Opini

Asyura, Mahdiisme dan Aliran Sempalan di Indonesia

NU Online  ·  Senin, 20 Desember 2010 | 04:32 WIB

Abdul Malik

Hari Asyura atau 10 Muharram bagi sebagian umat islam merupakan salah satu hari yang mulia, sebab beberapa hadist nabi dan berbagai atsar popular menukilkan beberapa peristiwa penting di hari tersebut. Di Indonesia, sebagian besar masyarakat punya tradisi tersendiri di hari Asyura, diantaranya berpuasa, memperbanyak sedekah, hingga menyantuni anak yatim.

Dalam literature sejarah, peringatan hari Asyura muncul pertama kali di kalangan para pecinta keturunan Nabi, yang kemudian menamakan kelompok atau madzhab Syi’ah. Bagi penganut madzhab Syi’ah, dan sebagian kelompok Islam lainnya,<>

Asyura diperingati sebagai hari berkabung. Sebab pada tanggal tersebut, Sayyid Hussain Bin Ali, cucu dari Nabi Muhammad Saw, terbunuh dalam perang saudara di lapangan Karbala. Gugurnya Hussain (dalam sejarah-sejarah Syi’ah) kemudian diikuti dengan pembantaian terhadap para pengikutnya, termasuk kerabat dan para putera Hussain.

Terbunuhnya cucu Nabi itu, secara praktis mengukuhkan kedudukan Yazid bin Muawwiyah sebagai Khalifah bagi Negara Islam yang saat itu terbentang dari semenannjung Arabia hingga Andalusia (Spanyol). Yazid menjadi pemimpin tunggal umat Islam saat itu, ia meneruskan kepemimpinan ayahnya Muawwiyah bin Abu Sufyan, yang merebut kedudukan Khalifah Ali Bin Abu Thalib, melalui dialektika politik saat gencatan senjata dalam perang Shiffin.

Cerita duka yang dialami Keluarga Ali bin Abi Thalib secara bertubi itu, kemudian memunculkan dendam terselubung di kalangan Syi’ah dan sebagian umat Islam lainnya saat itu. Terlebih sikap kepemimpinan Yazid dan para penggantinya (yang dalam sejarah Islam kemudian dinamakan Bani Umayyah) yang cenderung otoriter dan bertangan besi.

Pada masa-masa kepemimpinan Bani Umayyah inilah kemudian muncul kerinduan terhadap pemimpin yang adil. Para ulama Syi’ah saat itu memanfaatkan kerinduan terhadap pemimpin yang adil itu, dengan mempopulerkan hadist nabi tentang kedatangan Imam Mahdi, sebagai pemimpin akhir zaman yang akan mengalahkan Dajjal pada tahun-tahun menjelang hari kiamat nanti.

Kerinduan terhadap Imam Mahdi ini menjadi doktrin ampuh untuk menguatkan posisi para Ulama Syi’ah saat itu. Maka kemudian dikenallah Imam-imam Syiah yang diyakini sebagai pengantar datangnya Imam Mahdi.

Di kalangan Sunni, Mahdiisme juga diadopsi untuk menguatkan kesabaran masyarakat saat itu. Umat Islam dipaksa untuk menerima kepemimpinan yang dzalim, sebagai takdir yang niscaya, menjelang kedatangan Al Mahdi.

Hal ini pun terjadi di Nusantara. Para pujangga Jawa, termasuk diantaranya Ronggo warsito, mengadopsi Mahdiisme sebagai ratu adil nompo wahyu, yang kelak kan datang setelah jaman goro-goro.

Mahdiisme sebagai Doktrin Pemberontakan

Mahdiisme pada jaman penjajahan Belanda dimanfaatkan oleh para Ulama di Nusantara untuk mengukuhkan diri sebagai pemimpin pemberontakan. Sejarah mencatat, bagaimana Sultan Agung Mataram menggelari diri sebagai Hanyakrakusuma sayiddin panatagama, khalifatullah ing tanah Jawa. Sebagai pemimpin yang dijanjikan Tuhan untuk menata agama dan melawan Kedzaliman. Hal sama juga dilakukan Soekarno saat menjadi Presiden. Al-Mahdi menjadi mitos yang dimanfaatkan secara politis untuk melegitimasi kepemimpinan, sekaligus untuk melawan penguasa.

Di era Reformasi, bahkan hingga saat ini, semangat mahdiisme kembali muncul dalam kemasan yang serupa tapi tak sama. Otokrasi Soeharto, dan labilnya pemerintahan pasca Orde Baru, dimanfaatkan oleh  beberapa tokoh masyarakat, ataupun para pemimpin keagamaan, untuk menumbuhkan kepercayaan politik pengikutnya, bahwa dirinya lah Pemimpin yang dijanjikan Tuhan.

Meminjam teori Kritik Habermas terhadap Positivime (Mansour Faqih, 2002), Para tokoh  itu berhasil membangun instrumen pengetahuan pengikutnya, atau dengan kata lain mendoktrin umatnya, untuk kemudian mengontrol, memprediksi dan memanipulasi serta mengeksploitasi terhadap obyeknya.

Para pengusung Mahdiisme ini banyak merekrut anak-anak muda untuk dicuci otaknya, dengan berbagai penafsiran agama yang tunggal, sehingga menjadi kader yang loyal terhadap pemimpinnya. Tak heran, jika saat ini berbagai sekte keagamaan terus menjamur di Indonesia. Di berbagai daerah, kini bermunculan para tokoh yang disakralkan oleh pengikutnya, dan membentuk aliran sempalan. Sebut saja misalnya Lia Eden, aliran Salamullah atau bahkan yang terbaru, adalah Muhammad harun Syu’aib dari Kolaka Sulawesi Tenggara yang kini sedang cukup populer dunia maya, karena dalam akun Facebooknya (http://www.facebook.com/Daeng.Arung?v=info )

Harun mengklaim diri sebagai Imam Mahdi. Bukan tidak mungkin jika pada tahun-tahun ini akan bermunculan lagi berbagai organsasi sempalan, baik lokal, maupun transnasionalis yang akan memanfaatkan kelemahan politis Pemerintahan SBY, untuk membangkitkan semangat pemberontakan melalui doktrin Mahdiisme.

Doktrin yang sama juga tampaknya diterapkan oleh organisasi-organisasi transnasionalis yang bermunculan di Indonesia. Mereka mereduksi nilai-nilai keagamaan, menjadi fanatisme kelompok, Ashobiyah, hingga semangat pemberontakan terhadap negara kian berkobar. Bahkan tak jarang pula ada kelompok yang menahbiskan kekerasan terhadap umat lain adalah jihad fi sabilillah.

Menafsir ulang Semangat Perjuangan Al-Mahdi
Hal berbeda justru terjadi di negara-negara Syi’ah seperti Iran. Mahdiisme di Iran justru menjadi sarana memperkuat nasionalisme, dan menumbuhkan semangat pencarian ilmu pengetahuan untuk kepentingan umat. Para ulama Iran berhasil menafsir ulang mahdiisme menjadi semangat aristokrasi yang positif bagi negaranya.

Idealnya, Asyura menjadi pemicu bagi tokoh Islam untuk menumbuhkan semangat pengorbanan bagi sesama. Semangat membangun negara yang madani, bukan untuk membakar fanatisme kelompok, dan semangat peperangan apalagi bertindak anarkis dan melakukan teror demi kepentingan politis pemimpinnya semata. Sebab pengorbanan Al-Hussain bermakna positif, sebagai sikap heroik membela kebenaran.

* Ketua Lakpesdam NU Kota Serang, Banten periode 2007-2010, kini tinggal di Karawang.