Nikah/Keluarga

Fenomena “Fantasi Sedarah” dan Tanggung Jawab Menjaga Fitrah Keluarga

NU Online  ·  Senin, 19 Mei 2025 | 16:00 WIB

Fenomena “Fantasi Sedarah” dan Tanggung Jawab Menjaga Fitrah Keluarga

Ilustrasi hubungan terlarang. (Foto: NU Online/Freepik)

Dalam ajaran Islam, keluarga merupakan institusi suci yang dirancang Allah sebagai tempat perlindungan, kasih sayang, dan pembentukan individu yang berbakti kepada-Nya. Oleh karena itu, munculnya fenomena “Fantasi Sedarah” di grup Facebook dengan puluhan ribu anggota yang membahas topik menyimpang dan bertentangan dengan syariat, bukanlah sekadar peristiwa viral. 

 

Fenomena ini merupakan ancaman serius terhadap kesucian fitrah keluarga. Oleh karena itu, pemerintah, ulama, dan masyarakat perlu menanggapinya dengan tegas dan bijaksana. Islam dengan tegas mengharamkan hubungan sedarah. Larangan ini dijelaskan dalam Al-Qur’an, Surah An-Nisa ayat 23:

 

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ اُمَّهٰتُكُمْ وَبَنٰتُكُمْ وَاَخَوٰتُكُمْ وَعَمّٰتُكُمْ وَخٰلٰتُكُمْ وَبَنٰتُ الْاَخِ وَبَنٰتُ الْاُخْتِ وَاُمَّهٰتُكُمُ الّٰتِيْٓ اَرْضَعْنَكُمْ وَاَخَوٰتُكُمْ مِّنَ الرَّضَاعَةِ وَاُمَّهٰتُ نِسَاۤىِٕكُمْ وَرَبَاۤىِٕبُكُمُ الّٰتِيْ فِيْ حُجُوْرِكُمْ مِّنْ نِّسَاۤىِٕكُمُ الّٰتِيْ دَخَلْتُمْ بِهِنَّۖ فَاِنْ لَّمْ تَكُوْنُوْا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ ۖ وَحَلَاۤىِٕلُ اَبْنَاۤىِٕكُمُ الَّذِيْنَ مِنْ اَصْلَابِكُمْۙ وَاَنْ تَجْمَعُوْا بَيْنَ الْاُخْتَيْنِ اِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا ۔

 

Artinya: “Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu, anak-anak perempuanmu, saudara-saudara perempuanmu, saudara-saudara perempuan ayahmu, saudara-saudara perempuan ibumu, anak-anak perempuan dari saudara laki-lakimu, anak-anak perempuan dari saudara perempuanmu, ibu yang menyusuimu, saudara-saudara perempuanmu sesusuan, ibu istri-istrimu (mertua), anak-anak perempuan dari istrimu (anak tiri) yang dalam pemeliharaanmu, dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum bercampur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), tidak berdosa bagimu (menikahinya), (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu), dan (diharamkan pula) mengumpulkan (dalam pernikahan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali (kejadian pada masa) yang telah lampau. Sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

 

Imam Al-Qurthubi dalam kitab Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an menjelaskan bahwa ayat ini menampilkan ketentuan aturan tentang siapa saja wanita yang haram untuk dinikahi. Dalam hal ini, Allah Swt mengharamkan tujuh kategori karena nasab dan tujuh sebab persusuan dan pernikahan.

 

فَالسَّبْعُ الْمُحَرَّمَاتُ مِنَ النَّسَبِ: الْأُمَّهَاتُ وَالْبَنَاتُ وَالْأَخَوَاتُ وَالْعَمَّاتُ وَالْخَالَاتُ، وَبَنَاتُ الْأَخِ وَبَنَاتُ الأخت وَالسَّبْعُ الْمُحَرَّمَاتُ بِالصِّهْرِ وَالرَّضَاعِ: الْأُمَّهَاتُ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَالْأَخَوَاتُ مِنَ الرَّضَاعَةِ، وَأُمَّهَاتُ النِّسَاءِ وَالرَّبَائِبُ  وَحَلَائِلُ الْأَبْنَاءِ وَالْجَمْعُ بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ وَالسَّابِعَةُ (وَلا تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آباؤُكُمْ)

 

Artinya: “Adapun tujuh ketegori wanita yang diharamkan karena nasab: 1) ibu-ibu, 2) anak-anak perempuan, 3) saudara-saudara perempuan, 4) saudara-saudara perempuan ayah, 5) saudara-saudara perempuan ibu, 6) anak-anak perempuan dari saudara laki-laki, dan 7) anak-anak perempuan dari saudara perempuan. Sedangkan tujuh kategori yang diharamkan sebab pernikahan dan persusuan: 1) ibu-ibu persusuan, 2) saudara-saudara perempuan sepersusuan, 3) mertua-mertua perempuan, 4) anak tiri, 5) menantu, 6) mengumpulkan dua perempuan bersaudara, dan 7) wanita yang telah dikawini oleh bapak (ketentuan yang terakhir ini dijelaskan dalam ayat sebelumnya, QS. An-Nisa ayat 22).” (Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, [Kairo: Darul Kutub al-Mishriah, 1964] jilid 5, hal. 105-106)

