Obituari

Cak Anam yang Sejarawan itu

Sen, 9 Oktober 2023 | 11:15 WIB

Cak Anam yang Sejarawan itu

Almarhum H Choirul Anam dengan latar belangkang Museum NU yang didirikannya di Surabaya. (Ilustrasi: NU Online/Aceng Darta)

Choirul Anam atau yang akrab disapa Cak Anam itu, tak salah jika ditasbihkan sebagai sejarawan Nahdlatul Ulama. Karyanya tentang sejarah NU menjadi magnum opus yang tak lekang oleh waktu. Semua pengkaji NU, baik dari Indonesia maupun mancanegara merujuk pada bukunya.


Andree Feillard, misalnya. Akademisi asal Prancis tersebut, mengucapkan terima kasih secara khusus kepada Cak Anam atas kontribusinya dalam membantu penulisan bukunya, Islam et Armee Dans L'indonesie Contemporaine Les Pionniers de la Tradition (Versi bahasa Indonesia berjudul: NU vis-a-vis Negara). Begitu juga dengan Greg Fealy. Peneliti dari Monash University, Australia itu, dalam bukunya Ijtihad Politik Ulama: Sejarah NU 1952-1967 juga merujuk pada karya dari Cak Anam tersebut.


Buku Cak Anam yang dimaksud adalah Pertumbuhan dan Perkembangan NU. Buku tersebut, pertama kali diterbitkan oleh Penerbit Jatayu, Solo pada 1984. Penerbitannya guna menyambut Muktamar ke-24 NU di Situbondo. Kemudian, diterbitkan berulang kali oleh penerbit yang berbeda. Saya sendiri beruntung mendapatkan terbitan pertama tersebut.


Buku tersebut, meminjam bahasa KH Yusuf Hasyim (Ketua PWNU Jatim 1984), adalah buku babon tentang Nahdlatul Ulama. Sebelum terbit buku tersebut, tak ada buku yang membahas tentang NU yang komprehensif. Jika pun ada, terkesan ala kadarnya dan banyak melenceng.


Benedict Anderson - sebagaimana dikutip oleh Zamakhsyari Dhofier - mengeluhkan tentang sedikitnya para sarjana yang meneliti tentang NU. "Belum ada disertasi doctor yang pernah ditulis tentang NU, dan apakah akan segera ada disertasi baru tentang NU? Padahal NU merupakan salah satu kekuatan sosial, kultural, keagamaan dan politik yang sangat berpengaruh di Indonesia selama bertahun-tahun," tulis profesor dari Cornell University, Amerika Serikat itu.


Apa yang ditulis Cak Anam memang bukan karya sembarangan. Tokoh kelahiran Jombang, 30 September 1954 itu, merujuk berbagai dokumen primer tentang NU yang tak banyak diakses oleh pengkaji NU sebelumnya. Sebut saja misalnya, Swara Nahdlatoel Oelama edisi 1927-1929. Majalah beraksara pegon dan berbahasa Jawa itu, menjadi media resmi Hofdbestur Nahdlatoel Oelama (HBNO). Di sana tertulis berbagai aktivitas NU dan pemikiran para tokohnya. Sebuah dokumen penting di kalangan internal NU.


Sumber-sumber primer tersebut, ia dapatkan dari KH Umar Burhan dari Gresik. Beliau adalah santri kesayangan Hadratusyekh KH. Hasyim Asy'ari sekaligus aktivis NU generasi awal. Di kediamannya, Kiai Burhan banyak mengarsip berbagai dokumen dan terbitan dari NU, Ansor dan banom-banom lainnya.


Buku yang demikian luar biasa, ternyata ditulis untuk memenuhi tugas skripsi di Fakultas Ushuluddin IAIN (Kini UIN) Sunan Ampel, Surabaya. Skripsi tersebut selesai pada 1982 setelah menempuh kuliah selama empat tahun. Sebagai karya intelektual seorang sarjana strata satu, tentu saja capaian dari karya Cak Anam itu sangat fenomenal. Skripsi kebanyakan hanyalah jadi kajian dasar yang tak banyak dirujuk dalam kajian-kajian lebih tinggi, semacam tesis atau disertasi. Tapi, sebuah perkecualian untuk skripsi Cak Anam tersebut.


Dalam kata pengantar edisi pertama, mantan wartawan Tempo itu, mengungkapkan bahwa edisi cetak tersebut merupakan hasil revisi dari skripsinya yang setebal 440 halaman kuarto (minus lampiran). Skripsi yang fenomenal tersebut lantas dikurangi dan disesuaikan dengan standard percetakan hingga terwujud sebagaimana yang kita baca.


Tak hanya itu, Cak Anam juga memiliki karya lain yang tak kalah fenomenalnya. Alumnus Course Regional Islamic Da'wah Council Southeast Asia and Pasific (1984) di Universitas Teknologi Malaysia itu, juga berhasil menyelesaikan buku babon sejarah GP Ansor.


Pada 1990, santri Mualimin Darul Ulum, Peterongan, Jombang itu, mendapatkan tugas dari PP GP Ansor yang kala itu dipimpin oleh Slamet Efendi Yusuf untuk menuliskan sejarah GP Ansor. Maklum, saat itu, tak ada satupun histografi yang mencatat secara utuh kiprah banom NU yang dideklarasikan di Banyuwangi pada 24 April 1934 itu.


Dengan pengalamannya menulis buku pertama, Cak Anam tak terlalu sulit untuk mengumpulkan data. Ia kembali menuju ke kediaman Kiai Umar Burhan untuk menggali data. Ditambah arsip-arsip yang tersimpan di kantor PW GP Ansor dan PWNU Jatim, buku tersebut selesai cukup singkat. Februari diperintahkan, Juni sudah selesai.


