Jakarta, NU Online
Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Republik Indonesia mengemukakan bahwa memeriksa dan menindak penyebar konten hoaks, ujaran kebencian, dan fitnah, lebih sulit dibanding memeriksa dan menindak pembuatnya.
Menurut Masykurudin, pembuat konten tidak lebih dari 200 orang sebagaimana catatan Kominfo. “Jadi kalau dari konten pembuat, itu bisa langsung diverifikasi dan ditindak, namun yang susah dikendalikan adalah orang yang menerima konten atas konten yang diterima itu, kemudian disebarkan kembali. Nah menyebarkan kembali itulah yang membuat kegaduhan," kata staf ahli Bawaslu ini, Kamis (17/1).Â
Setelah mengidentifikasi persoalan tersebut, pihaknya mengaku menemukan tiga faktor yang membuat seseorang suka menyebarkan konten hoaks, ujaran kebencian, dan fitnah yang terkait dengan politisasi agama.
Pertama, seseorang suka menyebar hoaks karena didukung oleh pandangan keagamaannya yang hitam putih. "Jadi memang sejak awal dia mempunyai latar belakang keagamaan yang radikal, dalam arti hitam putih saja, ya, tidak sampai melakukan kekerasanan. Pandangan dia ya a benar, b salah," ucapnya.
Kedua, mempunyai pandangan cukup besar tentang tata sosial yang ilusif atau bersifat mengkhayal, seperti menginginkan sistem atau cita-cita bentuk negara yang jauh dari kenyataan.
"Jadi pandangan itu didukung banyak orang yang punya pemahaman yang cukup tinggi, baik yang diperkenankan atau tidak," ucapnya.
Ketiga, menerima terhadap konten yang sesuai dengan pilihan politik pribadinya, kemudian disebarkan tanpa adanya klarifikasi tentang kebenaran konten tersebut.
"Ketika kontennya cocok bagi dia, itu tidak perlu klarifikasi karena kontennya memuaskan pilihan politiknya, konten itu disebar langsung," jelasnya.
Oleh karena itu, menurutnya, jika keadaannya seperti ini, relevan untuk dibahas di Munas-Konbes NU 2019 karena kalau dari penyebarannya, semua pasangan calon presiden terkena fitnah dan ujaran kebencian.
Bedanya, terdapat pada persentasenya, yakni pasangan calon Joko Widodo-KH Ma'ruf Amin diserang sebanyak 60 persen, sementara Prabowo Subianto-Sandiaga Uno sebanyak 40 persen.
"Jadi lebih banyak menyerang paslon satu, yaitu 60 persen, daripada ke paslon dua. Tapi paslon dua juga kena 40 persen," jelasnya.Â
Masykurudin Hafidz hadir pada Focus Group Discussion yang diselenggarakan Lembaga Bahstul Masa'il PBNU di gedung PBNU. (Husni Sahal/Ibnu Nawawi)