Nasional

Masyarakat Sipil Penentu Demokrasi di Indonesia

Kam, 7 November 2019 | 04:30 WIB

Masyarakat Sipil Penentu Demokrasi di Indonesia

Dosen Fakulas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Robi Sugara saat menyampaikan pemikirannya dalam Pelatihan Menulis Kertas Kebijakan oleh Civil Society Against Extremism (C-Save) di Hotel Horison Pasar Baru, Jakarta. (Foto: NU Online/Rahman)

Jakarta, NU Online

Menyampaikan pendapat di muka umum di Indonesia dijamin oleh Undang-undang Dasar 1945, tepatnya pada pasal 28. Dalam pasal 1 misalnya tertulis dengan jelas bahwa kemerdekaan menyampaikan pendapat adalah hak setiap warga negara untuk mengutarakan pikiran dengan lisan, tulisan dan dengan cara lain secara bebas dan bertanggung jawab.

 

Era kini, memberikan saran sekaligus mengawal semua kebijakan pemerintah, dilakukan masyarakat sipil dengan membanjiri beranda berbagai jenis media sosial. Sejak Indonesia diproklamirkan tahun 1945, kekuatan sipil di Indonesia sangat kental, bahkan tidak seorangpun yang bisa menghalangi kemauan masyarakat sipil jika hal itu sudah dinilai mendesak.

 

Seperti tahun 1998, mahasiswa dan masyarakat melakukan demonstrasi kepada rezim orde baru yang dinilai gagal membawa Indonesia ke arah yang lebih baik. Itu juga menunjukan bahwa demokrasi di Indonesia masih ditentuan oleh kekuatan masyarakat sipil.

 

Dosen Fakulas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Robi Sugara menuturkan bangsa Indonesia sudah mengenal sistem demokrasi sejak puluhan tahun silam. Makanya sampai saat ini kekuatan masyarakat sipil masih menentukan arah kebijakan pemerintah yang sedang menjabat.

 

“Apalagi sekarang zaman industri 4.0, masyarakat sipil bisa diperluas bukan hanya misalnya organisasi-organisasi yang kemudian didirikan ada dasar hukumnya di Kemenkumham dan Kemendagri. Tetapi juga netizen-netizen sulit dibendung menurut saya,” kata Robi saat ditemui NU Online seusai kegiatan Pelatihan Menulis Kertas Kebijakan oleh Civil Society Against Extremism (C-Save) di Hotel Horison Pasar Baru, Jakarta Pusat, Rabu (6/11).

 

Namun, lanjut Robi, kekuatan sipil tersebut harus mengarah kepada komitmen masyarakat dalam membangun Indonesia yang lebih maju dan beradab. Setiap saran dari masyarakat sipil harus dilandasi dengan pemahaman yang kuat mengenai kebijakan tertentu seperti kebijakan larangan cadar dan lain-lain.

 

“Yang paling genting opini masyarakat sipil kemana? Misalnya dalam arah respon kebijakan negara, contoh soal cadar dan celana cingkrang itu ‘kan hampir semua saya kira belum sepakat, bahkan semua parpol belum mengamini,” ujarnya.

 

Ia menegaskan bahwa Indonesia adalah negara demokrasi yang mengusung arus musyawarah mufakat, termasuk menjaring aspirasi dari masyarakat sipil. Maka selama masyarakat sipil masih kuat kehidupan berdemokrasi, diyakini ia semakin optimal.

 

“Kekuatan sipil itu di negara-negara demokratis tidak negara-negara yang otoriter, Indonesia masih termasuk demokratis,” ucapnya.

 

Kontributor: Abdul Rahman Ahdori

Editor: Aryudi AR