Opini

50 Tahun RI dalam Cengkeraman Berkeley Mafia

NU Online  ·  Selasa, 20 Juni 2006 | 01:27 WIB

Oleh Kwik Kian Gie

SEJAK Soeharto berkuasa, ekonom yang tergabung dalam Organisasi Tanpa Bentuk yang bernama "Berkeley Mafia" memegang kendali ekonomi Indonesia sampai sekarang, dengan jeda sebentar selama Kyai Haji Abdurrahman Wahid menjabat sebagai Presiden.

Di masa itu, pengaruhnya tidak lagi semutlak sebelumnya, namun masih tetap besar melalui Dewan Ekonomi Nasional yang diketuai oleh Prof. Emil Salim dan Dr. Sri Mulyani Indrawati sebagai sekretarisnya. Setelah itu juga dibentuk Tim Asistensi pada Menko EKUIN yang diketuai oleh Prof. Widjojo Nitisastro dengan Sri Mulyani sebagai sekretarisnya.

<>

Jadi dalam periode pemerintahan Abdurrahaman Wahid, seluruh Tim Ekonomi yang bukan anggota Berkeley Mafia terus menerus dibayang-bayangi Berkeley Mafia yang mempunyai hubungan sangat dekat dan intensif dengan negara-negara dan lembaga-lembaga internasional pemberi utang kepada Indonesia.

Para anggota Berkeley Mafia tidak perlu harus lulusan dari Universitas Berkeley di California. Banyak lulusan dari Berkeley yang bukan anggota Berkeley Mafia. Sebaliknya, banyak pula para sarjana lulusan dari perguruan tinggi yang bukan Berkeley adalah anggota Berkeley Mafia.

Dalam era Presiden Soekarno yang disebut Orde Lama, pembangunan ekonomi tidak memperoleh perhatian yang cukup. Ini disebabkan karena Bung Karno dengan rekan-rekannya dihadapkan pada sekelompok besar manusia dengan sangat banyak suku yang masing-masing mempunyai latar belakang kebudayaannya sendiri-sendiri, serta menghuni sangat banyak pulau.

Dalam era Presiden Soekarno yang saya lebih suka menyebutnya era Nation and Character Building, utang luar negeri sebesar US$ 2 miliar. Sumber daya alam praktis utuh. Namun pertumbuhan ekonomi tidak ada atau tidak seberapa, kemakmuran dan kesejahteraan rakyatnya terbelakang. Pada akhir pemerintahan Soekarno inflasi mencapai 600%. Pada akhir pemerintahannya kondisi politik sangat tidak stabil dengan terjadinya G-30-S PKI beserta aftermath-nyoi.

Mengapa ekonomi "diterlantarkan"? Benarkah Bung Karno tidak mengerti ekonomi dan tidak mempunyai perhatian terhadap pembangunan ekonomi?

Mengapa tidak mengundang modal asing secara besar-besaran, dan mengapa tidak mempersilakan akhli-akhli asing mengendalikan Indonesia melalui nasihat-nasihat atau rekomendasi yang mengikat, karena dibiarkan menggrojok Indonesia dengan utang?

Dari berbagai pidato Bung Karno dapat dengan sangat jelas diketahui bahwa Bung Karno mengerti betul pentingnya pembangunan ekonomi. Namun ada dua faktor yang membedakan Bung Karno dengan pikiran-pikiran Berkeley Mafia. Yang pertama ialah tugas untuk menggembleng bangsa Indonesia menjadi satu nation yang diikat dengan Tunggal Eka dalam Kebhinekaannya membutuhkan waktu dan prioritas tinggi, sehingga pembangunan ekonominya tidak terlampau tertangani, mengingat akan beratnya tugas menyatukan bangsa ini, yang diganggu oleh DI/TII, RMS, PRRI/Permesta, dan belum lagi rong-rongan dari kekuatan-kekuatan geopolitik. Kedua, karena Bung Karno seorang nasionalis dalam arti positif.

Tentang mengapa Bung Karno mempunyai reserve terhadap modal asing, Ibu Megawati pernah bercerita kepada saya. Istana selalu ramai dikunjungi investor asing yang minta kepada Bung Karno supaya dibolehkan mengeksplorasi dan mengeksploitasi minyak dan sumber daya mineral lainnya. Bung Karno selalu menolak kecuali yang minimal sekali untuk memenuhi kebutuhan yang mendesak. Ibu Mega yang ketika itu berusia 16 tahun bertanya kepada ayahnya, mengapa menolak?

Dijawab oleh Bung Karno: "Nanti Dis, kita  tunggu sampai kita mempunyai insinyur-insinyur sendiri.”

Jadi Bung Karno tidak anti asing, tetapi ingin menggarap sumber daya mineral yang ada di bumi Indonesia oleh insinyur-insinyur Indonesia sendiri yang sedang disiapkan, terutama oleh almamaternya, ITB. Lagi-lagi tidak memusuhi asing, namun lebih mencintai bangsanya tanpa merugikan orang lain. Bung Karno memimpikan bangkitnya perusahaan-perusahaan minyak Indonesia seperti Shell, Exxon Mobil, Chevron, Total dan sebagainya.

Sekarang kita mempunyai sangat banyak insinyur pertambangan, dan di antaranya banyak yang bergelar Ph.D dari universitas-universitas bereputasi tinggi di Eropa dan Amerika Serikat. Namun 92% dari minyak kita dieksploitasi oleh perusahaan-perusahaan asing. Pertamina hanya mengeksploitasi 8% saja. Formula kontrak bagi hasil mengatakan 85% untuk Indonesia dan 15% untuk perusahaan minyak asing. Namun kenyataan sampai sekarang, 40% dinikmati oleh perusahaan-perusahaan asing dan 60% oleh bangsa Indonesia.

Mengapa asing tidak memperoleh 15% sesuai dengan kontrak? Karena di dalam kontra