Nasional

Tiga Konteks Islam Nusantara Menurut Filolog Mahrus El-Mawa

Sab, 9 Februari 2019 | 09:00 WIB

Tangerang Selatan, NU Online
Filolog Mahrus El-Mawa mengatakan, dirinya tidak khawatir jika nanti muncul istilah Islam Jawa, Islam Cirebon, Islam Buton, dan lainnya, setelah munculnya Islam Nusantara. Menurutnya, itu semua bukan sebuah agama baru namun hanya pengistilahan saja dalam penelitian.  

“Dalam penelitian kita kan harus membuat nama, naming. Kita harus membuat istilah apa yang cocok, yang berbeda,” jelasnya di Kantor Islam Nusantara Center (INC), Tangerang Selatan, Sabtu (9/2). 

Mahrus kemudian menceritakan kisah Clifford Geertz yang di dalam bukunya The Religion of Java mengategorikan masyarakat Jawa ke dalam tiga golongan, yaitu priyayi, santri, dan abangan. Bagi Mahrus, Geertz sangat serius melakukan penelitian itu, terlepas dari yang setuju atau pun yang tidak setuju.      

Mahrus mencoba melakukan ‘hal yang sama’ dengan Geertz. Setelah melakukan survei dan observasi di beberapa tempat, Mahrus mengategorikan Islam Nusantara ke dalam tiga konteks. Pertama, Islam kepulauan seperti Ternate, Tidore, Pulau Seram, dan pulau-pulau kecil lainnya. Islam Nusantara dalam konteks ini hampir tidak pernah dikaji.

“Sebetulnya dari dulu sudah pernah dimulai. James Fox (guru besar Australia National University) melakukan riset tahun 60-70an di sekitar Papua, hanya tentang lautnya saja,” papar Kasi Penelitian dan Pengelolaan Hak Kekayaan Intelektual Kemenag RI ini.

“Islam Nusantara menurut saya ya Islam kepulauan salah satunya. Jadi kalau mengatakan Islam Nusantara itu tidak jelas, ya masuk ke wilayah-wilayah Islam di pulau itu seperti apa,” lanjutnya.

Kedua, Islam pesisir. Sebagian besar wilayah Indonesia adalah lautan, maka dengan demikian wilayah pesisir Indonesia juga sangat banyak dan luas. Mahrus menduga, masyarakat pesisir di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Maluku, Sulawesi, bahkan Malaysia dan negara Asia Tenggara lainnya, mungkin memiliki persamaan, sekaligus perbedaan, dalam mempraktikkan Islam. 

Mahrus menjelaskan, Islam pertama kali datang ke Nusantara melalui pesisir atau laut. Maka sudah seharusnya konteks Islam pesisir dikaji, mulai dari masyarakatnya, adatnya, kebudayaannya, dan ritualnya. Namun hal-hal semacam itu jarang diungkap dan diteliti.  

“Yang ketiga, Islam pegunungan atau pedalaman. Artinya masyarakat yang biasa saja, tidak di pinggir pantai dan tidak di tengah pulau (kecil seperti Tidore, Ternate, dan lainnya),” tukasnya. (Muchlishon)