Nikah/Keluarga

Mengenal Dhihar, Ucapan Suami yang Berdampak Serius pada Pernikahan

NU Online  ·  Sabtu, 12 Juli 2025 | 07:00 WIB

Mengenal Dhihar, Ucapan Suami yang Berdampak Serius pada Pernikahan

Ilustrasi pasangan suami istri. (Foto: NU Online/Freepik)

Ucapan dhihar memang terdengar sedikit asing bagi sebagian umat Islam Indonesia. Namun, memahami dhihar menjadi suatu hal yang sangat penting sebab menurut syariat tidak semua ucapan dalam pernikahan dapat dianggap sepele. Ada kata-kata tertentu yang meskipun hanya dilontarkan dalam keadaan marah atau bercanda, tetap memiliki dampak serius terhadap hukum.

 

Dalam konteks sejarah, dhihar merupakan kebiasaan yang sudah dikenal sejak masa Jahiliah. Pada masa itu, dhihar bahkan berfungsi sebagai bentuk talak. Seorang suami bisa memutus hubungan dengan istrinya hanya dengan ucapan menyerupakan istrinya dengan perempuan yang haram dinikahinya, seperti ibu. Namun setelah datangnya Islam, syariat menetapkan bahwa perbuatan dhihar hukumnya haram dan wajib membayar kafarat.

 

وكان طلاقا في الجاهلية ثم نقل الشارع صلى الله عليه وسلم حكمه إلى تحريمها بعد العود ووجوب الكفارة وبقي محله وهي الزوجة والظهار حرام بالإجماع

 

Artinya: “Dhihar dulunya merupakan bentuk talak di masa Jahiliah, lalu Nabi Muhammad SAW mengalihkan hukumnya menjadi haram dan wajib menunaikan kafarat. Hukum ini tetap berlaku atas objeknya, yaitu sang istri, dan dhihar telah diharamkan berdasarkan ijma‘ (kesepakatan) para ulama.” (Taqiyuddin al-Hisni, Kifayatul Akhyar fi Halli Ghayatil Ikhtishar, [Damaskus: Darul Khair, 1994] halaman 413)

 

Para ulama fiqih klasik telah membahas dhihar secara rinci dalam sejumlah kitab. Mereka menjelaskan definisi dhihar, syarat-syaratnya, hukumnya, dan konsekuensi yang harus ditanggung jika dhihar terjadi. Semua itu menunjukkan bahwa Islam mengatur pernikahan tidak hanya dalam hal lahiriah, tetapi juga dalam adab berucap dan menjaga lisan.

 

Definisi Dhihar dalam Tinjauan Fiqih Klasik

Secara bahasa, kata dhihar berasal dari akar kata dhahr (ظهر) yang berarti "punggung". Hal ini merujuk pada bentuk asli ucapan dhihar, yaitu ketika seorang suami berkata kepada istrinya: “Anti ‘alayya ka dhahri ummî”, artinya “Engkau bagiku seperti punggung ibuku.”

 

Ulama fiqih klasik menjelaskan bahwa ucapan ini secara simbolik menyamakan istri dengan ibu kandung, secara syariat ibu adalah perempuan mahram yang tidak boleh dinikahi. Maka, ketika seorang suami mengucapkan demikian, secara tidak langsung ia mengharamkan istrinya atas dirinya, sebagaimana ibunya sendiri.

 

هو لغة: مأخوذ من الظهر، لأن صورته الأصلية أن يقول لزوجته: أنت علي كظهر أمي، وخصوا الظهر دون البطن والفخذ وغيرهما، لأنه موضع الركوب، والمرأة مركوب الزوج

 

Artinya: “Secara bahasa, dhihar diambil dari kata dhahr (punggung), karena bentuk asalnya adalah ketika seorang suami berkata kepada istrinya: ‘Engkau bagiku seperti punggung ibuku.’ Mereka (ulama) secara khusus menyebut ‘punggung’, bukan bagian tubuh lain seperti perut, paha, atau selainnya, karena punggung adalah tempat untuk menaiki (kendaraan), dan perempuan diibaratkan sebagai ‘tunggangan’ suami.” (Al-Khatib Asy-Syarbini, Mugnil Muhtaj ila Ma’rifati Ma’ani Alfazhil Minhaj, [Beirut: Darul Kutub al-‘Ilmiyah, 1994] jilid 5, halaman 29)

 

Selanjutnya, untuk memahami lebih luas cakupan dhihar, para ulama fikih menjelaskan bahwa dhihar tidak terbatas hanya pada ungkapan menyamakan istri dengan punggung ibu, sebagaimana bentuk aslinya. Dhihar juga mencakup berbagai bentuk penyerupaan yang melibatkan bagian tubuh perempuan yang secara syariat haram untuk dinikahi oleh suami, seperti ibu, saudari kandung, anak perempuan, bibi, atau lainnya dari kalangan mahram.

 

Dengan kata lain, dhihar terjadi apabila seorang suami menyamakan istrinya, baik secara langsung maupun tidak langsung (sharih atau kinayah), dengan perempuan yang haram dinikahi secara permanen. Penyamaan ini bisa dalam bentuk ucapan seperti: “Engkau bagiku seperti punggung ibuku.”, “Pahamu seperti paha bibiku.”, “Kehadiranmu seperti tubuh saudari perempuanku.”

 

Semua bentuk ini menunjukkan bahwa suami seakan-akan mengharamkan istrinya atas dirinya sendiri, sebagaimana perempuan mahram yang haram untuk dinikahi. Sebagaimana penjelasan berikut ini:

 

الظهار هو أن يشبه امرأته بظهر أمه أو غيرها من محارمه، أو بعضو من أعضائها

 

Artinya: “Dhihar adalah ketika seorang suami menyerupakan istrinya dengan punggung ibunya, atau dengan mahram lainnya, atau dengan salah satu anggota tubuh mereka.” (Ibnu an-Naqib, ‘Umdatus Salik wa Uddatun Nasik, [Qatar: Asy-Syu’un Ad-Diniyah, 1982] halaman 220)

 

Dari penjelasan para ulama fiqih klasik, dapat disimpulkan bahwa dhihar secara bahasa berasal dari kata dhahr (punggung), yang merujuk pada bentuk asli ucapan seorang suami yang menyamakan istrinya dengan punggung ibunya. Dhihar merupakan ucapan yang sangat serius dalam hukum Islam yang akan berdampak hukum dalam pernikahan.

 

Ucapan dhihar ini bukanlah perbandingan biasa, melainkan mengandung makna pengharaman karena ibu adalah mahram yang tidak mungkin dinikahi. Oleh karena itu, dhihar dipandang sebagai tindakan yang mengharamkan istri atas suaminya sampai ia menunaikan kafarat yang ditetapkan.

 

Lebih dari itu, dhihar tidak hanya terbatas pada lafaz yang menyebut punggung ibu. Ulama menjelaskan bahwa dhihar mencakup setiap bentuk penyerupaan istri dengan anggota tubuh atau status perempuan mahram lainnya, seperti saudari kandung, anak perempuan, atau bibi.

 

Selama ucapan tersebut bermakna menyerupakan istri dengan mahram dalam konteks relasi suami-istri, maka ia termasuk dhihar. Dengan demikian, dhihar merupakan bentuk penyimpangan dalam ucapan yang perlu diwaspadai karena berdampak langsung pada keabsahan hubungan suami-istri menurut syariat. Wallahua’lam.

 

Muhaimin Yasin, Alumnus Pondok Pesantren Ishlahul Muslimin Lombok Barat dan Pegiat Kajian Keislaman