Nasional

Tidak Semua Norma Agama Diatur Negara

Kam, 18 Februari 2021 | 22:15 WIB

Tidak Semua Norma Agama Diatur Negara

“Sebagian besar banyak norma keagamaan cukup dan terbatas didukung kesadaran dan keimanan,” terang Kiai Masdar.

Jakarta, NU Online

Pengurus Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PBNU KH Azizi Hasbullah mengaku setuju dengan adanya SKB Tiga Menteri tersebut. Pasalnya, negara memberikan hak penuh urusan agama terhadap individu karena merupakan bagian dari urusan dia dengan Allah swt. “Memakai (atau) tidak memakai jilbab itu dilakukan secara pribadi,” katanya dalam Bahtsul Masail dengan tema “Ketika Negara Tidak Mewajibkan Kewajiban Syariat” pada Kamis (19/2).


Di sini, menurutnya, bukan berarti pemerintah melakukan pembatasan, melainkan justru memberikan kebebasan seluas-luasnya. Dengan SKB itu, orang Islam bebas mengenakan jilbab tanpa ada pelarangan pemerintah. “Jangan dikatakan pemerintah melarang,” kata Pengasuh Pondok Pesantren Barran Selopuro Blitar Jawa Timur itu.


Pemerintah ini bukan tidak mewajibkan atau melarang, tetapi melarang masyarakat ilzam kepada orang lain. Artinya, tidak ada konsekuensi hukum dalam persoalan yang diatur itu. “Sudah cocok dengan agama dan cocok dengan syariat,” ujar alumnus Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur itu.


Sementara itu, Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PBNU KH Abdul Moqsith Ghazali menjelaskan bahwa Pemerintah melalui SKB Tiga Menteri bukan hanya tidak mewajibkan, tetapi juga melarang sekolah untuk melarang ataupun mewajibkan penggunaan seragam kekhususan agama.


Jika hanya tidak melarang berarti mereka bebas menggunakan jilbab. Tetapi, SKB itu bukan hanya tidak mewajibkan dan tidak melarang, melainkan melarang sekolah untuk mewajibkan ataupun melarang penggunaan seragam keagamaan tertentu.


“Ini beban yang disisakan untuk diambil keluarga. Seperti shalat, beban pemerintah untuk keluarga dan pemangku otoritas agama. Negara tidak mau lebih jauh (terlibat),” ujar dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu.


Jika kembali ke maqashid syariah, maka dari yang lima itu seluruhnya diatur negara, baik menjaga diri, keturunan, harta, hingga martabat. Ia menjelaskan bahwa ada perintah agama yang sudah dipositivasi atau dikanunkan dalam bentuk Undang-Undang, seperti nikah, zakat, dan haji. Namun, ada juga yang belum atau tidak dilegalkan, seperti kewajiban puasa yang sifatnya hanya ikhbar saja. Negara dalam hal ini tidak dalam posisi mewajibkan shalat ataupun puasa.


Namun, ia menggarisbawahi bahwa menjaga agama tidak sepenuhnya diatur negara. “Disisakan negara untuk diatur agama masing-masing. Ini wilayah otoritas keagamaan seperti NU. Negara tahu diri agar sebagian norma itu tidak dinaikkan menjadi hukum positif,” jelasnya.


Memang, terang Kiai Moqsith, tidak semua norma agama bisa dikawal negara. Karenanya, mengutip KH Sahal Mahfudz, fiqih harus menjadi kerangka etik moral.


Sementara itu, Rais Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Masdar Farid Mas’udi menyampaikan bahwa persoalan tematik dalam bahtsul masail tidak membahas perihal halal haram, melainkan kemaslahatannya yang diukur dengan nalar dan kebiasaan.


Menurutnya, negara dan agama ini dua hal yang bisa saling bertemu, bisa berjalan sendiri, bahkan mungkin bisa berhadap-hadapan saling bertentangan. Pertimbangan akan hal itu bisa diambil inspirasi dan aspirasinya dari nilai-nilai keagamaan, kesepakatan masyarakat, ataupun pertimbangan publik berdasarkan maslahat dan mafsadatnya. Hal ini tidak harus terikat sepenuhnya dengan teks naql.


Memang, katanya, jika dibiarkan tentu belum punya daya ikat legal. Namun, hal itu memiliki daya ikat moral bagi yang menyetujuinya. Supaya bisa bermanfaat, hal tersebut bisa didorong menjadi norma yang mengikat atau satu norma publik, baik pada tingkat negara menjadi undang-undang atau hanya tingkat lokal menjadi perda atau sekadar nalar normatif yang tidak harus didukung kekuasaan, tetapi didukung kesadaran.


“Sebagian besar banyak norma keagamaan cukup dan terbatas didukung kesadaran dan keimanan,” terang Kiai Masdar.


Kiai alumnus Pondok Pesantren Krapyak itu mencontohkan shalat. Perintah agama itu tidak akan dikawal negara, tetapi oleh kesadaran. Tidak ada sanksi bagi Muslim yang tidak melaksanakan shalat.


Sementara itu, di sisi lain, ada masalah yang tidak dibahas syara’, tetapi oleh negara diseriusi, seperti tertib lalu lintas. Hal ini nyata sekali karena berkaitan dengan keselamatan orang. Agama dalam hal ini berkepentingan.


“Aturan lalu lintas tidak pernah diangkat fiqih, tapi bisa dipahami fiqih karena berkaitan dengan keselamatan orang. Bisa ditopang nilai keagamaan, secara faktual sosiologis, norma publik umum berlaku dan ditaati,” jelas Kiai Masdar.


Memang, terangnya, kita perlu memilah-milah hal-hal yang terkait dengan agama. Ini berkaitan persoalan publik keseharian, tidak harus dirujukkan kepada teks agama meskipun boleh juga. Tidak secara langsung berdasarkan nilai-nilai dasar saja.

 

Adapun Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Anwar Makarim, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian, dan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas mengenai seragam di lingkungan sekolah menuai polemik di tengah masyarakat. Surat itu ditujukan pada sekolah yang diselenggarakan pemerintah daerah pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. Hal tersebut muncul karena viralnya protes orang tua siswi non-Muslim mengenai aturan yang mewajibkan penggunaan jilbab di sebuah sekolah negeri di Sumatera Barat.


SKB Tiga Menteri itu memutuskan memberikan hak penuh kepada para sivitas akademika untuk memilih menggunakan seragam atau atribut tanpa kekhususan agama ataupun dengan kekhususan agama. Pemda dan sekolah juga tidak boleh mewajibkan ataupun melarang seragam dan atribut dengan kekhususan agama.


Pewarta: Syakir NF

Editor: Alhafiz Kurniawan