Aswajaethic; Ruh Baru Pergerakan, dari Doktrin Paradigmatik ke Disiplin Kesadaran
NU Online · Senin, 13 Desember 2010 | 04:02 WIB
Ahlussunnah wal-jamaah (aswaja) sudah makin berkembang. Sebagai prosedur resmi dalam merumuskan sikap, aswaja kini menempati posisi selangkah lebih maju lagi. Bagi sebagian kader muda Nahdlatul Ulama, aswaja bukan lagi sekedar mainstream ajaran yang menghadirkan pilihan tata cara bermanhaj. Lebih dari itu, aswaja kini mereka hadirkan sebagai dasar etika baru.
Saya ingin memastikan disini, Aswajaethic bukan semata karya lmiah atau hasil perenungan. Ini adalah wajah baru yang merupakan embrio dari pergelutan kiprah dan pergolakan wacana yang selama lebih setengah abad terakhir terus digelisahkan oleh sahabat-sahabat Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII).<>
Yang menarik, sebagai ruh baru yang ke depan sangat mungkin bakal menjadi way of life, kalau saya tidak berlebihan, aswajaethic justru tumbuh bukan dari kawasan subur tempat para kader PMII disemai seperti Yogjakarta, Malang, atau Medan. Melainkan dari lahan kurang subur untuk kaderisasi seperti Jakarta.
Sedikit telat dan tidak pada tempatnya memang, kali pertama aswaja pembaruan ini saya sadari tumbuh-kembangnya, saat saya di lapangan futsal. Awal November lalu kebetulan saya terlibat adu fisik dengan beberapa pengurus PKC PMII DKI Jakarta. Kurang jelas berapa selisih golnya, yang pasti saya dan beberapa sahabat PB PMII harus ngotot untuk menahan gempuran mereka, yang materinya rata-rata lebih muda.
Salah seorang pemain muda berbakat, sebut saja Aris Adi Leksono mengenakan kaos bertuliskan aswajaethic di bagian depannya. Saya baru menyadari itu saat pertandingan usai. Kapten tim PKC PMII DKI Jakarta Dwi Winarno mengatakan, tulisan di kaos itu adalah kesimpulan singkat dari workshop aswaja yang digelar sudah agak lama. 2 Maret 2010 tepatnya. Pikir saya pun terdongkrak untuk bertanya, barang apa lagi ini?
Tak cukup mendapatkan pengertian utuh dari obrolan singkat usai futsal malam itu, saya lalu menelusuri jejak aswajaethic yang dimaksudkan sahabat-sahabat PMII DKI Jakarta ini ke www.pmiijakarta.com. Ada salah satu artikel berhasil saya temukan disini. Ternyata ditulis oleh Aris Adi Leksono sendiri sebagai Ketua Bidang Kaderisasi. Yang saya dapat garisbawahi, maksud dari aswajaethic menurut sahabat-sahabat PKC PMII DKI adalah aswaja dalam posisi sebagai manhaj al-fikr dikukuhkan lagi sekaligus manhaj al-taghayyur al-ijtima’i ( manhaj perubahan sosial).
Memanifestasi Aswaja Menjadi Etika
Aswajaethic secara istilah saya pahami merupakan integrasi dari dua kata ‘aswaja’ dan ‘etika’. Sebagai sebuah variabel, dua kata ini masing-masing memiliki karakter yang sama-sama kuat. Etika dalam filsafat bahkan ditempatkan secara terhormat sebagai disiplin ilmu tersendiri.
Aswaja yang merupakan penyingkatan dari ahlussunnah wal-jamaah, di NU dipahami sebagai ajaran baku yang materinya bersumber dari empat madzhab, Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali. Dari keempat tokoh ini diambillah sari-sari keilmuan praktis terutama menyangkut akidah, syari’ah dan akhlak.
Di PMII, aswaja direkonstruksi menjadi cara pandang baru yang sedikit lebih maju. Konsep doktrin klasik yang dianggap mengadopsi dan menggunakan sumber ajaran secara mentah-mentah, dinilai kurang tepat. PMII yang kemudian kerap mendapat sebutan anak nakal NU, lantas menyusun rumusan baru aswaja sebagai manhaj al-fikr. Yang membedakan, kalau di NU aswaja merupakan paket yang secara terstruktur dengan penuh kehati-hatian digunakan sebagai rujukan, di PMII, aswaja lebih dikeluarkan lagi, dibongkar, dan diambil sisi metodologisnya.
Lalu mengenai etika, sebenarnya posisinya lebih universal. Etika dalam arti yang sebenarya adalah filsafat mengenai bidang moral. Meminjam bahasa Romo Magnis, etika merupakan ilmu atau refleksi sistematik mengenai pendapat-pendapat, norma-norma, dan istilah-istilah moral.
Dalam konteks aswajaethic ini, etika dimaknai sebagai keseluruhan norma dan penilaian yang dipergunakan oleh kader PMII sebagai bagian dari entitas masyarakat, untuk mengetahui bagaimana seseorang seharusnya menjalankan kehidupannya. Jadi kalau Romo Magnis memiliki thesis mengenai etika Jawa, sebuah analisa falsafi mengenai kebijaksanaan hidup masyarakat Jawa, maka aswajaethic adalah etika PMII, suatu garis falsafi mengenai kebijaksanaan hidup para kader PMII.
