Opini MEDITASI HIDUP KESEHARIAN (4)

Ayat Kehidupan dalam Rentang Waktu Panjang

NU Online  ·  Selasa, 19 April 2016 | 10:00 WIB

Oleh Mh Nurul Huda
“Di samping ayat-ayat qouliyah, penting juga Anda sekalian mengkaji ayat-ayat kauniyah”. Kalimat ini, atau pesan yang kira-kira serupa demikian,dulu pernah penulis dengar untuk pertama kalinyadari seorangguru yang, dengan penuh rasa penyesalan, namanya begitu mudah terlupakan.

Dalam ingatan yang tersisa, kalimat itu disampaikan dalam sebuah sesi belajar “Keaswajaan dan Ke-NU-an”dimana penulis dan sebaya ditemani puluhan lembar materi pelajaran yang kelihatannya sudah difotokopi berulang-ulang di atas kertas buram. Dari sanalah, kalau tak salah ingat, kalimat tandas itu terucap darisi pemilik suara yang parau nan berat. 

Ayat qouliyah yang dimaksud itu merujuk pada pesan-pesan dalam Kitab Suci. Sedangkan ayat kauniyah mengacu pada seluk beluk alam semesta, bumi, dan sesama manusia sendiri. Keduanya itu, katanya, sama-sama ayat Tuhan yang saling melengkapi satu sama lain sebagai sumber pembelajaran. 

Belakangan semakin disadari oleh penulis, bahwa ayat-ayat kauniyah dalam pembelajaran terdahulu semasa madrasah tsanawiyah itu adalah ayat-ayat kehidupan. Ia-lah realitas telanjang, seluk beluk kehidupan, baik yang bersifat biologis, kemasyarakatan, kesejarahan, maupun kenyataan alam. Melalui ayat-ayat kehidupan yang terkoneksi satu sama lain itu, kebenaran bisa ditemukan oleh mereka yang mau menggunakan akal pikiran (intelek).

Kebenaran itu hadir dalam pengetahuan dan kearifan tradisi lisan yang sisa-sisanya sampai kini kita warisi secara turun temurun selama berabad-abad. Baik ia yang dideduksikan dari kitab suci agama maupun induksi atas kepenuhan pengalaman hidup manusia atau semiotika biologis makhluk mamalia.

Adapun soal kebanyakan dari para pewaris pengetahuan dan kearifan purba itu kini menyangkal leluhurnya adalah hal lain.

Terimakasih kepada para ahli yang menelusuri “penjungkirbalikan” dalam sejarah pengetahuan umat manusia yang kita warisi hingga kini. Immanuel Wallerstein mencatat bahwa sebagian warisan kearifan berabad-abad ini hilang/dihilangkan dalam sains modern (yang kini mendominasi semua aspek kehidupan). Ia berakar pada abad ke-16 di Eropa, sejak falsafah menceraikan diri dari teologi sebelum akhirnya sains menceraikandiri dari keduanya. Ada reduksi habis-habisan di sana terhadap warisan pengetahuan tentang hakikat manusia, relasi-relasi antara manusia dengan kekuatan-kekuatan spiritualnya, dan struktur-struktur sosial yang mereka ciptakan sekaligus mereka hidupi bersama.

Di batok kecerdasan kepala Rene Descartes-lah, bapak filosof modern, pengertian “intelek”(mind, ‘aql), salah satu fakultas intelijensi manusia ini, dicukur tipis menjadi “rasio murni”. Ia diisolasi dari imajinasi, intuisi dan pengalaman reliji. Fiksi puitiknya--yang dipengaruhi oleh obsesinya yang begitu besar akan kepastian dan absolutisme pada jamannya--memisahkan rasio dari objek, menceraikan pikiran dari tubuh atau pengalaman kebertubuhan manusia keseharian. Sedemikian rupa ia sehingga memberi pondasibagi gagasan modern mengenai oposisi pikiran, subjek vs dunia objek. Yang rasional diunggulkan, sedangkan elemen-elemen seperti imajinasi, intuisi, termasuk pengalaman keagamaan, singkatnya yang non-rasional, dicampakkan.

Gagasan reduksionistik macam itu, yang terus berlanjut dan diwariskan dari masa ke masa oleh filosof dan ilmuansocial berikutnya dalam berbagai formulasinya, bukannya tanpa konsekuensi praktis. Gagasan-gagasan itu kawin-mawin baik secara sah maupun tidak sah, lalu melahirkan anak-anak dan cucunya baik anak halal maupun anak haram yang bernama individualisme, materialisme, saintisme, sekularisme, ide kemajuan (idea of progress), dan seterusnya.

Sejarah modern, secara akumulatif, pada kenyataannya, berjalan bersamaan dengan silang sengkarut gagasan macam itu. Ia bertumpang-tindih dan tunggang-menunggang dengan kepentingan kekuasaan, kedaulatan negara-bangsa, keserakahan kapitalis, kolonialisme-imperialisme, nasionalisme, obsesi-obsesi ideologis, pembelahan-pembelahan sosial dan nubuwat kemajuan yang terobsesi dengan keterputusan seputus-putusnya dengan masa lalu. Begitu ekspansifnya gagasan-gagasan ini melampaui ruang dan waktu, sehingga melembagadanmembentuk suatu gugusan pengalaman yang kita hidupi.

Dalam esai ini, penulis terang tidak bermaksud menolak rasionalitas per se (yang teralienasi dari kondisi organik keberadaannya). Melainkan sekadar memperlihatkan kecenderungan bahwa budaya modern sedang menuju ke arah dunia yang semakin rasional, menyerupai mega-mesin yang asal-usulnya berasal dari pandangan dunia yang serba mekanistik. Ini adalah suatu arus balik, bahkan penjungkirbalikan atas pengetahuan dan kearifan purba,dimana kemajuan-kemajuan atau pembaruan-pembaruan yang kita lakukan kini pun kadang diharuskan mengikuti sebuah diktat ideologis yang mesti dijalankan secara mekanistik pula. Dan di sepanjang perjalanan sejarah ini yang bertumpu pada rasio, kita menyaksikan dan mengalami kemajuan yang kita nikmati sekaligus aneka jenis kebrutalan yang mengerikan.

Akhirnya, Charlie Chaplin turut mengingatkan kita dalam “The Great Dictator” (1940): “Jangan serahkan dirimu sendiri pada manusia-manusia yang tidak natural: Manusia mesin dengan pikiran mesin dan hati mesin! Kalian bukanlah mesin, kalian bukanlah kerbau, kalian adalah manusia! Kalian, wahai manusia, punya kekuatan untuk membuat hidup ini merdeka dan indah. Untuk menjadikan hidup ini petualangan yang hebat. Mari kita gunakan kekuatan itu. Mari kita bersatu!”. (bersambung)

Penulis adalah dosen Program Studi Sosiologi, Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Indonesia Jakarta.