Opini

Meng-Khittah-kan Khittah NU secara Kaffah

Oleh Mohammad Suhaidi RB Asumsi sederhana yang disampaikan oleh beberapa kalangan yang menyebutkan bahwa orang-orang NU ( bisa jadi warga dan kiai-kiai NU) memiliki nafsu kekuasaan yang sangat tinggi, mungkin memang benar adanya. Dan, hal itu, menurut penulis, sangat lumrah terjadi, karena berpolitik memang sangat manusiawi. Ketika warga NU banyak yang terlibat dalam politik praktis, itu sah-sah saja dilakukan sebagai manusia dengan naluri politik sebagai konsekuensi kemanusiaan. Tetapi, yang perlu digarisbawahi, ketika nafsu politik itu dilakukan orang-orang NU yang secara struktural diberi tanggung jawab untuk mengurus NU, maka nafsu politik semacam itu tentu saja layak untuk dikaji bersama, karena keterlibatan orang-orang NU struktural dalam politik praktis, akan menghambat laju organisasi, atau bahkan menyalahi apa yang telah digariskan NU: bahwa NU tidak lagi menjadi bagian dari kepentingan politik praktis. Inilah fenomena sangat memprihatinkan yang saat ini tengah melanda warga NU struktural. Banyaknya orang-orang NU struktural yang terlibat dalam politik praktis, sepertinya telah menjadi rahasia bersama, dan itu terlihat di sejumlah partai politik, terutama partai politik yang membawa atribut NU, seperti Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU) serta Partai Persatuan Pembangunan (PPP).  Keterlibatan mereka dalam dua institusi, antara NU dan partai politik (parpol), tentu saja telah mengaburkan prinsip-prinsip dasar khittah NU yang telah tegas kembali Khittah NU 1926, di mana NU tidak lagi terlibat dalam politik praktis, tetapi terfokus sebagai organisasi sosial keagamaan, karena itulah yang menjadi dasar kehadiran NU sejak awal kelahirannya.

Ahad, 30 Maret 2008 | 23:00 WIB