Apa saja yang harus masuk menjadi etika PMII? Isinya tentu saja mencakup semua nilai yang secara metodologis berhasil diangkat, disarikan dari doktrin aswaja oleh PMII. Sebagaimana terdokumentasi dalam buku besar PMII, maka etika PMII seharusnya merupakan institusionalisasi dari manhaj al-fikr PMII yang mencakup prinsip Tawasuth (moderat), Tasammuh (toleransi), Tawazun (keseimbangan), dan Ta’adul (keadilan).
Dengan menginstitusionalisasi cara pandang, metodologi, menjadi sebuah etika, saya menggambarkan paripurnanya adalah sebuah integrasi yang kokoh antara sikap, pendapat, dan tindakan. Disini, etika berbicara sesuatu secara universal. Karenanya, integrasi antara sikap, pendapat, dan tindakan yang harus dikenalkan bukan hanya dalam konsep kehidupan beragama, tetapi juga dalam kehidupan berpolitik, berorganisasi, dan bernegara.
Dalam teori kepemimpinan, kita sering menyebut satunya sikap dan tindakan. Secara pencapaian memang sama. Tetapi prosesnya sedikit berbeda. Dalam praktik kepemimpinan, satunya sikap dan tindakan bisa diasah melalui pelatihan-pelatihan. Sementara, pada konteks ini aswajaethic merupakan proses perjalanan keilmuan dari ajaran menjadi doktrin paradigmatik, dan kemudian melahirkan ruh pergerakan baru berupa disiplin kesadaran. Integrasi antara pernyataan sikap dan tindakan yang tumbuh dari disiplin kesadaran, pondasinya tentu jauh lebih mapan. Dalam hal ini sebagai harapannya, sistematika sikap keberagamaan maupun politik kewarganegaraan seorang kader PMII tentu dapat lebih mendekati aras kebijaksanaan. Bukan lagi sekedar sikap yang disistematika ‘tengah-tengah’ antara yang tatharruf (ekstrim) baik kiri maupun kanan.
Tantangan Relativitas
Mengukuhkan manhaj al-fikr aswaja sebagai aswajaethic secara epistemologis akan lebih membebaskan proses-proses ijtihad PMII. Sekat-sekat ajaran dan pertanyaan-pertanyaan kritis mengenai konsep tengah yang gamang dengan sendirinya bisa disudahi. Demikian juga dengan pemahaman konsep ideologi yang kerap disalah mengerti.
Sebagai sebuah disiplin kesadaran, aswajaethic sesungguhnya senada dengan thesis Kohlberg tentang tahapan puncak perkembangan kesadaran moral universal yang dianggapnya berlaku dalam semua kebudayaan. Tahapan perkembangan kesadaran yang dimaksud bersifat praktis-normatif dalam pengertian tidak begitu saja mengikuti perkembangan keadaan ekonomi dan sosial masyarakat, melainkan mengikuti logikanya sendiri.
Aswajaethic berbicara disana pada saat seorang kader PMII atau siapapun yang setuju dengan prinsip Tawasuth (moderat), Tasammuh (toleransi), Tawazun (keseimbangan), dan Ta’adul (keadilan), bertindak menurut prinsip-prinsip etis universal sebagaimana dikumandangkan oleh suara hatinya. Kedisiplinan ini hadir pada saat mereka memberikan sikap hormat terhadap hak setiap manusia, entah itu jenis manusia dari kelompok mereka sendiri atau tidak.
Namun apapun, seperti saya kemukakan di awal, aswajethic kenyataannya barulah sebuah ikhtiar. Sebuah ijtihad kolektif kader PMII DKI Jakarta untuk mencoba me-repositioning aswaja sebagai landasan ideal berjuang. Tantangan terberatnya sekarang adalah; mampukah aswajaethic mempublik dan membumi di kalangan kader pergerakan? Sebagai bagian dari tata nilai yang direproduksi menjadi etika universal, seberapa besar tingkat singgungannnya di luar? Tidakkah akan resisten di lingkungan kultur yang berbeda?
Berbagai pertanyaan ini tentu harus menjadi bahan perenungan bersama mengingat di pihak lain, konsep kebenaran relativisme kultural memiliki pendapat bertolak belakang. Pendapat mereka adalah bahwa prinsip-prinsip moral dari individu-individu atau kelompok-kelompok berbeda sering kali berbeda dan bertentangan secara fundamental.
Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Pemikiran PB PMII
Terpopuler
1
Khutbah Idul Adha 2025: Teladan Keluarga Nabi Ibrahim, Membangun Generasi Tangguh di Era Modern
2
Khutbah Idul Adha: Menanamkan Nilai Takwa dalam Ibadah Kurban
3
Bolehkah Tinggalkan Shalat Jumat karena Jadi Panitia Kurban? Ini Penjelasan Ulama
4
Khutbah Idul Adha: Implementasi Nilai-Nilai Ihsan dalam Momentum Lebaran Haji
5
Khutbah Idul Adha Bahasa Jawa 1446 H: Makna Haji lan Kurban minangka Bukti Taat marang Gusti Allah
6
Khutbah Idul Adha: Menyembelih Hawa Nafsu, Meraih Ketakwaan
Terkini
Lihat Semua