Opini

Belajar dari Kesederhanaan Kiai dan Keluhuran Pesantren

NU Online  ·  Jumat, 14 September 2018 | 23:30 WIB

Oleh Fathoni Ahmad

Kebersahajaan atau kesederhanaan ulama dari kalangan pesantren atau lazim disebut kiai, tidak hanya lahir dari perilakunya, tetapi juga dari kedalaman ilmu agamanya. Tebalnya ilmu seorang kiai tidak lantas membuatnya sombong, melainkan justru semakin membuatnya rendah hati dan tidak merendahkan orang lain.

Gambaran singkat sikap sederhana dari para kiai tersebut juga tidak bisa dilepaskan dari kearifan lokal atau nilai-nilai tradisi dan budaya yang berkembang di tengah masyarakat. Masyarakat Indonesia di antaranya melakukan aktivitas pertanian, menanam padi, dan lain-lain. Filosofi renda hati juga muncul ketika seorang ulama merenungi pertumbuhan padi. Padi semakin berisi, semakin merunduk.

Filosofi padi merupakan nilai yang adiluhung, dimana karakter kuat sebuah masyarakat terbentuk dari kearifan lokalnya. Seorang kiai juga tidak pernah melepaskan diri dari teladan yang dibawa Nabi Muhammad SAW. Ini perlu menjadi perhatian penting dan utama mengingat fenomena masyarakat Islam saat ini yang lebih mengedepankan sisi emosional ketimbang sisi rasional dan spiritual yang diteladankan Rasulullah.

Sejarah mencatat, keberhasilan dakwah Nabi Muhammad dan Wali Songo di Nusantara karena mereka dakwah dengan tidak memusuhi, tidak memukul, tetapi merangkul. Nabi juga mengajarkan agar umatnya selalu membawa cinta dalam setiap menyampaikan dakwah. Sebab itu, mencintai manusia dari seluruh kalangan merupakan pondasi kokoh agar kita juga dicintai oleh sesama. Ini fundamen penting dalam dakwah Islam.

Salah satu sosok kiai yang senantiasa menicintai sesama ialah KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Sosok Gus Dur terkait sikap, gerakan, perilaku, gagasan, dan pemikiran tidak hanya menimbulkan banyak pertanyaan di benak orang awam, tetapi juga memunculkan banyak rasa penasaran di dalam pikiran para kiai, termasuk KH Maimoen Zubair Sarang, Rembang.

Pengasuh Pondok Pesantren Al-Anwar Sarang ini pernah mengungkapkan rasa penasarannya terhadap Gus Dur dengan bertanya kepada sahabat dekatnya, Gus Mus (KH Ahmad Mustofa Bisri). Melihat sosok Gus Dur kala itu, Mbah Maimoen bertanya kenapa Gus Dur bisa seberani itu bahkan ketika harus berhadapan dengan rezim otoritarianisme orde baru.

Dalam sebuah forum pengajian, Mbah Moen, sapaannya, bertanya, “Kira-kira apa amaliah Gus Dur sehingga kok (bisa berani) seperti ini?”. Mendengara pertanyaan Mbah Moen, Gus Mus tidak kaget dan tidak heran. Karena pertanyaan ini sering mampir di telinganya dari berbagai elemen masyarakat. Gus Mus kala itu menjawab spontan saja, “Orang-orang mencintai Gus Dur, karena Gus Dur mencintai orang-orang,” jawab Gus Mus.

Gus Mus juga mengungkapkan kepada Mbah Maimoen bahwa Gus Dur itu sosok yang cuek. Dia tidak peduli orang lain senang atau membencinya, mereka mencintai atau mencaci-maki. “Gus Dur tetap mencintai mereka,” tutur Gus Mus.

Lantas, Kiai Maimoen bertanya ke Gus Mus, “Kok sampean tahu, Gus?” Gus Mus menjawab, “Lah wong saya itu teman satu kamar dengan Gus Dur, kok.” (KH Husein Muhammad, Gus Dur dalam Obrolan Gus Mus, 2015). Gus Mus dan Gus Dur memang teman satu kamar ketika mereka sedang menempuh kuliah di Al-Azhar Kairo, Mesir.

Gus Mus meneruskan kesaksiannya atas Gus Dur sambil mengatakan bahwa dirinya sangat paham dan mengerti pikiran-pikiran sahabatnya itu. Gus Dur adalah satu-satunya orang Indonesia yang namanya masih terus didoakan banyak orang. Pikiran-pikirannya masih ditulis, didiskusikan, diseminarkan, dan dikagumi banyak orang hingga saat ini.

Tidak ada yang pernah meragukan sifat humanisme KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Sifat yang diwujudkan melalui kasih sayang terhadap semua manusia ini terus diperjuangkan Gus Dur hingga akhir hayatnya. Tulisan “Here Rest a Humanis” (di sini istirahat seorang humanis) yang terpatri di nisan Gus Dur merupakan penghargaan tinggi terhadap nilai-nilai kemanusiaan.

Nilai-nilai kemanusiaan yang diterapkan oleh Gus Dur dalam kehidupan berbangsa dan bernegara juga diintegrasikan dengan nilai-nilai agama sehingga tidak kering moral. Artinya, penghargaan dan penguatan iman seseorang, apapun agamanya sejurus dengan penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan, apapun agamanya. Di sinilah Gus Dur kerap membela kaum-kaum tertindas dan terpinggirkan, baik minoritas non-Muslim maupun kelompok-kelompok tertentu.

