Opini

Antara Agama dan Politik

NU Online  ·  Senin, 17 September 2012 | 22:56 WIB

Oleh: Irfan Sona

 

Kemerosotan akhlak dan moral para penyelenggara negara kian menjadi di bumi pertiwi ini. Banyak para politisi yang sudah tidak relevan lagi dalam menjalankan fungsinya sebagai petinggi negara. Hal ini tidak hanya terjadi pada orang-orang yang ada di pusat, akan tetapi didaerahpun tidak kalah pentingnya. Kemerosotan moral inilah yang memicu para politisi untuk melakukan tindakan-tindakan yang tidak manusiawi. Mereka lebih condong memikirkan nasib dan perut mereka mereka sendiri tanpa mau memikirkan nasib rakyat yang ada dinegara tersebut. Kenapa hal ini bisa terjadi, apakah mereka tidak mempunyai pengetahuan yang tinggi sehingga mereka berbuat sesuka hati untuk melakukan perbuatan yang tidak pro rakyat.<>

Hal ini tidak lain dan tidak bukan adalah salah satu bentuk akibat kurangnya pengetahuan tentang agama. Seharusnya agama menjadi pendamping utama bagi setiap penyelenggara negara. Hal ini bertujuan agar mereka tidak salah kaprah dalam melangkah. Memang banyak orang yang beranggapan bahwa agama bukanlah bagian yang bisa dikaitkan dengan politik. Urusan yang terdapat dalam agama tidak boleh dimasukan kedalam urusan pemerintahan apalagi politik. Orang beranggapan bahwa agama dan politik adalah dua bidang yang berbeda jauh, dan keduanya tidak dapat disatukan. Mereka menilai bahwa nilai yang terkandung dalam politik sangat berbeda dengan nilai yang terdapat dalam agama. Institusi yang digunakan dalam politik adalah sebuah negara, yang definisi idealnya adalah bangunan universal yang cocok untuk semua komunitas politik, tanpa memandang suku dan golongan. Sementara itu agama tidak memiliki institusi utama. Agama hanya membentuk dirinya melalui institusional khas yang dibentuk oleh kultur lokal dan latar belakang historis. Masing-masing bidang memiliki tugas sendiri-sendiri. Dari sinilah banyak para politisi yang mulai melupakan akan hakikat dari agama tersebut untuk dijadikan tangan kanan dalam menjalankan urusan ketatanegaraan. 

Perdebatan-perdebatan panjang ini selalu terjadi dikalangan para politisi di Indonesia. Mereka selalu menganggap bahwa agama tidak berhak dijadikan pendamping mereka dalam urusan politik mereka. Mereka lebih senang menggunakan pola pikir politik-politik Barat yang mayoritas adalah politik liberal, monarki, dan lain sebagainya. Hal lain yang menjadi landasan mereka tidak mau memasukan nilai-nilai agama dalam diri politisi adalah dikhawatirkan bila suatu saat akan terjadi perang antar kelompok agama lalu berakhir pada perang antar dunia politik. Sebab di Indonesia sekarang ini, para penguasa partai politik tidak hanya orang Islam saja akan tetapi banyak dari orang non Islam yang menjadi penguasa politik. Oleh karena itu, mereka selalu menolak gagasan tentang agama dan politik jika disatukan. 

Ada beberapa perdebatan hebat yang terjadi sekarang dan itu merupakan tantangan bagi para politisi tentang hubungan antara agama dan politik ini. Masing-masing dari perdebatan ini membuat rumusan masalah sendiri-sendiri. Ada yang berpendapat bahwa agama memang penting jika dimasukan kedalam kancah dunia politik khususnya para penyelengara negara. Sebab bagi mereka para penyelengara negara saat ini sudah benar-benar minus akan nilai dan moral serta adab yang baik. Mereka lebih dominan mengadopsi budaya politik barat yang mayoritas mengandalkan kekuasaan sebagai media untuk memperkaya diri. Dari situlah para politisi seperti ini akhirnya melupakan hakikat norma yang terkandung dalam pancasila. Namun berbeda dengan orang-orang yang menolak jika agama dijadikan tulang punggung para penyelenggara negara. Mereka beranggapan bahwa budaya politik tidak sama dengan budaya yang terdapat dalam agama. Politik selalu berkaitan dengan struktur negara dan dengan hubungan internasional. Sedangkan agama hanya bergerak dalam bidang suku atau kelompok tertentu dalam suatu negara itu sendiri. Lalu ada juga yang berpendapat serat mempertanyakan apakah konsep etika berakar pada tradisi historis tertentu atau berakar pada suatu gagasan rasional universal.

Ketiga perdebatan ini melibatkan kelompok-kelompok partisipan yang berbeda dan tumpang-tindih pada hubungan antar agama dan politik. Pada saat yang sama, mereka sama-sama meyakini bahwa konvensi-konvensi mapan pemikiran barat tidak memadai untuk secara sepenuhnya dijadikan media untuk memahami komunitas politis dan hakikat ketatanegaraan di Indonesia. Namun sangat disayangkan sekali hal ini tidak berlaku bagi para pengurus negara yang ada sekarang. Mereka tetap saja mendambakan budaya politik barat yang otoriter itu. Mereka tidak lagi menggunakan makna yang terkandung dalam kata demokrasi, akan tetapi kata demokrasi sendiri sudah mereka salah artikan. Inilah dampak yang timbul jika penyelenggara negar sama sekali tidak memiliki nilai-nilai agama dalam dirinya. Apalagi jika mereka sudah asyik bergaul dengan politisi-politisi barat sehingga mereka lupa akan sejarah dan corak budaya politik bangsanya sendiri.

Lalu, langkah apa yang bisa dilakukan untuk mengatisipasi hal tersebut. Jika semua politisi yang ada sekarang sudah tidak lagi menjadikan agama sebagai tangan kanannya. Bahkan mereka sudah beranggapan bahwa agama tidak layak untuk dijadikan pendamping utama dalam politik itu sendiri. Sudah barang tentu, sebagai umat Islam khususnya yang merupakan pemegang kekuasaan tertinggi dalam ranah politik Indonesia. Kita sudah saatnya memberikan dan menyuntikan nilai-nilai agama kedalam tubuh para politisi penyelenggara negara yang ada sekarang. Mereka harus dibebaskan dari paradigma kebaratan, agar mereka sadar bahwa agama sangat penting demi menuju budaya politik yang bersih dan terciptanya penyelenggara negara yang benar-benar memiliki akhlak yang baik. Kita harus membuang doktrin-doktrin yang ada pada mereka. Terutama doktrin tentang paham politik barat. Hal ini bertujuan agar para politisi negara Indonesia benar-benar siap dan bisa mengerti bahwa budaya politik yang mereka gunakan selama ini adalam budaya politik yang buruk. Dengan adanya relevansi antara agama dan politik diharapkan bisa menciptakan para penyelenggara negara yang handal, jujur, cerdas, bertanggung jawab, dan tidak korupsi. Jika semua politisi yang ada di Indonesia memahami dan mau menerima nilai-nilai yang diberikan agama kepada mereka, maka bisa dipastikan mereka akan sangat disegani oleh para politisi yang ada di dunia tanpa terkecuali Amerika.


* Mahasiswa IAIN Walisongo Semarang, Peserta Sekolah Ilmu Politik Di Monash Institute