Lagi-lagi, buku tersebut kembali menjadi rujukan bagi para pengkaji Ansor. Sila cek terbitan yang membahas tentang Ansor, saya jamin ada buku tersebut dalam lampiran daftar pustaka.


Karya lain yang tak kalah fenomenalnya adalah KH. Abdul Wahab Chasbullah: Hidup dan Perjuangannya (Surabaya: Duta Aksara Mulia, 2015). Buku ini didedikasikan dalam upaya pemenuhan kajian akademik pengajuan pendiri NU itu, sebagai pahlawan nasional.


Ia memulai penulisan buku tersebut sejak pertengahan 2014. Setelah 40 persen penulisan, Cak Anam menjadi salah satu panelis dalam seminar nasional bertajuk KH Abdul Wahab Chasbullah: Inspirator, Pendiri dan Penggerak NU di Tebuireng (3/9/2014). Seminar yang memang diperuntukkan bagi pengajuan pahlawan nasional itu, juga mendatangkan Abdul Mun'im DZ dan Anhar Gonggong.


Namun, sampai Kiai Wahab ditetapkan sebagai pahlawan nasional pada November 2014, buku tersebut belum kelar. Cak Anam keburu jatuh sakit yang mengharuskannya operasi dan kemoterapi hingga 12 kali. Setelah kembali pulih, ia kembali meneruskan buku itu. Tepat 17 Juli 2015, buku itu tuntas.


Biografi Kiai Wahab karya Cak Anam tersebut, sejauh pengetahuan penulis merupakan buku paling tebal, 412 + xx halaman dan berukuran 15,5 x 23 cm. Dibandingkan karya Muhammad Rifai, misalnya, lebih dari separuhnya. Buku berjudul K.H. Wahab Hasbullah: Biografi Singkat 1888-1971 (Jogjakarta: Garasi, 2010) itu, hanya 184 halaman. Berukuran 13,5 x 20 cm. Begitu pula dengan karya KH. Saifuddin Zuhri, Kiai Haji Abdul Wahab Khasbullah: Bapak dan Pendiri Nahdlatul Ulama (Jogja: Pustaka Falakiyah, 1983) juga lebih tipis lagi.


Selain tiga buku tersebut, mantan Ketua PW GP Ansor Jawa Timur itu, juga menulis buku-buku lainnya. Antara lain Pemikiran KH. Achmad Siddiq, Konflik Elit PBNU Seputar Muktamar dan Pemikiran PMII dalam Berbagai Visi dan Persepsi yang ditulis bersama Effendy Choirie dan diterbitkan Aula, Surabaya (1991).


Adapula karya-karya memorialnya. Aktivis NU sejak muda itu, dikenal memiliki karier yang moncer. Tidak hanya di organisasi kemasyarakatan, tapi juga di bidang politik. Pernah menjadi Ketua DPRD Jatim, Ketua PKB Jatim dan juga pendiri sekaligus ketua umum PKNU.


Dari pengalamannya yang demikian penting dalam pusaran politik tersebut, ada beberapa buku yang ditulisnya. Sebut saja Dua Tahun PKB Jawa Timur, Seandainya Aku Jadi Matori dan Jejak Langkah Sang Guru Bangsa: Suka Duka Mengikuti Gus Dur sejak 1978 (buku pertama).


Judul yang terakhir di atas, awalnya ditulis secara berseri di surat kabar Duta Masyarakat. Sejak wafatnya presiden keempat Republik Indonesia itu, hingga hari keempatpuluh kematiannya. Rencananya buku tersebut, akan dibuat beberapa jilid. Sayangnya, hingga kini hanya buku pertama saja yang lahir.

 
Almarhum H Choirul Anam. (Ilustrasi: NU Online/Aceng Darta)


Sebagai sebuah karya penulisan sejarah, tentu saja deretan karya Cak Anam tersebut bukanlah kitab suci yang nihil dari kealpaan. Meskipun diakui sebagai buku babon sekalipun. Dalam penelaahan penulis, ada banyak hal yang harus diperbarui seiring semakin melimpahnya sumber-sumber primer baru. Manuskrip peninggalan para kiai ataupun arsip-arsip kolonial yang dulu belum sempat dirujuk oleh Cak Anam memberikan perspektif baru terhadap penulisan sejarah seputar ke-NU-an.


Tentu saja, kita tak lagi bisa berharap kepada Cak Anam untuk merevisi karya-karyanya tersebut. Karena, tepat pada Senin, 9 Oktober 2023 ini, ia telah berpulang keharibaan Sang Kholiq. Perlu ada upaya serius, khususnya dari struktural NU sendiri, untuk me-refresh kembali kesejarahan kita bersama ini.


Di Museum NU yang dirintis Cak Anam di Gayungsari, Surabaya, ada ratusan dokumen penting tentang sejarah NU yang dikumpulkan. Ini merupakan modal dasar untuk kembali menelusuri jalan-jalan yang telah dirambah olehnya. Sehingga kita, sebagai generasi sekarang, bisa menghadirkan perspektif dan semangat baru dalam sejarah NU ini.


Semoga segera lahir kembali sosok-sosok Cak Anam lagi. Sesosok sejarawan yang melahirkan buku-buku babon kesejarahan NU. (*)

 

Ayung Notonegoro, founder Komunitas Pegon, penulis buku Sejarah Nahdlatul Ulama Banyuwangi