Oleh: Ilham Gunawan
Pahlawan bukanlah sebatas 'bumbu' narasi sejarah. Tidak cukup jika diletakkan sebagai personifikasi belaka. Lebih luas dari itu, saya menempatkannya sebagai perwujudan 'organisme' kebajikan dalam sendi kehidupan sebuah bangsa dan negara. Pahlawan juga bukan prasasti yang dibekukan dalam angka pada hari besar. Lalu, sekadar dianggap sebagai arsip berdebu yang habis perkara setelah iringan terompet dibunyikan.
Keberpihakan di dalam memaknai 10 November sebatas arsip berdebu, masih amat kental hingga saat ini. Meskipun sudah diperingati sebagai Hari Pahlawan, sebagai bentuk komitmen atas penghargaan terhadap kepahlawanan rakyat, sekaligus cerminan tekad perjuangan seluruh bangsa Indonesia, saya rasa masih perlu ada kecenderungan khusus secara luas dalam memahami arti kata 'Pahlawan'. Bukan hanya lewat memaknai warisan yang ditinggalkan, atau pun pengorbanan yang telah diberikan, tetapi lebih dari itu. Ada tindakan khusus secara metafisis yang lebih substansial agar kiranya, momentum peringatannya tidak lagi dianggap sebatas pepesan kosong. Seperti angin lalu.
Menjadi pahlawan bukanlah pekerjaan mudah. Karena syarat awal yang harus dilakoni adalah berbuat suatu hal yang bukan untuk kepentingan diri sendiri, melainkan untuk kepentingan bersama. Mampu memberikan kontribusi berskala makro terhadap keberlangsungan orang banyak.
Lewat definisi yang amat dipersingkat, tindak kepahlawanan itu artinya bisa membunuh dan siap terbunuh. Bidang ini tertutup bagi mereka yang suka usia panjang. Itu sebabnya, jumlah pahlawan senantiasa lebih sedikit daripada penduduk kebanyakan. Pahlawan bagaikan zamrud di tengah-tengah batu kali. Orang-orang yang tidak memadai bakatnya jadi pahlawan, lagi pula tidak berkesempatan memalsu diri, begitu kata si Burung Parkit, Mahbub Djunaidi.
Seyogianya, pahlawan merupakan manifestasi keadilan dalam panggung semesta. Meski siapa saja berkesempatan menjadi pahlawan di bumi ini, itu bukanlah tanpa syarat. Bagi siapa saja yang memang siap dan berbakat. Tidak pandang bulu. Gelar ini begitu sakti. Bisa meluhurkan derajat diri siapa saja.
Pada masa negara-negara imperialis menduduki tanah air, pahlawan hadir karena ingin mewujudkan bangsa yang merdeka. Karena ingin bangsanya bersatu, berdaulat secara utuh. Mereka lahir dengan nyawa di kedua tangannya. Mengesampingkan batasan antara hidup dan mati. Berpikir bahwa hidupnya saat itu adalah milik seribu kehidupan generasinya mendatang. Tidak banyak pilihan; tetap hidup sebagai kebijaksanaan, gugur sebagai wangi bunga atau memilih mati sebagai bangkai yang hina. Logika bukan lagi menjadi prioritas. Yang dibutuhkan hanyalah keberanian dan ambisi untuk merdeka.
Ini bukan olah skenario fiktif. Ini adegan serius dan nyata. Sama sekali bukan kepatutan untuk dianggap sebagai alat mengocok perut. Lebih serius daripada pertunjukan singa yang bisa melompati lingkaran api. Atau sekadar kata-kata yang dikunyah oleh para penjual surga, tanpa tahu bagaimana cara menelannya.
Mereka para pahlawan, benar-benar hidup dan mati bukan sekadar membela diri sendiri atau pun keluarganya, tetapi juga dengan sukarela mewakafkan hidupnya untuk bangsa dan negaranya. Benar-benar bertaruh nyawa demi para generasinya mendatang. Raganya, jiwanya, mereka sumbangsihkan sepenuhnya untuk berkibarnya merah putih di atas kepalanya. Bukan malah menjadikan sarung atau jubahnya sebagai bendera partai politik semata. Mati yang memang benar-benar mati karena tekad perjuangan. Jihad dengan pengertian sebenarnya. Bukan mati dengan alasan yang 'katanya' kebenaran, tetapi melibatkan nyawa saudaranya sendiri yang tidak se-iman. Sungguh bukan pekerjaan mudah, saat nyawa seseorang dipasang harga murah.