Terkait perjuangan humanismenya ini, pada tahun 1996 di sebuah forum, Gus Dur dikritik karena kedekatannya dengan non-Muslim dan pembelaan dirinya yang kerap ditujukan kepada mereka. Si pengkritik Gus Dur tersebut mengutip ayat:

“Muhammadur Rasulullah, walladzina ma’ahu asyiddaau ‘alal kuffari ruhamau bainahum...” (Muhammad adalah Rasulullah, dan bersama beliau adalah orang yang (bersikap) keras/tegas terhadap orang-orang kafir, tetapi (bersikap) ramah tamah/kasih sayang di antara sesama (Muslim)... (QS Al-Fath: 29)

Menurut si pengkritik itu, Gus Dur tidak mengikuti ayat ini sebab beliau justru terbalik, ramah tamah terhadap non-Muslim dan sering mengkritik tegas terhadap sesama Muslim. Dalam forum yang diselenggarakan di Masjid Sunda Kelapa Jakarta itu, Gus Dur menjawab santai dan tenang seperti biasa. Menurutnya, pergaulan bisa dilakukan dengan siapa saja. Hal itu diteladankan oleh Rasulullah sendiri, bahkan Rasulullah SAW tidak pernah membenci kaum Quraisy yang kala itu masih dalam kekafiran.

Gus Dur juga menegaskan, sifat kasih sayang bisa dalam bentuk ketegasan, bukan hanya dalam bentuk kehalusan dan keramahan terhadap sesama. Dalam pernyataan yang dikutip Muhammad AS Hikam dalam Gus Dur Ku, Gus Dur Anda, Gus Dur Kita (2013), Gus Dur mengatakan:

“Ayat Al-Qur’an hendaknya dipahami ilmu tafsirnya. Tidak dimaknai secara harfiah. Tegas di dalam ayat 29 QS Al-Fath berarti tegas dalam keimanan, bukan dalam pergaulan. Kita sebagai Muslim (apalagi dalam kondisi mayoritas) tentu harus tetap ramah terhadap orang non-Muslim sebagai minoritas. Kalau saya sering bersikap kritis terhadap sesama gerakan Islam di Indonesia, ya karena dalam semangat ‘tawashou bil haq’. Memberikan pembelajaran internal, memang beda dengan pembelajaran keluar. Justru ‘ruhama’ atau kasih sayang itu saya ekspresikan dengan cara kritik. Kadang-kadang terdengar keras, tetapi saya tak memonopoli kebenaran seperti kebanyakan ormas dan tokoh-tokoh Islam lainnya.” 

Jadi, menurut Gus Dur kalau soal iman, maka sebagai seorang pemeluk Islam yang teguh, beliau tidak ada kompromi mengenai kebenaran keyakinannya. Namun jangan menutup mata juga bahwa ajaran Islam mengenal prinsip hablun minannas atau bergaul dengan sesama manusia, apalagi sesama anak bangsa, pemilik sah negeri ini. Di sini Gus Dur tidak mau membedakan antara Muslim dan non-Muslim dalam berangkulan memperkuat nilai-nilai kemanusiaan dan kebaikan seperti yang diajarkan agama.

Nilai-nilai kemanusiaan universal yang dilakukan oleh Gus Dur juga bersifat global. Ini ditunjukkan Gus Dur di antaranya ketika terus berjuang untuk kedaulatan rakyat Palestina dari penjajahan Israel. Ini terjadi saat malam sekitar tahun 1980-an. Kala itu, Gus Dur memangku gadis kecil bernama Zannuba Arifah Chafsoh Rahman di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta. Bukan sedang menikmati suasana malam atau pun rekreasi, tetapi sedang mengomandani amal bakti berupa penggalangan dana untuk rakyat Palestina.

Gus Dur meninggal setelah beberapa hari dirawat di Rumah Sakit Cipto Manungkusumo (RSCM) Jakarta. Baik dalam kondisi dirawat dan setelah kepergiannya, orang-orang tidak pernah berhenti mengunjungi Gus Dur. Bahkan, padatnya pentakziah yang tidak terhitung jumlahnya dari berbagai daerah di Indonesia turut mengantar jenazah putra sulung KH Wahid Hasyim tersebut ke tempat peristirahatan terakhir di komplek makam keluarga Tebuireng, Jombang. 

Tebuireng saat itu tumpah ruah penuh dengan orang-orang yang ingin menyaksikan proses dikebumikannya Gus Dur. Pesantren Tebuireng penuh dan sesak. Begitu juga jalanan utama di depan pesantren terlihat manusia berbondong-bondong ingin ikut mengantar Gus Dur.

Di luar sana, tidak hanya teman-teman Muslim yang memadati masjid, musholla, dan majelis-majelis untuk mendoakan Gus Dur, tetapi juga teman-teman dari agama Konghucu, Katolik, Kristen, Hindu, dan Budha turut meramaikan rumah ibadah masing-masing untuk mendoakan Gus Dur. Bahkan, mereka memajang foto Gus Dur di altarnya masing-masing. Mari belajar dari kesederhanaan kiai dan keluhuran pesantren sebagai salah satu basis akhlak dan karakter bangsa Indonesia. Wallahu’alam bisshowab.


Penulis adalah warga NU kelahiran Brebes, Jawa Tengah