Nasional

Yenny Wahid Ungkap Komunisme Tak Bisa Diterapkan di Indonesia

Kam, 8 Oktober 2020 | 00:00 WIB

Yenny Wahid Ungkap Komunisme Tak Bisa Diterapkan di Indonesia

Yenny menjelaskan sistem komunisme memberikan penguasaan alat produksi kepada buruh, bukan pengusaha. (Foto: NU Online)

Jakarta, NU Online

Isu kebangkitan PKI masih terus diembuskan sampai hari ini. Tak sedikit masyarakat yang memercayai hal tersebut sehingga mereka merasa takut. Ketua Umum Konsorsium Kader Gus Dur Yenny Wahid menegaskan bahwa PKI tidak mungkin bangkit lagi.

 

Hal itu ia sampaikan saat menjadi pembicara kunci pada Kongkow Virtual bersama Konsorsium Kader Gus Dur dengan tema Tragedi G30S dan Rekonsiliasi ala Gus Dur, Rabu (7/10).

 

Yenny menjelaskan alasan ketidakmungkinan PKI bisa bangkit di Bumi Pertiwi. Pertama, sistem komunisme memberikan penguasaan alat produksi kepada buruh, bukan pengusaha, sehingga keuntungan perolehan itu digunakan untuk kesejahteraan bersama.

 

Pada praktiknya, hal tersebut tidak dapat berjalan penuh. Di Kuba, misalnya, ia memberi contoh, gaji dokter bedah dan gaji sopir taksi sama. "Makanya, komunisme tidak akan mungkin berhasil diterapkan, bukan hanya di Indonesia, tetapi di banyak negara," kata Direktur Wahid Foundation itu.

 

China, lanjutnya ia kembali memberi contoh, sebagai negara yang dulu mengusung komunisme. Pabrik di sana tidak lagi dikuasai buruh, tetapi dimiliki sepenuhnya oleh perusahaan.

 

"Itu ciri pertama komunisme yang tidak akan mungkin bisa diterapkan dan jelas tidak akan mungkin PKI bangkit lagi," ujar putri kedua Gus Dur itu.

 

Lebih lanjut, Yenny menjelaskan bahwa negara-negara yang dulunya mengusung komunisme juga sudah menerima agama. Ia mencontohkan Rusia yang saat ini Kristen Ortodoksnya menjadi paling kuat dan jumlah penduduk Muslimnya juga cukup banyak.

 

Tidak hanya itu, tahun 2050, kata Yenny, China bakal menjadi negara dengan penduduk Muslim terbanyak di dunia, sementara Indonesia berada di posisi ketiga setelah India. Hal tersebut berdasarkan survei proyeksi demografi dunia.

 

"Misalnya, saat ini Indonesia bisa mengatakan negara Muslim terbesar di dunia. Tahun 2050 itu klaim itu tidak bisa dibilang lagi Indonesia. karena penduduk Muslim terbesar di dunia China," katanya.

 

Alasan lain ketidakmungkinan PKI bisa kembali bangkit adalah karena tidak didukung tentara. Sebab, doktrin PKI adalah revolusi dengan apapun risikonya. Itu, menurutnya, hanya bisa terwujud jika didukung dengan kekuatan tentara. Sementara di Indonesia, justru pensiunan tentara yang mengembuskan isu PKI bangkit.

 

"Sekarang agak lucu, pensiunan tentara justru mengatakan dan mengembuskan ketakutan terhadap PKI," ujar perempuan lulusan Universitas Harvard, Amerika Serikat itu.

 

Menurutnya, hal yang mungkin adalah PKI ‘dibangkit-bangkitkan’ sebagai alat konsolidasi politik guna menakut-nakuti masyarakat. Sebab, lanjutnya, kalau membicarakan PKI sebagai sebuah gerakan sosial, politik, dan ekonomi memang ada dan sudah selesai di Indonesia. "Kalau misalnya PKI yang memenangkan pertaruangan wajah Indonesia akan berbeda," katanya.

 

Justru dalam proses pecahnya konflik yang terjadi pada 1965 itu terjadi pelanggaran HAM berat. Peristiwa G30S/PKI sendiri, jelasnya, banyak versi mengenai dalang dan aktornya. "Saya mendorong kita semua melihat kemungkinan untuk membuka pikiran kita. Silakan dibuka seluas-luasnya. Ada keterlibatan CIA kita buka biar masyarakat teredukasi," katanya.

 

Ia menekankan bahwa peristiwa pembantaian itulah yang menjadi titik tolak gerakan Gus Dur untuk rekonsiliasi. Sebab, konflik itu sama-sama saling membunuh dan sudah cukup terjadi sekali itu saja, tidak boleh terulang lagi. Lepas dari siapa dalang dan aktornya, menurutnya, bangsa ini adalah korban.

 

Oleh karena itu, luka mendalam itu, menurutnya, perlu ada penyembuhannya dengan lebih bijaksana lagi dalam bersikap, saling merangkul sesama, berpikir ke depan, dan bicara dari hati ke hati guna mencegah konflik horizontal terjadi lagi.

 

Pewarta: Syakir NF
Editor: Kendi Setiawan