambar sebagai ilustrasi pendukung pembahasan jangan kerap mendatangkan multi tafsir menggiring pada paham radikal dan menyinggung praktek-praktek keagamaan yang furuiyah.

Keempat, apapun buku yang digunakan termasuk jika terdapat kesalahan peran guru sangat menentukan. Dialah yang berperan sebagai penyeleksi dan penjelas kepada para muridnya jika ada kalimat yang salah yang mengarah pada radikalisasi dan segala hal yang terkait. Guru perlu bersikap dewasa menyikapi kesalahan buku jangan apa-apa diupload di media sehingga malah membuat gaduh dunia pendidikan. Cukup diselesaikan secara akademik sambil menyerahkan persoalan kepada yang mempunyai otoritas.

Hal lain yang tak kalah penting, peran strategis bagi seorang guru adalah membuat soal test. Ini juga harus mempertimbangkan aspek akademik, psikologi siswa, kegunaan untuk masyarakat dan kepentingan nasional. Pemilihan kata, konten soal sampai pada cerita soal harus mempertimbangkan keluasan, pemerataan soal sukar mudah, kedalaman. Dihindarkan membuat soal dengan jawaban multi tafsir dan mendorong ken paham tertentu. Seperti soal Aqidah Akhlak kelas III MI sebagai berikut: Sebaiknya kita tidak berdoa di: a. musholla b. masjid c. makam d. rumah.

Soal itu menjebak, karena jawabannya tentu benar semua. Tapi untuk paham yang tidak setuju berdoa di makam akan menjawab butir (c). Soal-soal seperti ini tentu bermasalah dan harus dihindarkan.

Peran Pemerintah sangat penting sebagai regulator dan fasilitator atas regulasi buku ajar di Madrasah dan Sekolah harus tegas menindak siapa saja penerbit, pengarang dan pihak-pihak lain yang memproduksi buku-buku yang intoleran, mendatangkan kebencian antar pihak dan berpotensi radikal. Apalagi kalau buku-buku tersebut diproduksi oleh Kementerian/Lembaga/Dinas Pendidikan tentu akan mudah mengontrolnya. Pemilihan Tim Penulis harus orang-orang yang profesional yang berasal dari para praktisi dan ahli dibidang keilmuan yang ditulis dan tak kalah pentingnya adalah melibatkan unsur ahli bahasa.

Inilah kegelisahanku melihat fenomena perbukuan dan ujian yang akan silih berganti akan muncul, namun tidak segera mendapatkan solusi. Ini masalah bersama maka penanganannyapun harus bersama. kelalaian kita hari ini akan berdampak mala petaka di kelak kemudian hari. Selamatkan bangsa ini dari kehancuran akibat pikiran sempit dan nafsu pemecah belah umat. Wallahu a’lam bia al shawab.


Ruchman Basori, Pengurus Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor dan Pejabat Eselon IV di Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI.