Opini

Antara Kebencian dan Keadilan

NU Online  ·  Selasa, 21 September 2010 | 06:19 WIB

Oleh: Imam Hanafie El-Arwany

Dulu di akhir tahun 1999, banyak orang yang mencaci-maki Pak Harto dan mempersepsikannya sebagai biang kerok atas segala krisis multidimensi yang terjadi di republik ini. Orang-orang yang semula "menjilat-jilat" Pak Harto pun mulai menjauhinya agar terbebas dari stigma Soehartois. Tetapi Gus Dur, yang oleh media terbitan Singapura, The Sunday Times dijuluki sebagai The Kingmaker itu dengan entengnya dan tanpa beban malah berkunjung ke kediaman Soeharto di Cendana.

Manuver yang tak lazim itu tentu saja membuat banyak orang heran, marah, bahkan banyak pula yang menghujat kunjungan itu, mengingat mantan presiden itu telah dicap sebagai public enemy. Lantas, apa jawaban Gus Dur menanggapi hujatan ketika itu? "Pak Harto masih kuat. Pendukungnya yang berewokan dan serem-serem itu bisa marah kalau Pak Harto terus dihujat," demikian jawab Gus Dur enteng.<>

Terlepas dari anasir politis yang melatarbelakangi tindakan Gus Dur yang nyleneh bin nekat itu, ada satu pelajaran yang dapat kita petik untuk direnungkan bersama. Boleh jadi Gus Dur tidaklah membenci Soharto sebagai sesama manusia yang juga masih memiliki sifat kemanusiaan, tetapi menurut penulis Gus Dur hanya membenci kediktatoran mantan penguasa Orde Baru itu. Jadi, Gus Dur tidaklah membenci "siapanya" Soeharto, tetapi membenci "apanya" Soeharto.

Ini persis seperti yang pernah diucapkan oleh Sahabat Ali r.a., Undzur ma qola wala tandzur man qola, (Lihatlah apa yang dikatakan dan jangan lihat siapa yang mengatakan). Di sinilah tampak dengan jelas nilai-nilai keadilan (al-'adalah) yang coba diajarkan Gus Dur dalam meletakkan antara sikap kebencian dengan nilai-nilai humanisme secara tepat, seimbang dan proporsional.

Sifat membenci atau kebencian (al-bughdh) adalah suatu keniscayaan yang pasti dimiliki oleh setiap makhluk yang bernama manusia, sebab di dunia ini ada dua hal yang senantiasa berpasang-pasangan; siang-malam, baik-buruk, cinta-benci dan seterusnya. Jadi, jika ada yang mengatakan "saya tak pernah membenci apapun atau siapapun", maka orang seperti ini perlu dipertanyakan kemanusiaannya karena sok bertipologi malaikat. Oleh karena sifat membenci dan mencintai itu musti ada pada setiap diri kita, maka kewajiban kita adalah me-manage¬-nya secara profesional agar kecintaan dan kebencian itu dapat diletakkan sesuai porsinya dan mampu menghasilkan kemaslahatan dan rahmatan lil'alamin.

Al-Qur'an dengan telah tegas menggariskan: "…Dan jangan sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu berbuat tidak adil. Berbuat adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan" (QS. Al-Maidah : 8). Ayat ini secara jelas memberi pelajaran kepada kita bahwa meskipun kebencian itu lazim ada pada siapapun, dengan tegas Al-Qur'an mensyaratkan tidak boleh sama sekali kebencian itu dijadikan alasan untuk memperlakukan institusinya atau orang yang dibencinya secara tidak adil.

Contoh misalnya, menghadapi kasus Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) boleh-boleh saja orang tidak setuju dengan keberadaan kelompok ini, tetapi sekali-kali ketidaksetujuan itu tidak boleh kita lampiaskan dengan berlaku anarkhis terhadap mereka. Penganiayaan yang mengakibatkan jatuhnya korban di pihak HKBP itu menandakan bahwa pelakunya lebih dikuasai oleh rasa kebencian yang berlebihan sehingga tidak lagi bisa berlaku adil terhadap mereka. Bukankah masih ada jalan lain untuk menyelesaikan masalah tersebut tanpa harus menumpahkan darah? Bukankah mereka itu juga masih menjadi bagian dari saudara kita sebangsa (ukhuwah wathaniyah)? Di samping itu sebagai bangsa Timur, setiap menghadapi persoalan yang besar kita harus senantiasa mengedapankan sikap kegotongroyongan dan permusyawaratan dalam bingkai nasionalisme dan pluralisme. Jadi, silahkan kita membenci apapun atau siapapun, tetapi sekali-kali kebencian itu harus diposisikan secara profesional, jika tidak maka kebencian itu sendiri yang akan menyulut konflik horisontal yang berkepanjangan.

Rasulullah SAW pernah diganggu bahkan disakiti oleh seorang kafir Quraisy berkali-kali, tetapi ketika si kafir Quraisy suatu hari tidak tampak lagi batang hidungnya karena sakit, Rasulullah SAW lah yang pertama kali datang menjenguknya. Betapa mulianya panutan kita itu. Pemimpin manakah di dunia ini yang dapat menandingi akhlak beliau? Tokoh manakah yang mampu menyamai kearifan beliau? Beda sekali dengan kita, tersentil sedikit saja bereaksi bukan main hebatnya.

Ada salah satu kebiasaan yang mungkin masih kita lakukan, yaitu kebencian gebyah uyah atau kebencian pukul rata. Misalnya, kita membenci salah satu sikap seseorang yang menurut kita sudah keterlaluan, karena saking bencinya kita menjadi gelap mata dan menganggap orang itu akan brengsek selamanya. Atau karena saking tidak sukanya lantas kita memvonisnya secara membabi buta dengan menyatakan bahwa semua af'al (perbuatan) orang yang tidak kita sukai itu "kurang ajar" semuanya hanya karena satu perbuatan yang tak kita sukai. Ataupun juga, karena terlalu membenci seseorang lalu ketika kita secara tak sengaja bertemu orang yang sangat kita benci itu kita sering membuang muka, bahkan memberi sedikit senyumanpun terasa berat, padahal ini sama saja dengan tidak "memanusiakan" manusia karena menganggap orang yang kita benci itu hanya sebagai "mayat berjalan".

Tindakan semacam ini jelas-jelas menunjukkan bahwa kita tak profesional mengelola kebencian, yakni tak mampu menjunjung tinggi prinsip keadilan ketika kebencian sedang menguasai jiwa. Padahal dengan jelas Tuhan telah berfirman bahwa tak boleh sekali-kali kebencian kita itu menjadikan kita alasan untuk berlaku tidak adil, meskipun hanya sebatas malas memberikan senyuman di saat kita dikuasai perasaan benci.

Dalam konteks membenci atau mencintai sesama, Rasulullah SAW dalam salah satu haditsnya telah memberikan batasan: "Ahbib habibaka haunan ma, 'asa an yakuna baghidhoka yauman ma. Wa abghidh baghidhoka haunan ma, 'asa an yakuna habibaka yauman ma" (Cintailah kekasihmu itu sekedarnya saja, boleh jadi kamu akan membencinya suatu ketika. Dan bencilah orang yang kamu benci sekedarnya saja, boleh jadi kamu akan mencintainya suatu ketika) (HR. Tirmidzi). Dengan tegas sabda Rasulullah SAW ini menjelaskan kepada kita bahwa meskipun kecintaan atau kebencian itu sebuah keniscayaan, akan tetapi ia tak boleh berlebihan, dalam arti cintailah dan bencilah apa saja yang kita cintai dan kita benci dalam tataran yang wajar supaya kita tetap bisa berlaku adil, dan supaya kita tetap menjadi manusia.

Jika pada suatu saat kita memang harus membenci seseorang, silahkan benci saja dia. Tetapi janganlah kebencian itu dengan harga mati, agar humanisme kita tidak ikut mati. Janganlah kebencian itu membabi buta, agar hati kita tidak ikut-ikutan buta. Jika karena kebencian yang overdosis itu humanisme kita benar-benar mati dan hati kita telah buta, maka jelas kita tak akan pernah mengenal keadilan, baik terhadap lingkungan, orang lain maupun terhadap diri kita sendiri. Bukankah Tuhan telah berfirman bahwa sikap adil itu dekat dengan ketaqwaan. Jadi jika kita memang banyak tidak melihat kebaikan pada diri seseorang, janganlah orang itu kita musnahkan kemanusiaannya, janganlah ia kita rampas semua hak-haknya (Mala yudraku kulluh, la yutraku kulluh).

Berkaitan dengan hal ini, ada satu pepatah yang menyatakan : "Errors like straws upon the surface flow; he who would search for pearls must dive low", maksudnya, mencari kesalahan orang lain itu mudah, tetapi kita perlu berusaha untuk mengetahui kebaikan-kebaikannya. Artinya, di antara sifat-sifat jahat seseorang, pastilah ia masih punya sifat baik.

Oleh karena itulah, mengapa kita tidak boleh menghilangkan hak-hak kemanusiaan seseorang meskipun kebencian kita sudah menggunung? Agar kita tetap menjadi makhluk yang bernama manusia. Inilah sesungguhnya yang disebut dengan manajemen kebencian, yaitu me-manage kebencian kita terhadap apapun atau siapapun yang kita benci secara prefosional, agar kebencian kita itu dapat diletakkan pada posisi yang proporsional. Karena dengan begitulah, kita akan tetap menjadi manusia yang berkeadilan di antara manusia-manusia yang mungkin saja kita sebut-sebut sebagai manusia "setengah manusia" atau manusia yang tak "berperi-kemanusiaan" sekalipun.Wallahu 'alam bishshawab.

(Ketua Jurusan STAI Sangatta Kutai Timur)