Nasional MODERASI BERAGAMA

Terdapat Mushala, Kelenteng Pan Kho Bio Bogor Perkuat Harmonisasi Umat Beragama

Sen, 15 November 2021 | 06:30 WIB

Terdapat Mushala, Kelenteng Pan Kho Bio Bogor Perkuat Harmonisasi Umat Beragama

Salah satu momen perayaan Maulid Nabi Muhammad di Kelenteng Pan Kho Bio Kota Bogor. (Foto: dok. istimewa)

Paling santer di telinga, Kota Bogor, Jawa Barat dikenal dengan julukan kota hujan. Kota ini memiliki simbol tugu kujang yang merupakan senjata pusaka khas daerah Jawa Barat. Namun, Bogor juga masyhur dengan sikap toleransi dan keberagaman antar-etnisnya. Hal ini terbukti dengan akulturasi budaya Sunda dan Tionghoa serta berdirinya sebuah kelenteng di tengah pemukiman padat penduduk, yakni Klenteng Pan Kho Bio atau yang juga akrab dikenal Wihara Maha Brahma. 


Wihara ini berlokasi di Kampung Pulo Geulis Nomor 18 RT02/RW 04, Kelurahan Babakan Pasar, Kecamatan Bogor Tengah, Kota Bogor. Untuk menjangkaunya dari kawasan Pecinan Suryakancana, hanya membutuhkan waktu sekitar 15 menit untuk tiba ke wihara tersebut.


Kampung Pulo Geulis sendiri merupakan sebuah pulau kecil di tengah Sungai Ciliwung. Pulau ini berukuran seluas 3,5 hektare dengan jumlah penduduk sekitar 2.500 jiwa. Penduduk Pulo Geulis berasal dari latar belakang yang beragam. Paling mencolok, Pulo Geulis diisi oleh suku Sunda dan Tionghoa. Wihara Maha Brahma tersebut menjadi simbol kuat akulturasi budaya dan toleransi beragama di sana.


Wihara Maha Brahma menjunjung tinggi sikap toleransi antarumat beragama. Memiliki luas bangunan 400 meter persegi, di dalam wihara ini terdapat berbagai macam kegiatan keagamaan. Berbeda dengan wihara lainnya, Wihara Maha Brahma ini tidak hanya digunakan oleh umat Buddha, tetapi juga umat Islam, Khonghucu, dan Tao dalam melakukan kegiatan keagamaannya. 


Wihara yang diakui sebagai wihara tertua di Kota Bogor ini memiliki mushala untuk ibadah umat Islam. Ruangan bercat hijau di bagian belakang kelenteng tersebut juga dilengkapi dengan alat shalat dan Al-Qu’ran. 


Bukan tanpa alasan Muslim datang berkunjung dan menggunakan sebagian area di wihara tersebut. Diketahui bahwa terdapat makam dan petilasan para penyebar agama Islam di masa Kerajaan Pajajaran di dalamnya. Hal ini kian mewarnai kelenteng Pan Kho Bio dengan sejumlah praktik keagamaan pada satu atap.

 

Petilasan Eyang Jayadiningrat dan Eyang Sakke di Kelenteng Pan Kho Bio. (Foto: dok. istimewa)
 

Pemerhati Sejarah, Abraham Halim menyebut bahwa petilasan Eyang Jayadiningrat dan Eyang Sakke berada di dalam wihara ini. Dijelaskan bahwa Eyang Sakke adalah salah satu putra dari Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten. Selain itu, terdapat juga makam Buyut Gebok yang diyakini sebagai salah satu panglima dari Kerajaan Pajajaran yang terakhir. 


“Beliau sudah menganut Islam, dan beliau inilah yang menyebarkan Islam di daerah sini,” tutur Abraham Halim, mengisahkan sejumput kisah di baliknya.


Di sisi kanan kelenteng, terdapat petilasan Eyang Prabu Surya Kencana dengan dua patung kepala harimau hitam, patung harimau putih kecil, dan sebuah arca kura-kura berukuran besar. Di sebelahnya, terdapat makam Embah Imam, leluhur penyebar agama Islam pada masa Kerajaan Pajajaran.


Selain itu, pengunjung juga akan mendapati altar patung Dewa Pan Kho di altar pertama, menghadap ke pintu utama. Dewa Pan Kho adalah dewa tertinggi pada kelenteng itu. Nama dewa tersebut kemudian teradaptasi menjadi nama kelenteng.


Sejarah singkat Kelenteng Pan Kho Bio

Akulturasi dan toleransi begitu kental di wihara tua ini. Sejarah panjang wiahara ini melahirkan keunikan. Salah satunnya dengan menyediakan tempat dan alat shalat untuk umat Muslim. Abraham mengisahkan sejarah singkat proses akulturasi yang menjadikan kelenteng Pan Kho Bio ini sebagai payung keberagaman.


