Nasional

Ubah Mindset, Orientasi Pendidikan Tidak Sekadar Formalitas Administratif

Sen, 2 November 2020 | 04:45 WIB

Ubah Mindset, Orientasi Pendidikan Tidak Sekadar Formalitas Administratif

Siswa berprestasi bukan lagi diukur hanya oleh beberapa banyak piagam dan nilai ijazah yang diperoleh, tetapi kompetensi dan skill yang dimiliki.

Jakarta, NU Online
Menteri Agama RI Fachrul Razi menilai bahwa sudah saatnya insan pendidikan di Indonesia saat ini mengubah mindset (pola pikir) dan orientasi pendidikan yang tidak hanya berorientasi pada formalitas administratif saja seperti ijazah, gelar, piagam, dan sejenisnya. Orientasi pendidikan harus benar-benar mampu mengukur kompetensi dan skill.


"Siswa berprestasi bukan lagi diukur hanya oleh beberapa banyak piagam dan nilai ijazah yang diperoleh. Tetapi diukur dari kompetensi dan skill yang dimilikinya," tegasnya pada Webinar Injeksi Computational Thinking (CT) di Madrasah yang dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kemenag RI, Senin (2/11).


Oleh karenanya diperlukan kebijakan yang dapat memenuhi kebutuhan anak didik dalam menghadapi modernitas zaman saat ini. Anak didik saat ini memerlukan kompetensi abad 21, bukan kompetensi zaman dulu. Revolusi Industri 4.0 telah membawa implikasi terhadap disrupsi jenis dan bentuk profesi di masa mendatang.


"Banyak pekerjaan yang akan tergantikan oleh robot. Inilah tantangan pendidikan kita saat ini," kata Menag .


Dalam 4-5 tahun ke depan akan banyak pekerjaan yang tergantikan oleh artificial intelligence dan robot yang tidak memiliki gelar dan ijazah tetapi robot tersebut sangat pintar dan mempunyai skill. Sehingga, kemampuan tentang logika, bahasa, dan berkomunikasi yang baik, matematika, dan ilmu pengetahuan alam saat ini sangat penting dikuasai untuk menghadapi masa depan.


Ia pun mengakui bahwa sistem pendidikan nasional di Indonesia secara umum belum mampu meningkatkan mutu dan daya saing lulusan secara signifikan. Hal ini berdasarkan data hasil penilaian internasional seperti Program for International Students Assesment (PISA) yang pada 2018 Indonesia masih menduduki urutan ke 74 dari 79 negara.


"Hari ini kita menyiapkan para siswa untuk memasuki dunia kerja yang belum tercipta, dengan menggunakan teknologi yang belum ditemukan, untuk menyelesaikan masalahan yang belum diketahui," katanya mengutip pernyataan seorang ahli pendidikan.


Computational Thinking

Sementara Dirjen Pendidikan Islam Muhammad Ali Ramdhani mengatakan bahwa Computational Thinking (CT) menjadi langkah Kementerian Agama untuk mengoptimalkan potensi, serta meningkatkan kompetensi dan kualitas siswa madrasah,Ā 


Menurutnya, Computational Thinking Ā (CT) adalah proses berfikir untuk memformulasikan persoalan dan solusi secara efektif, efisien, dan optimum. CT adalah proses berpikir untuk memformulasikan persoalan dan solusinya, sehingga solusi tersebut secara efektif dilaksanakan oleh sebuah agen pemroses informasi (komputer, robot, atau manusia).Ā 


"Saya harap penerapan CT pada madrasah di Indonesia dapat cepat dilakukan. Siswa madrasah juga diharapkan dapat segera berpartisipasi dalam kompetisi CT," harapnya.


"Madrasah-madrasah yang sudah mempraktikkan CT, diharapkan dapat meningkatkan levelnya ke level coding dan programing," tandasnya.


Dalam merealisasikan program ini, pihaknya telah bekerjasama dengan Bebras Indonesia untuk pembekalan CT bagi siswa madrasah. Pembekalan dilakukan bertahap, dengan piloting madrasah di wilayah Salatiga dan sekitarnya.


"Piloting di Salatiga, karena dosen-dosen IAIN Salatiga sudah pernah menerapkan tantangan Bebras CT di beberapa siswa madrasah di pesantren," terang Ali Ramdhani dikutip dari laman Kemenag.

Ā 

Pewarta: Muhammad Faizin
Editor: Kendi Setiawan