Lalu, pahlawan ada karena bangsa sepatutnya mendapatkan haknya untuk merdeka. Pahlawan ada karena bangsa butuh disejahterakan. Pahlawan ada karena bangsa harus dicerdaskan. Pahlawan ada karena segala bentuk perdamaian harus terwujudkan. Pahlawan ada karena keadilan mesti ditegakkan.
Kini, perang usai, para veteran yang berkesempatan masih dikaruniai hidup, ikut menikmati hasil kemerdekaan, bersama generasinya. Namun disayangkan, biji-biji mata bangsanya yang satu ini, justru dijadikan pemain figuran di era penerusnya. Mereka disamarkan dari pahatan sejarah. Tidak banyak penghormatan yang diperoleh, hanya basah bibir dan secuil buah tangan yang tidak seberapa nilainya. Sesekali, bahkan sekadar jadi hiasan saksi hidup, tidak lebih. Atau yang paling sering, sebatas menjadi pemanis pada upacara-upacara peringatan.
Mereka yang gugur, hidup abadi sebagai kebajikan. Ada yang memang diakui hingga kini, ada yang memilih tidak ingin dicatat, dan ada pula yang sengaja disembunyikan dari narasi sejarah, bagai gula yang larut dalam kopi mendidih. Meskipun demikian, masih saja kerap ditarik-ulur tentang kepantasan jasanya. Sebab, pengertian pahlawan sudah dibatasi sebuah regulasi. Sudah disederhanakan sedemikian rupa ke dalam butir-butir konstitusi.
Selanjutnya, gelar pahlawan beralih dimensi ke pundak orang-orang yang masih bernyawa. Berpindah era di mana umur lebih diperhitungkan di sini. Apalagi, perang fisik sudah termasuk jadi barang langka. Risiko kematian kadarnya lebih sedikit. Pencapaiannya lebih tergolong praktis, karena tidak perlu harus repot-repot mandi darah. Publik pun bisa lebih dengan mudah mengenal pahlawannya tanpa harus berduka cita terlebih dahulu. Tanpa harus terpaksa menyanyikan lagu Gugur Bunga karya Ismail Marzuki. Lebih gampang seperti mengunyah daging saat gigi masih komplit.
Terlepas dari itu semua, entah dulu atau kini, esensinya masih tetap sama. Ini tentang apa dan bagaimana yang sudah diberikan terhadap bangsa dan negara. Belum cukup sekadar dengan taat bayar pajak. Atau hanya karena rajin menghibahkan suara pada setiap pemilihan umum. Dirasa belumlah cukup.
Pada sisi yang berbeda, ada juga yang justru berusaha memanfaatkan situasi ini dengan mencoba memalsukan diri sebagai pahlawan. Bernapas dalam rezim, serta buku-buku dan karya visual yang dicetaknya sendiri. Pintar bermain akrobat. Memanipulasi sejarah. Mengubah kebenaran menjadi kebohongan besar sebagai konsumsi publik. Sayangnya, pahlawan yang satu ini gemar sekali bangun siang, bahkan kelewat siang. Terlalu banyak begadang malamnya. Sibuk bermasturbasi dengan kursinya. Giat menjadi makelar yang mengatasnamakan kemaslahatan orang banyak. Ciri fundamental kaum oportunis. Dia suka sekali mencuci. Mulai dari mencuci tangan, mencuci uang, sampai mencuci 'dalaman' tetangganya sendiri.
Sebagai bangsa yang besar, sudah sepatutnya untuk menghargai dan meneladani jasa pahlawannya. Ambil apinya, bukan abunya, begitu kata Bung Karno. Dan itu merupakan sebuah hal wajib. Semangat mereka masih relevan hingga saat ini.
Seperti misalnya resolusi jihad, sebuah pemantik yang menjadi embrio dari Hari Pahlawan, serta latar belakang yang kini diperingati sebagai Hari Santri Nasional. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan dar al-Islam yang patut dibela dari segala bentuk agresi. Agama dan nasionalisme adalah dua kutub yang tidak berseberangan. Nasionalisme adalah bagian dari agama dan keduanya saling menguatkan.
Fatwa Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy'ari ini, dengan demikian, menegaskan kepada kita bahwa tidak ada kontradiksi inheren antara nasionalisme dan Islam. Saya kira, dengan diperingatinya hari pahlawan, bukan sepenuhnya berisi tentang untuk memuliakan semata. Tetapi, (masih) ada teguran bermakna 'titipan' yang harus tetap diteruskan perjuangannya oleh generasi pahlawan selanjutnya. Mudah-mudahan.
Penulis adalah pemuda asal Indramayu, santri Pesantren Al-Ishlah, Jatireja, Subang, Jawa Barat.