Opini

Agar Demokrasi Tidak Mati

Kam, 7 November 2019 | 08:00 WIB

Agar Demokrasi Tidak Mati

Masyarakat yang cerdas akan membuat demokrasi melahirkan wakil rakyat dan pemimpin yang bisa mengantarkan kepada gerbang kesejahteraan.

Oleh M. Sya’roni Rofii
 
Pemilihan umum 2019 telah usai. Semua tahapan pemilu telah menemui titik akhir. Siapa yang menang, siapa yang kalah telah diputuskan oleh penyelenggara pemilu. Proses pemilu yang berlangsung hampir satu tahun itu merupakan ikhtiar bangsa Indonesia untuk mengubah nasibnya ke arah yang lebih baik. Kejatuhan rezim Orde Baru oleh elemen mahasiswa dan masyarakat sipil dianggap sebagai jalan keluar untuk membawa bangsa Indonesia ke arah yang lebih baik juga bagian dari ikhtiar memperbaiki arah bangsa. Berdasarkan pengalaman bangsa-bangsa di dunia, revolusi muncul karena adanya ketidakpuasan pada rezim berkuasa dan adanya kulminasi penderitaan rakyat. Peristiwa jatuhnya Suharto terjadi lebih cepat karena krisis ekonomi yang melanda Indonesia. Suharto jatuh, transisi demokrasi dimulai.
 
Definisi sederhana transisi demokrasi adalah perpindahan dari titik ke titik lainnya. Dalam praktiknya biasanya diawali dengan kejatuhan rezim otoriter kemudian dilanjutkan dengan upaya restrukturisasi sistem dari puing-puing yang ditinggalkan rezim sebelumnya. Negara yang mampu melewati transisi demokrasi secara mulus pada akhirnya akan mampu menggapai konsolidasi. Indonesia sendiri telah berhasil melewati masa transisi di bawah kepemimpinan BJ Habibie yang mampu mengakomodasi kepentingan berbagai kekuatan politik di Indonesia dengan cara menggelar pemilihan umum yang lebih demokratis. BJ Habibie mengeluarkan kebijakan-kebijakan progresif untuk memulihkan kebebasan sipil yang menjadi asas penting demokrasi. Tahanan-tahanan politik dibebaskan. Pers diberi ruang gerak sebagaimana mestinya. Hasilnya, dibawah era Habibie yang singkat Indonesia kembali mendapatkan penghormatan dari negara-negara di dunia. 
 
Selepas Habibie, presiden-presiden setelahnya memiliki tugas yang relatif lebih mudah, sirkulasi kekuasaan berlangsung sebagaimana harapan elit politik dan sebagian masyarakat Indonesia. Sebab pemilihan umum pasca Suharto berlangsung secara bebas. Partisipasi peserta pemilu naik drastis, dari sebelumnya hanya diikuti tiga partai politik saja, kemudian berubah menjadi 48 partai politik. Munculnya 48 partai politik menunjukkan ekspresi kebebasan politik setelah tiga dekade diredam.
 
Ancaman Bangsa Gagal
Bahwa bangsa Indonesia memilih demokrasi tujuannya adalah agar adanya perubahan nasib. Mahasiswa dan kekuatan sipil menjatuhkan Presiden Suharto dari kursi kekuasaan argumennya adalah ingin menghilangkan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) dari bumi Indonesia. Daren Acemoglu dan James Robinson (2012) menyebut dalam bukunya ‘’Why Nations Fail’’ bahwa rakyat Inggris hari ini sejahtera karena telah melakukan revolusi pada tahun 1688 yang membuka ruang bagi kebebasan politik dan kebebasan individu yang kemudian mengantar mereka untuk mendapatkan peluang-peluang ekonomi yang bisa diakses oleh siapa saja. Revolusi yang dilakukan pada tahun 1688 kemudian membawa Inggris menuju gerbang Revolusi Industri. Fondasi revolusi beberapa abad silam hingga hari ini terus dipelihara dalam alam politik Inggris. 
 
