AGAR TIDAK MENJADI BANGSA KULI (LAGI!) DI NEGERI SENDIRI Nahdlatul Ulama, Menghadang Neo-Liberalisme dan Islam (Neo)Liberal
NU Online · Kamis, 7 Juli 2005 | 11:16 WIB
Oleh: Ahmad Baso*
We are often told "Colonialism is dead". Let us not be deceived or even soothed by that....
<>I beg of you do not think of colonialism only in the classic form which we of Indonesia, and our brothers in different parts of Asia and Africa, knew.
Colonialism has also its modern dress, in the form of economic control, intellectual control, actual physical control by a small but alien community within a nation.
It is a skilful and determined enemy, and it appears in many guises.
--- Soekarno, "Speech at the Opening of Asian African Conference", Bandung, 1955. (huruf miring dari AB).
1 Untuk memahami kehadiran buku saya Islam Pasca-Kolonial dalam konteks maraknya arus liberalisasi agama dan juga liberalisasi ekonomi, lebih baik saya mulai dari apa yang dikatakan oleh novelis besar Pramoedya Ananta Toer dalam novelnya yang terkenal Arus Balik:
Sekarang makin lama makin sedikit kapal-kapal Jawa berlayar ke utara, ke Atas Angin, ke Campa ataupun ke Tiongkok. Arus kapal dari selatan semakin tipis. Sebaliknya arus dari utara semakin deras, membawa barang-barang baru, pikiran-pikiran baru, agama baru. Juga ke Tuban. ....
Dahulu, di jaman kejayaan Majapahit, arus bergerak dari selatan ke utara, dari Nusantara ke Atas Angin. Majapahit adalah kerajaan laut terbesar di antara bangsa-bangsa beradab di muka bumi ini. Kapal-kapalnya, muatannya, manusianya, amal dan perbuatannya, cita-citanya – semua itulah arus selatan ke utara. Segala-galanya datang dari selatan. Majapahit jatuh. Sekarang orang tidak mampu lagi membuat kapal besar. Kapal kita makin lama makin kecil seperti kerajaannya. Karena, ya, kapal besar hanya dibikin oleh kerajaan besar. Kapal kecil dan kerajaan kecil menyebabkan arus tidak bergerak ke utara, sebaliknya, dari utara sekarang ke selatan, karena Atas Angin lebih unggul, membawa segala-galanya ke Jawa, termasuk penghancuran, penindasan, dan penipuan. Makin lama kapal-kapal kita akan semakin kecil untuk kemudian tidak mempunyai sama sekali. .....
Tidak mungkin – asal kalian menguasai jalan laut lagi. Selama mereka yang menguasai, mereka takkan menenggang kapal kita, akan menghancurkannya sama sekali. Sampai kita dibikin tidak beranjak dari dusun kita sendiri di pesisir dan gunung.
Dengan lugas Pram menggambarkan relasi antara dua dunia yang waktu itu dikenal dengan sebutan "negeri bawah angin" dan "negeri atas angin". Negeri bawah angin adalah sebutan lain dari Nusantara; negeri atas angin adalah sebutan untuk wilayah sepanjang utara Nusantara, termasuk India, Semenanjung Arab, hingga daratan Eropa. Oleh Pram, relasi itu digambarkan pada sebuah "arus". Negeri yang besar digambarkan bergerak dari selatan menuju ke atas, ke utara. Meski berada di "bawah", tapi Nusantara punya kemampuan untuk bergerak ke atas, menjangkau wilayah-wilayah seberang sana. Ini berkat kekuatan "arus" yang menggerakkannnya, arus kapal besar.
Arus ini memang biasa dikenal di sebuah negeri yang sebagian besar komponennya adalah kepulauan. Laut adalah modal besar kemajuan negeri. Simbol kedigdayaan negeri maritim seperti ini adalah pada kapal laut. Tepatnya kapal besar. Pram menggambarkan kekuatan kapal besar ini pada muatannya: "Kapal-kapalnya, muatannya, manusianya, amal dan perbuatannya, cita-citanya". Dengan kapal ini, orang-orang negeri bawah angin bisa leluasa bergerak kesana-kemari di belahan utara, membawa berbagai amal dan perbuatan, termasuk cita-cita, dari negeri sendiri. Tepatnya, mereka membawa kebudayaan dan ide-ide besar, dan dengan itu mereka besar dan kuat. Arus ini pula yang membawa kemakmuran bagi negeri. Dengan kata lain ke utara membawa ide, dan pulang kembali ke selatan membawa kekayaan untuk negeri.
Tapi, apa yang terjadi kemudian, ketika lambat-laun arus mulai berbalik? Yakni dari utara ke selatan. Kerajaan menjadi kecil, demikian pula kapalnya, dan juga manusianya menjadi kerdil. Kalau sebelumnya penduduk negeri bawah angin adalah pencipta ide-ide, kini menjadi pemamah ide-ide. Alias konsumtif belaka. Mereka pun tidak banyak lagi
Terpopuler
1
Soal Tambang Nikel di Raja Ampat, Ketua PBNU: Eksploitasi SDA Hanya Memperkaya Segelintir Orang
2
Khutbah Jumat: Mempertahankan Spirit Kurban dan Haji Pasca-Idul Adha
3
Rais 'Aam dan Ketua Umum PBNU Akan Lantik JATMAN masa khidmah 2025-2030
4
Khutbah Jumat: Meningkatkan Kualitas Ibadah Harian di Tengah Kesibukan
5
Ketum PBNU Buka Suara soal Polemik Tambang di Raja Ampat, Singgung Keterlibatan Gus Fahrur
6
Khutbah Jumat: Menyatukan Hati, Membangun Kerukunan Keluarga Menuju Hidup Bahagia
Terkini
Lihat Semua