 

Pikiran dan Imajinasi menurut Syariat

Islam mengakui bahwa secara tabiat, manusia tidak dapat sepenuhnya mengendalikan pikiran yang melintas di benaknya.. Namun ketika seseorang mengembangkan, menikmati, dan merealisasikannya menjadi perkataan dan perbuatan buruk, termasuk tindakan kriminal dan pelecehan seksual, hal itu merupakan kesalahan yang terhitung sebagai dosa.

 

Dalam sebuah hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, bersumber dari Abu Hurairah RA, Rasulullah bersabda:

 

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: « ‌إِنَّ ‌اللهَ ‌تَجَاوَزَ ‌لِأُمَّتِي مَا حَدَّثَتْ بِهِ أَنْفُسَهَا مَا لَمْ يَتَكَلَّمُوا أَوْ يَعْمَلُوا بِهِ

 

Artinya: “Dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah Saw bersabda: “Sesungguhnya Allah memberikan ampunan bagi umat-umatku sebab apa yang terlintas dalam dirinya, selama ia tidak mengutarakannya atau melakukannya.” (HR. Muslim)

 

Dalam konteks “fantasi sedarah”, menyebarkan atau mengembangkan konten yang mengarah pada hubungan terlarang merupakan bentuk penyimpangan pemikiran yang dilarang dalam Islam. Meskipun belum terwujud dalam perbuatan nyata, pemikiran semacam ini merupakan tahap awal menuju dosa yang wajib dicegah dan ditolak, bukan malah dibudayakan. Terlebih lagi, membentuk komunitas yang mempromosikan hal tersebut, seperti yang tengah viral saat ini, adalah tindakan yang jelas-jelas bertentangan dengan nilai-nilai syariat dan kesucian fitrah manusia.

 

Tanggung Jawab Atasi Kasus Pedofilia

Pemerintah Indonesia, selaku ulil amri, telah mengambil langkah awal yang sangat tepat dengan memblokir grup yang berkaitan dengan aktivitas tersebut. Hal ini sejalan dengan kaidah yang dirumuskan oleh ulama:

 

‌تَصَرُّفُ ‌الْإِمَامِ ‌عَلَى الرَّعِيَّةِ مَنُوطٌ بِالْمَصْلَحَةِ

 

Artinya: “Kebijakan pemimpin atas rakyat harus berdasarkan pada kemashlahatan.” (As-Suyuthi, Al-Asybah wa An-Nazhoir, [Beirut: Darul Kutub al-Ilmiah, 1983] hal. 121)

 

Sedangkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dengan fatwanya, No. 24 Tahun 2017 tentang Hukum dan Pedoman Bermuamalah Melalui Media Sosial, telah mengatur aktivitas yang berkaitan dengan dunia maya, sebagai respons terhadap maraknya konten yang merusak moral.

 

Fenomena “Fantasi Sedarah” harus menjadi refleksi bagi kita semua tentang betapa rapuhnya benteng keluarga di era digital, jika tidak dijaga dengan nilai-nilai agama. Masalah ini adalah tanggung jawab kita bersama. Maka setiap pergerakan atau aktivitas yang mengarah kepada hal tersebut, selayaknya kita harus melakukan upaya pencegahan dan tidak boleh menormalisasinya.

 

Sebagaimana prinsip ini sejalan dengan apa yang disabdakan oleh Nabi Muhammad Saw, diriwayatkan oleh Imam Bukhari, bersumber dari Abdullah bin Umar:

 

‌كُلُّكُمْ ‌رَاعٍ، وَكُلُّكُمْ مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

 

Artinya: “Setiap dari kalian adalah pemimpin dan setiap dari kalian akan diminta pertanggungjawaban.” (HR. Bukhari)

 

Tantangan terbesar kita saat ini, bukan hanya sekedar memblokir konten-konten negatif, tetapi membangun kesadaran kolektif bahwa menjaga kesucian keluarga adalah bagian dari iman dan tanggung jawab kita sebagai hamba Allah dan umat Nabi Muhammad.

 

Di era digital ini, persoalan keluarga tak lagi hanya tentang hubungan fisik antara setiap anggota, tetapi juga bagaimana nilai kesucian dapat selalu dipertahankan. Melalui pendidikan, pengawasan, dan peningkatan kesadaran, mari kita jaga fitrah keluarga yang telah dianugerahkan oleh Allah. Wallahua’lam.

 

Ustadz Muhaimin Yasin, Alumnus Pondok Pesantren Ishlahul Muslimin Lombok Barat dan Pegiat Kajian Keislaman