Kesehatan

Pernikahan dengan Kerabat Dekat dalam Perspektif Kesehatan

Rab, 29 Mei 2024 | 12:00 WIB

Pernikahan dengan Kerabat Dekat dalam Perspektif Kesehatan

Ilustrasi pernikahan. (Foto: NU Online/Freepik)

Menikah dengan kerabat dekat yang bukan mahram seperti sepupu tidak dilarang dalam ajaran Islam. Contoh sepupu adalah anak dari saudara orang tua, seperti anak dari paman atau bibi. Karena bukan mahram, maka sepupu boleh dinikahi, sedangkan kerabat yang tidak boleh dinikahi adalah mahram.

 

Dalam konteks kerabat dekat yang boleh dinikahi, maka pernikahan itu masih perlu mempertimbangkan berbagai aspek, di antaranya adalah kesehatan generasi yang lahir dari pernikahan itu. Ada beberapa risiko kesehatan yang dapat mengenai bayi dari pasangan dengan kedekatan hubungan darah. 

 

Meskipun risiko ini tidak selalu terjadi, tetapi ulama telah memberikan petunjuk untuk mengantisipasinya dengan sebisa mungkin mencari pasangan yang hubungan kekerabatannya tidak terlalu dekat.

 

Sebagai contoh, Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari dalam kitabnya tentang pernikahan membahas kriteria ideal calon pasangan. Salah satu yang disarankan dalam kitab tersebut adalah agar seorang lelaki menikah dengan wanita yang bukan kerabat dekat, sebagaimana yang beliau sebutkan:

 

غَيْرِ ذَاتِ قَرَابَةٍ قَرِيْبَةٍ بِأَنْ كَانَتْ أَجْنَبِيَةً  أَوْذَاتَ قَرَابَةٍ بَعِيْدَةٍ

 

Artinya: “Bukan kerabat dekat yakni perempuan yang sama sekali orang lain atau kerabat tapi jauh” (KH Hasyim Asy’ari, Dhaul Misbah fi Bayan Ahkam an-Nikah, [Jombang, Pustaka Tebuireng, tt] halaman 8).

 

Berdasarkan kutipan tersebut, sepupu dapat termasuk ke dalam kerabat yang dekat. Meskipun boleh dinikahi tetapi karena sepupu, khususnya sepupu pertama, termasuk kerabat dekat maka tidak dianjurkan untuk saling menikah. 

 

Uniknya, anjuran Hadratussyekh ini terbukti melalui penelitian ilmiah dengan kategori meta analisis terhadap efek pernikahan sepupu terhadap kesehatan anak yang lahir dari pernikahan itu.

 

Secara khusus, pernikahan dengan sepupu telah diteliti di berbagai belahan dunia. Di dalam penelitian ada istilah pernikahan dengan sepupu pertama dan pernikahan dengan sepupu kedua. Sepupu pertama diartikan sebagai orang yang memiliki kakek-nenek yang sama, sedangkan sepupu kedua diartikan sebagai orang yang memiliki buyut yang sama. Kekerabatan dengan sepupu pertama tentu lebih dekat daripada level kekerabatan dengan sepupu kedua.

 

Penelitian meta analisis yang diketuai oleh Poororajal dan timnya memasukkan 24 dari 3941 studi yang diambil, dengan 44.131 peserta. Penelitian itu menunjukkan bahwa Berat Badan Bayi Lahir Rendah (BBLR) berhubungan secara signifikan dengan pernikahan sepupu pertama dan tidak signifikan dengan pernikahan sepupu kedua (Poorolajal dkk, 2017, Effect of Consanguinity on Low Birth Weight: A Meta-Analysis, Arch Iran Med, 20(3): halaman 178-184).

 

Lebih lanjut, penelitian itu juga mencermati bahwa bayi yang lahir dari pernikahan dengan kerabat yang dekat memiliki resiko berat badan lahir rendah. Bayi yang  lahir dari perkawinan dengan sepupu pertama memiliki berat badan 144 gram lebih rendah daripada bayi yang berasal dari perkawinan bukan kerabat dekat. Artinya, apabila berat badan bayi yang lahir rendah, maka bayi tersebut rentan mengalami berbagai masalah kesehatan, seperti stunting.

