Opini

Belum Sehari di Balaroa, Likuifasi Pisahkan Betris dari Suaminya

NU Online  ·  Kamis, 18 Oktober 2018 | 04:15 WIB

Belum Sehari di Balaroa, Likuifasi Pisahkan Betris dari Suaminya

Betris Sigarlake (kanan)

Betris Sigarlake tidak menyangka Jumat 28 September 2018 adalah hari terakhir ia bias bersama suaminya, Fahrun Muhammad. Gempa bumi yang disusul likuifaksi menghancurkan rumah dan lingkungan mereka di Perumnas Balaroa, Kota Palu, Sulawesi Tengah, menyebabkan suaminya meninggal karena hilang tertelan lumpur dan bongkahan tanah.

“Sebenarnya saya nggak mampu untuk bercerita saat kejadian itu,” kata Betris merasakan kengerian detik-detik kejadian mengerikan itu.

Perasaan ngeri dan trauma yang dirasakan Betris, dan warga Perumnas Balaroa kiranya wajar. Bagaimana tidak? Saat itu getaran menyebabkan tanah dan rumah mereka bergoyang-goyang sekaligus bergerak.

“Belum melangkah ke luar belum satu menit, rumah sudah roboh. Tempat tidur amblas ke dalam tanah,” cerita perempuan 43 tahun itu.

Hal yang paling ia pikirkan saat itu adalah anak-anaknya. Ia pun bersama anaknya segera berlari ke tempat yang aman. Ia berpikir suaminya bakal cepat bergerak dan bisa menyelematkan diri.

Namun, laki-laki itu tidak segera melompat ke tempat yang aman, justru sempat berbalik ke arah bongkahan tanah karena ia mendengar teriakan meminta tolong warga lainnya. Suasana saat itu memang penuh kepanikan. Orang-orang meneriakkan nama Allah, dan saling meminta tolong.

“Saya masih melihat suami saya berlari di belakang, lalu terperosok ke saluran air, tertimbun tanah. Kejadiannya begitu cepat,” tutur Betris sedih.

Padahal sehari sebelumnya, ia dan suaminya masih berada di Samarinda, Kalimantan Timur. Sudah dua bulan mereka di Samarinda. Betris bekerja sebagai penjual makanan, dan suaminya berdagang alat elektronik. Demi ketaatan kepada suami, Betris menjual tanah di Samarinda. Hasilnya ia gunakan untuk membeli peralatan elektronik yang diperdagangkan suaminya.

“Hari ini kita harus ke Palu, Ma,” kata Fahrun kepada Betris, Kamis, 27 September sore.

Betris menahan suaminya dan bertanya kenapa harus mendadak, karena kembali ke Palu hari itu, belum ada dalam pembicaraan mereka sebelumnya.

“Pokoknya malam ini kita harus ke Palu. Saya sudah kangen dengan anak-anak,” tegas Fahrun. Anak-anak mereka berusia 14 dan 9 tahun, bersekolah di Palu.

Mereka mendapat tiket penerbangan ke Palu jam sembilan malam dan sudah tiba di rumah jam satu malam atau Jumat dinihari.

“Mungkin ini tanda bapak ingin menemani anak-anak di saat-saat terakhir,” ucap Betris lirih.

Gempa dan likuifaksi terjadi Jumat petang, maka belum genap sehari mereka berada di Palu dan bercengkrama dengan sekeluarga.

“Malam itu bapak tidur sama anak-anak. Siang anak-anak sekolah. Sorenya kan masih capek, jadi bapak minta diurut,” lanjutnya.

Menurut Betris yang sudah sekitar sembilan tahun tinggal di Perumnas Balaroa, gempa bumi di Palu bukanlah hal yang baru kali ini terjadi. Dahulu ia pernah merasakan tanah bergoyang-goyang tapi tidak sedahsyat kali ini.

“Dulu sering ada gempa biasa. Waktu siang (Jumat 28 September) memang agak kencang goyangan itu. Kita belum tahu kalau di Donggala sudah lebih dulu hancur. Kita mengira ini kejadian biasa karena sering gempa. Kejadian seperti sekarang baru sekarang. Rumah dan tanah ini berjalan. Rumah kita bergeser tidak pada posisinya,” tutur Betris lagi.

Karena posisi tanah dan rumah yang berubah, Betris mengatakan ia dan banyak warga susah mencari harta. Bahkan jenazah keluarga mereka yang ikut tertimbun, susah ditemukan karena tidak ingat titiknya.

“Suami saya bisa ketemu karena kita tahu titiknya di mana. Alat bantu kan tidak sembarangan mengambil (evakusi) jenazah,” terangnya.

Di tengah-tengah menceritakan kejadian itu, Betris kembali mengatakan dirinya tidak sanggup harus mengingat kejadian itu. Ia yang menyelamatkan diri hanya membawa baju di badan. Lalu saat ini harus kehilangan suami yang menjadi kepala rumah tangga.

Betris berpikir bagaimana dapat kembali bangkit. Di Pos NU Peduli Tavanjuka, tenda di mana ia tinggal bersama pengungsi lainnya yang sebagian besar adalah keluarganya, ia mengatakan jenuh kalau hanya berdiam diri. Ia mulai berpikir bagaimana kembali berdagang makanan.

“Alat elektronik yang masih baru kami beli, hancur tertimbun tanah. Begitu juga alat memasak saya,” sedihnya.

Ia pun mengatakan seandainya sudah ada modal ia akan membeli peralatan memasak. Masakan yang ia buat bakal ia jual di pinggir jalan di Kota Palu.

“Kami ini kan pedagang, nggak betah kalau diam saja begini,” katanya penuh harap. (Kendi Setiawan)