Nasional

Tokoh Masyarakat Harus Mendamaikan, Bukan Memprovokasi

Jum, 5 Juli 2019 | 17:00 WIB

Jakarta, NU Online
Guru Besar Fakultas Adab dan Humaniora dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Prof Oman Fathurrahman menekankan pentingnya mempromosikan kebersamaan melalui upaya rekonsiliasi politik Pascapilpres 2019. Upaya ini sebaiknya dibarengi dengan langkah berani para tokoh masyarakat untuk ambil bagian di dalamnya. 

Ia mengingatkan agar para tokoh tidak melontarkan ajakan yang bertentangan dengan tujuan perbaikan kondisi politik pascapilpres. Sebab bagaimanapun, disadari atau tidak, para tokoh masyarakat memiliki pengikut, baik di dalam dunia maya atau di dunia nyata, yang berpotensi mengikuti apa yang dikatakan dan dilakukan idolanya.  

Secara khusus ia mengingatkan agar para tokoh berhati-hati saat berselancar di media sosial yang memiliki pengaruh luas saat ini di masyarakat Indonesia. “Para tokoh masyarakat ketika 'bermain' di media sosial itu jangan terbawa perasaan (baper) saat dikritik. (Cara) menyampaikan pendapatnya harus dengan semangat menentramkan. Jangan malah memprovokasi," ujar Oman Fathurrahman di Jakarta. 

Ia juga mengkritik sebagian tokoh masyarakat yang, alih-alih mendamaikan, malah justru melontarkan pendapat yang menambah ketegangan di dalam masyarakat. "Karena yang terjadi selama ini seseorang tokoh  atau yang dianggap sebagai tokoh oleh masyarakat itu kadang seringkali juga ikut berperilaku provokatif. Ini yang harus dihindari para tokoh itu demi menjaga persatuan antar masyarakat," tambahnya.

Oman mengingatkan, saat seseorang memutuskan masuk ke dunia maya, maka ia harus tahan terhadap kritikan, yang tak jarang, sangat pedas dari netizen. Dalam kondisi itu, lanjutnya, para tokoh masyarakat harus lebih menerima kritikan dan memberi respon ala kadarnya dan sesuai dengan kapasitas dirinya yang ia ketahui.

Untuk itu dirinya menguraikan tiga kunci pokok yang harus dipahami para  tokoh untuk menyampaikan sesuatu yang dianggap benar; yakni berilmu, berbudi dan berhati-hati. “Pertama, berilmu. Sampaikan sesuatu itu dengan berilmu, dengan pengetahuan sesuai kapasitasnya, sehingga tidak miss-leading. Kedua,  berbudi yaitu ketika menyampaikannya juga dengan arif, santun dan bijaksana, tidak dengan provokatif. Ketiga, berhati-hati. Siapa tahu ketika sampai  suatu informasi ke kita, ternyata setelah buru-buru kita posting, karena kita tidak hati-hati dan ternyata itu keliru bisa membuat suasana menjadi tidak baik dan memanas,” katanya.

Mantan Dekan Fakultas Adab dan Humaniora dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta ini menilai bahwa ajang Pilpres lalu melahirkan segregasi masyarakat yang banyak dipengaruhi oleh cara pandang keagamaan. Oleh karenanya pasca Pilpres ini ia mengajak masyarakat agar meletakkan keagamaan sebagai hal substantif, yang pada prinsipnya mengajarkan kesatuan sebagai saudara seagama dan sebangsa. 
 
“Sebagai umat beragama saya ingin mengatakan bahwa taat beragama itu sama artinya dengan taat bernegara. Sama halnya taat bernegara itu sebetulnya kita sudah mengimplementasikan dari ajaran agama itu sendiri,” tuturnya. (Red: Ahmad Rozali)