Jakarta, NU Online
Pandangan politik Nahdlatul Ulama (NU) didasarkan pada pengalaman Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja). NU tidak menjadikan politik sebagai dogma, tidak juga menjadikan agama sebagai tunggangan politik.
Direktus Said Aqil Siroj (SAS) Insitute Imdadun Rahmat mengatakan karakter politik kaum Aswaja yang di Indonesia diwakili NU memunculkan suasana batin traumatis terhadap ideologisasi agama. Hal itu berakibat agama dan politik menjadi kejam.
āKarena agama digunakan untuk membenarkan membunuh sesama muslim sendiri,ā katanya saat menjadi narasumber pada peluncuran buku NU Penjaga NKRI di aula gedung Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) lantai 8, Jakarta, Selasa (10/4).
Artinya, tidak kemudian bahwa ideologi dari kelompok radikal membahayakan lalu kita merasa benar menggunakan kekerasan terhadap mereka. Humanisme, menurutnya tidak bisa lepas dari karakter Aswaja.
Ketua Komnas HAM 2016-2017 itu menjelaskan bahwa munculnya kelompok yang prokekerasan, Khawarij, kelompok yang sangat antirasionalitas, kelompok yang sangat rasional dan merendahkan teks atau nas muncul dari politisasi agama merupakan akibat dari politisasi agama.
āTermasuk para tirani penguasa yang melegitimasi dirinya dengan agama itu juga politisasi agama yang merusak agama,ā terangnya.
Ada lagi, aliran Jabariyah yang menyatakan kelalimannya sebagai penguasa itu karena takdir Tuhan. āJangan salahkan saya. Salahkan Tuhan,ā kata Imdad menirukan gaya Jabariyah.
Pria asal Rembang, Jawa Tengah itu menerangkan bahwa kelompok radikal yang membunuh orang lain itu membenarkan aksinya dengan dalil mengingat mereka beranggapan dia (orang yang telah dibunuhnya) telah murtad. Hal ini terjadi pada Sayyidina Ali karramallahu wajhahahu.
Menantu Rasulullah ini dianggap murtad karena mereka menganggapnya telah mengganti undang-undang atau konstitusi bukan atas hukum Allah, tetapi menggunakan kesepakatan.
āOrang seperti ini dianggap telah murtad dan halal darahnyaĀ dan boleh dibunuh dan boleh diperangi,ā kata pria asal Rembang, Jawa Tengah, itu. āIni menyebabkan trauma sehingga melahirkan kesadaran di kalangan para ulama Aswaja,ā imbuhnya.
Ulama Aswaja, menurutnya, non-partisan. Mereka keluar dari kelompok-kelompok yang berebut kekuasaan atas nama agama.
Selain itu, mereka masih bisa berpikir jernih, berpikir nalar, dan berpikir menggunakan manhaj fikih yang metodologis dan ilmiah. Hal inilah yang semestinya digunakan untuk memagari umat Islam dari politisasi agama.
Maka, menurut pria kelahiran 47 tahun lalu, orang NU tidak terlalu suka dengan politisasi agama mengingat punya pengalaman buruk dalam sejarahnya. (Syakir NF/Ibnu Nawawi)