 

Penelitian lain di India mengisyaratkan adanya hubungan yang signifikan antara perkawinan sedarah dan stunting pada masa kanak-kanak di India. Penelitian itu menguraikan hubungan antara perkawinan sedarah dan stunting pada masa kanak-kanak di India menggunakan survei terbaru dari Survei Kesehatan Keluarga Nasional. Studi tersebut menyoroti hasil gizi buruk di antara keturunan pasangan sedarah di India (Vishwakarma dkk, 2021, Linkages between consanguineous marriages and childhood stunting: Evidence from a cross-sectional study in India, Children and Youth Services Review, volume 122, Elsevier: 105922).

 

Secara rinci, penelitian di India tersebut menguraikan bahwa anak laki-laki dari pernikahan kerabat dekat memiliki kejadian stunting lebih tinggi yaitu 40% dibandingkan dengan anak perempuan yaitu 38%. Penelitian itu juga menyoroti bahwa pernikahan dengan sepupu di kalangan kaum muslimin lebih tinggi tiga kali lipat dibandingkan umat Hindu. Kesimpulannya, stunting pada masa anak-anak secara signifikan lebih tinggi pada perkawinan kerabat dekat dibandingkan dengan perkawinan yang tidak berkerabat di India.

 

Di Indonesia, penelitian serupa juga menghasilkan kesimpulan yang sama. Penelitian Ummi Kalsum dan timnya di Jambi menyebutkan bahwa pernikahan dengan kerabat dekat berhubungan dengan stunting pada anak-anak yang dilahirkan dari pernikahan tersebut. Pernikahan dengan kerabat dekat seperti sepupu merupakan faktor yang dominan sehingga dapat meningkatkan risiko stunting pada anak yang dilahirkan hingga 3,45 kali lipat dibandingkan dengan pernikahan yang tidak berkerabat dekat (Kalsum, 2019, Inbreeding Marriage Related to Stunting in Children Aged 24-59 Months, Jurnal Kesehatan Ibu dan Anak, Vol. 13 No.1: halaman 10-18). 

 

Meskipun penelitian-penelitian yang telah disebutkan tersebut mengulas tentang dampak negatif pernikahan dengan kerabat dekat, tetapi ada juga penelitian yang tidak menunjukkan dampak buruk. Penelitian yang dilakukan di Lebanon terhadap 10.289 bayi baru lahir sejak tahun 2000-2001 menyimpulkan, tidak ada perbedaan signifikan yang diamati dalam penurunan berat badan lahir antara pernikahan sepupu pertama dan kedua (Mumtaz dkk, 2007, Effect of Consanguinity on Birth Weight for Gestational Age in a Developing Country, American Journal of Epidemiology, Volume 165, Nomor 7: halaman 742–752).

 

Berkaca dari penelitian-penelitian itu, kiranya nasihat ulama dalam pernikahan dengan kerabat dekat perlu mendapatkan perhatian. Islam tidak melarang pernikahan dengan kerabat dekat yang bukan mahram, termasuk sepupu. Namun, apabila pernikahan dengan sepupu tidak dapat dihindarkan, maka perlu adanya konseling sebelum pernikahan agar kedua mempelai mengetahui aspek-aspek kesehatan yang akan dihadapi. 

 

Selain itu, riwayat kesehatan dari kedua mempelai juga perlu dilihat secara detail untuk meminimalkan risiko yang kelak dapat muncul pada keturunannya. Saran untuk cek riwayat kesehatan ini tidak hanya untuk pernikahan antara kerabat dekat, tetapi juga untuk semua pasangan secara umum. 

 

Edukasi terhadap nutrisi calon mempelai dan pengetahuan tentang gizi pada masa kehamilan untuk kesehatan janin juga merupakan bentuk ikhtiar lain yang tidak kalah pentingnya untuk menghindari berat badan bayi lahir rendah baik dari pasangan yang berkerabat dekat maupun tidak. Wallahu a’lam.

 

Yuhansyah Nurfauzi, Apoteker dan Peneliti Farmasi.