Oleh Fuad Al-Athor
Belum selesai kita membaca sebuah postingan berisi susunan kalimat yang cukup provokatif tentang ajakan memperjuangkan ideologi Khilafah, gawai ini sudah menerima pesan lagi berupa video tentang konten yang sudah diedit sedemikian rupa, menggambarkan bencana di Palu dengan narasi keagamaan yang menyentuh emosi, sementara baru saja buyar dari sajian publik hoaks yang disebarkan oleh tokoh politik yang kemudian diakuinya. Juga masih tersimpan di galeri gawai ini puluhan bahkan ratusan konten dengan berbagai model aplikasi penyajian, tulisan, video, audio dan stiker, gift dan foto editan. Sepertinya kita telah tenggelam dalam air bah informasi. Banjir bahkan tsunami pembohongan!
Situasi membadainya informasi ini akan lebih mengerikan jika dilihat lebih cermat lagi bahwa ternyata di balik itu ada upaya sistematis dan terencana dengan pendekatan yang konseptual. Ini bukan tren alamiah yang secara spontan ada begitu saja, akan tetapi sebuah situasi yang sengaja diciptakan dengan model komunikasi membanjirkan jumlah informasi bukan dengan kualitas fakta dan argumentasi, guna mencapai sebuah tujuan tertentu pula. Inilah strategi yang dikenal dengan firehouse of falsehood. Ini merupakan strategi yang pertama kali digunakan oleh Rusia dalam rangka pencaplokan wilayah Crimea, Georgia. Kemudian dikembangkan secara politik dan diklaim telah menghantar banyak kemenangan; peristiwa Brexit, Trump di USA dan terakhir Bolsonora di Brazil.
Strategi komunikasi ini memiliki 4 rukun; pertama, menbanjirnya volume informasi serta melalui berbagai saluran. Ini dapat kita lihat dengan banyaknya konten-konten yang bernada ujaran kebencian, caci maki, hoaks, provokasi secara lembut maupun kasar, propaganda terselubung maupun terang-terangan untuk membenci tradisi-tradisi keberislaman yang telah berdiri kokoh selama ini di Nusantara. Ini merujuk pada banyaknya konten entah itu editan video, maupun narasi-narasi yang disebarkan melalui berbagai saluran sosmed untuk membenci unsur-unsur islam yang sudah establish lama di Indonesia, baik ajarannya maupun aktornya utamanya, di sisi lain ia mengajak untuk mendukung ide-ide keberislaman gaya mereka yang baru yakni islam berkhilafah. Pembanjiran ini juga melalui forum-forum pengajian, majelis taklim dan mimbar-mimbar bebas yang digelar dengan memobilisasi massa yang berjumlah banyak. Prinsip yang digunakan adalah semakin sering didengar maka akan semakin memberi pengaruh.
Kedua, kecepatan, berkesinambungan dan diulang-ulang. Pesan yang sama dengan media berbeda, muncul berulang-ulang, ajeg membawa substansi yang sama seperti contoh kasus; setiap ada musibah selalu dikaitkan dengan tafsir mereka tentang kemaksiatan, azab, dan kezaliman pemerintah. Kita perhatikan ini tidak hanya diaplikasikan terhadap bencana alam yang berlangsung bahkan terakhir juga diterapkan pada kecelakaan pesawat Lion Air JT-610 yang jatuh di perairan Tanjung Pakis, Karawang Jawa Barat. Tentu saja ini menuai banyak sanggahan dan kemarahan, mereka berhasil menarik perhatian. Prinsip kecepatan mereka gunakan agar apa yang mereka dengar (pahami) akan menjadi alat ukur (kerangka penilaian) bagi hal-hal selanjutnya. Ruang kosong akan menggemakan suara pertama yang mengisi!
Ketiga, minimnya komitmen pada realitas obyektif. Tentu memproduksi konten yang banyak dengan detail dan metode yang bisa dipertanggungjawabkan keilmiahannya atau kekuatan argumentatifnya akan menimbulkan kesulitan. Rukun yang ketiga ini mereka terapkan dengan sadar bahwa tidak perlu terlalu benar apa yang mereka argumentasikan. Contoh dalam sebuah komentar yang bervariasi namun bertujuan sama, mereka cenderung menghujani dengan caci maki, ancaman dan sumpah serapah yang bahkan, tidak mengandung sebuah argumentasi rasional sedikitpun.