Bagi bangsa yang memanfaatkan instrumen demokrasi secara maksimal untuk kesejahteraan maka mereka pasti akan mendapatkannya. Namun, hal sebaliknya akan tercipta manakala demokrasi hanya dijadikan sebagai formalitas semata untuk pergantian elit yang dibenci diganti dengan elit yang masih memiliki keterkaitan dengan elit sebelumnya. 
 
Bahwa demokrasi tidak serta merta menjamin kesejahteraan rakyat ketika elit politik menggunakan demokrasi untuk memperkaya diri, maraknya perilaku korupsi elit dan tindakan-tindakan yang menyalahgunakan kekuasan. Elite yang tengah berkuasa mengeluarkan kebijakan semata-mata ditujukan untuk kepentingan segelintir orang. Kebijakan yang diciptakan tidak memberikan akses dan peluang ekonomi yang luas bagi seluruh rakyat. Pola seperti ini disebut tindakan "extractive economy" yang menurut Acemoglu dan Robinson menjadi penyebab bangsa-bangsa gagal baik di kawasan Afrika, Amerika Latin maupun Asia. Salah satu ilustrasi yang digunakan Acemoglu untuk menjelaskan "extractive economy" adalah Robert Mugabe yang memanfaatkan jabatannya sebagai presiden Zimbagwe untuk memperkaya diri sementara rakyatnya menderita. Mugabe selalu keluar sebagai pemenang undian tahunan yang diselenggarakan oleh Zimbank sebuah bank milik negara setempat yang membuat banyak orang heran dengan betapa ajaibnya undian tersebut karena nama yang diundi meliputi ribuan nasabah (Daren Acemoglu dan James Robinson, 2012).
 
Tentang Matinya Demokasi
Selain tentang isu demokrasi dan kaitannya dengan kesejahteraan rakyat. Poin lain yang juga penting untuk dibahas adalah tentang fenomena populisme di berbagai belahan dunia yang berpotensi menggerus nilai-nilai dasar demokrasi. Mengacu pada tesis Daniel Ziblatt dan Steven Levitsky dalam buku "How Democracy Dies" (2018) bahwa demokrasi juga tidak serta merta menjamin pemimpin terpilih menjalankan prinsip-prinsip demokrasi. Demokrasi bisa membawa mereka yang terpilih menjadi otoriter. Mereka yang terpilih berdasarkan suara mayoritas punya potensi untuk menyalahgunakan kekuasaan untuk kepentingan politik jangka panjang untuk diri dan kelompoknya. Begitulah bagaimana demokrasi mati di era modern. 
 
Merujuk Ziblatt dan Levitsky, kematian demokrasi di era modern ditandai dengan, adanya pemilihan umum namun elit yang kalah tidak mau menerima kekalahan, adanya dugaan kecurangan, adanya upaya penggunaan kekuasaan untuk melanggengkan kekuasaan oleh elite berkuasa, penegak hukum tidak mampu bertindak adil, pers bebas namun melakukan sensor atas pemberitaan sendiri, rakyat secara tidak sadar berada dalam genggaman otoritarianisme karena tidak ada yang membunyikan lonceng tanda kematian demokrasi. Dua ilmuwan politik asal Universitas Harvard tersebut menyebut fenomena terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat sebagai salah satu contoh bagaimana demokrasi tengah mengalami periode buruk di Amerika Serikat (Ziblatt dan Levitsky, 2018).
 
Selain Ziblatt dan Levitsky, ada juga Francis Fukuyama dan Fareed Zakaria yang dikenal sebagai pembela demokrasi liberal belakangan menyuarakan trend peningkatakan "illiberal democracy" di sejumlah negara. Keduanya menyoroti tentang banyaknya pemimpin yang mengaku demokratis karena dipilih melalui pemilihan umum, akan tetapi dalam pelaksanaan pemerintahan cenderung otoriter. Fenomena ini disebut dengan rezim ‘’illiberal’’. 
 