Inilah prinsip mereka menghujani dengan komentar, bukan menghadirkan kebenaran atau memberi sanggahan yang cukup rasional, misalnya. Jadi mereka memang acuh dan tanpa komitmen pada objektivitas. Tujuan dari hal ini adalah untuk memberikan bias pemahaman pada masyarakat awam terhadap apa yang ingin mereka percayai atau tidak. Sehingga dengan membanjirnya informasi ini masyarakat lebih mudah meyakini kebenaran buatan ini secara lebih cepat.
Rukun keempat, minimnya komitmen terhadap konsistensi. Coba kita lihat bagaimana kelompok pembela Khilafah ini. Ketika mereka muncul di media publik mainstream lalu bandingkan dengan carutnya pasukan cyber mereka. Lihat pendirian mereka ketika ditanya soal komitmen terhadap kedamaian, anti kekerasan dan kebinekaan. Di spanduk-spanduk yang ditebar di pinggir jalan. Pro NKRI, jaga ukhuwah anti kekerasan, namun hal ini jauh dari konsistensi jika dibandingkan dengan kenyataan yang mereka tunjukkan di lapangan yang beringas, provokatif dan selalu meneriakkan khilafah di majelis-majelis mereka. Penekan yang lebih penting bagi mereka ada memberi sentuhan emosional.
Metode ini mengutamakan jumlah dari pada kualitas informasi, lima argumentasi buruk akan mampu melahap satu argumentasi baik. Dengan lima komentar caci maki dan ancaman sudah cukup membuat satu komentator bagus untuk undur diri dari sebuah perdebatan di Facebook. Dalam lingkup yang lebih luas, awam cenderung menerima sebuah fakta sekonyol apa pun ia, jika telah ia temukan melalui saluran-saliran yang berbeda; ia baca di Facebook, ia dapatkan di WA, kemudian membaca dari situs baru yang belum terkonfirmasi kredibilitasnya, kemudian dari sumber yang mem]nyajikan dengan media berbeda, misalnya video atau ceramah di majelis taklim yang ia hadiri. Ini terjadi pada isu tentang membludaknya TKA dari China, satu argumentasi dari otoritas tertinggi di negara ini, yakni Presiden yang menyatakan bahwa TKI di China berjumlah 80.000 lebih, yang ini berbasis data valid kenegaraan tak mampu mencegah kepercayaan awam pada isu ini yang telah diulang-ulang dengan berbagai media dan sumber dan telah berlangsung lama.
Menjadi yang pertama adalah lebih penting dari menjadi yang benar. Prinsip ini terjadi pada banyak isu, terakhir adalah provokasi pembakaran bendera HTI. Ketika isu-isu dibanjirkan sudah tidak ada waktu yang cukup untuk memverifikasi fakta-fakta. Ia dibahkan untuk bertubi-tubi sehingga belum satu isu terverifikasi sudah timbul isu yang lain. Tujuannya adalah untuk, menghibur, membingungkan dan membuat kewalahan para awam.
Dengan teknik ini, pada ujung keterpanaan, ketakutan, kebingungan dan kepercayaan awam yang sudah terbiasa mengonsumsi isu-isu tadi, akan terbangun sentimen irasional yang mudah disulut untuk diarahkan pada sebuah tujuan yang sifatnya politik. Membuat kegaduhan untuk kemudian menjarah dengan mudah. Lontaran-lontaran kebodohan ini ternyata secara berantai dan meluas membangunkan kedunguan-kedunguan lainnya. Lapisan-lapisan keawaman sejauh ini tidak tersentuh oleh pendidikan politik demokrasi akan mewujudkan dirinya dan mengantarkan sosok penggeraknya untuk berkuasa. Fix, inilah kebangkitan kebodohan! Apakah anda akan jadi bagiannya?
Penulis adalah santri Pondok Pesantren Kasepuhan Atas Angin, Ciamis