Dalam konteks Indonesia, pada pemilu 2019 terjadi polarisasi dan pembelahan yang keras antara kubu yang disebut "cebong" di satu sisi dan "kampret" di sisi lain. Pertarungan dua kubu begitu keras  sehingga muncul istilah "total war" dan "perang badar". Pemilu 2019 juga menunjukkan adanya penggiringan agama atau isu agama secara eksesif ditandai dengan perang dalil dan simbol. Kerasnya kontestasi diikuti dengan persebaran berita bohong atau hoaks yang masif, membuat masyarakat susah membedakan mana yang benar dan mana yang keliru. Di satu sisi masyarakat Indonesia dipaksa untuk percaya kepada kebohongan sementara di sisi lain masyarakat juga dipaksa untuk tidak percaya kepada kebenaran, karena keberadaan bersandar pada juru kampanye dan tim sukses. Dua versi kebenaran tersebut merupakan imbas dari hanya ada dua pilihan calon presiden.
 
Pada pemilu 2019 isu politik uang sangat masif. OTT anggota DPR oleh KPK jelang pemilu dengan barang bukti uang 400.000 amplop setara 8 miliar untuk serangan fajar. OTT oleh KPK ini sudah lebih dari cukup untuk menjelaskan bahwa politik uang itu bukan mitos. Tinjauan lebih jauh tentang politik uang di Indonesia membawa Edward Aspinall melahirkan buku berjudul ‘’Democracy for Sale’’ (2019).  Maraknya politik uang jika terus dibiarkan akan membawa demokrasi yang mahal dan cenderung transaksional. Jika terus dibiarkan maka mereka yang memiliki kekuatan finansial yang akan mampu menduduki posisi-posisi penting di pemerintahan dan lembaga perwakilan. Daulat rakyat akan terdegradasi menjadi sebatas suara yang bisa dibeli seharga satu dollar saja. Bukan "one manone vote" tetapi "one dollarone vote". Ironi yang sudah lama dikhawatirkan oleh peraih nobel ekonomi Joseph Stiglitz (2012).
 
Belakangan, dua kubu yang sebelumnya terlibat dalam kontestasi yang keras, dibela secara spartan oleh masing-masing pendukungnya bahkan sampai ada yang masuk jeruji besi, berada dalam satu kabinet. Presiden Joko Widodo menunjuk Prabowo Subianto yang merupakan rival saat pemilihan presiden berubah menjadi teman di pemerintahan. Fenomena ini tentu saja terlihat unik bagi para pengamat internasional tentang bagaimana demokrasi di Indonesia bekerja. Model seperti ini apakah akan sehat bagi demokrasi Indonesia? Hanya waktu yang bisa menjawab.
 
Pada akhirnya, sangat perlu untuk melakukan refleksi. Demokrasi Indonesia harus dibangun berdasarkan nalar kritis. Masyarakat Indonesia harus diedukasi untuk menjadi pemilih yang memahami demokrasi adalah bagian dari upaya untuk memperbaiki keadaan. Demokrasi memungkinkan masyarakat untuk mengganti rezim yang tidak disukai dengan rezim yang disukai, mencari alternatif selain status quo, serta membuka kesempatan ekonomi seluas-luasnya kepada semua orang. Demokrasi merupakan saluran untuk menyalurkan aspirasi semua elemen masyarakat. Demokrasi Indonesia harus ditopang oleh para pemilih cerdas. Oleh sebab itu maka pemerintah memiliki tugas untuk mencerdaskan seluruh anak bangsa dari pusat hingga pelosok-pelosok. Sebab, hanya dengan demokrasi yang ditopang oleh masyarakat cerdas yang akan mampu membuat demokrasi melahirkan wakil rakyat dan pemimpin yang bisa mengantarkan kepada gerbang kesejahteraan.
 
 
Penulis adalah Dosen Universitas Indonesia