“Ketika itu pemimpin atau raja pertama Kerajaan Pajajaran, Sri Baduga Maharaja atau yang dikenal Prabu Siliwangi menjadikan tempat ini sebagai tempat peristirahatan keluarga Pajajaran,” ungkapnya, mengisahkan babak awal sejarah wihara bermula.


“Setelah berkembangnya Pajajaran, dan kemudian pada 1579 Pajajaran runtuh diserang Banten. Setelah penyerangan, kawasan sini seperti tanah tak bertuan. Barulah kembali ditemukan ada kehidupan ketika Belanda masuk, perjanjian dengan Banten dan Cirebon, lalu mengadakan eksedisi pertama,” lanjut pria yang kerap disapa Bram itu.


Batu kerukunan di Kelenteng Pan Kho Bio. (Foto: dok. istimewa)

 

Sampai pada tahun 1703, ketika Abraham van Riebeeck datang usai perjalanannya dari Timur ke Barat. Ia mendapati tempat ini sudah dihuni dan diisi oleh komposisi penduduk antara suku Sunda dan Tionghoa.


“Orang Tionghoa tidak mendirikan ini sembarangan. Ada dua alasan: satu sakral, dua strategis. Sakral karena diyakini Pajajaran juga menggunakan tempat ini untuk mendirikan tempat peristirahatan,” katanya.


Dijelaskan bahwa dulu kelenteng tersebut digunakan oleh tiga keyakinan Buddha, Tao, dan Khonghucu. Namun pada zaman order baru, terjadi pelarangan penggunaan nama ‘kelenteng’. Ia harus diganti dengan kata wihara. Karena kelenteng saat itu digunakan bukan hanya oleh agama, tapi juga kepercayaan. Maka diubahlah kelenteng tersebut dengan nama Maha Brahma. 


Episentrum keberagaman dan kerukunan

Dialog dan komunikasi yang baik membuat hubungan perbedaan agama kian harmonis terjalin. Membuka dialog adalah keniscayaan dalam hidup bermasyarakat di Indonesia dengan tingkat pluralitas yang tinggi. 


Sikap rukun beragama tersebut sangat ditunjukkan dalam Kelenteng Pan Kho Bio. Majemuknya lingkungan tiada memantik konflik antargolongan. Masyarakat Pulo Geulis melakukan tata peribadatan dengan tertib dan saling menghormati. Alih-alih mengusik satu sama lain, mereka justru bekerja sama dan saling dukung dalam tata peribatan mereka. Seperti halnya ketika umat Islam beribadah di sana.


Umat Islam turut menggunakan bagian mushala di dalamnya untuk melakukan ziarah, pengajian Kamis malam, hingga tradisi sedekah maulid dalam menyambut Maulid Nabi. Setiap Ramadhan pun acara buka puasa bersama tak luput dari kelenteng itu. Sebaliknya, ketika Imlek, kegiatan berbagi ke pada sesama juga turut dimeriahkan. Bersih-bersih kelenteng dilakukan masyarakat, apapun agamanya.


 

Umat Islam turut menggunakan bagian mushala di dalamnya untuk melakukan ziarah, pengajian Kamis malam, hingga tradisi sedekah maulid dalam menyambut Maulid Nabi. (Foto: dok. istimewa)

 

Bhante Umat Buddha, Bowo turut mengamini pernyataan Halim perihal toleransi beragama yang terjadi di kelenteng itu. “Tetap baik biar pun beraneka ragam, seperti yang Buddhanya membaca Sutra. Malahan, kita di sini kalau Maulud, kita juga menyediakan makanan,” terang Bowo.


Abraham berkeyakinan bahwa menyikapi perbedaan harus dengan ‘arif dan bijaksana, agamamu untukmu dan agamaku untukku. Bersatu di dalam perbedaan akan terasa indah. Ia berharap, bahwa generasi penerusnya tetap bisa mengamalkan sikap toleransi yang sama. Pesan-pesan toleransi dan keberagaman dari Pan Kho Bio harus selalu didengungkan.


“Saya mengharapkan ke depannya, kerukunan beragama ini sampai pada ke generasi yang akan datang. Pada intinya, perbedaan itu harus kita satukan, itu kan terasa indah. Bersatu di sini bukan berarti bercampur aduk. Tetapi, dicampur itu ibarat minyak dan air dalam botol. Itulah kami di tempat ini,” paparnya.


Dari aktivitas lintas agama di Kelenteng Pan Kho Bio, masyarakat memahami bahwa bersatu dalam perbedaan adalah kedamaian yang indah. Agama bukan untuk diperdebatkan tetapi dijalankan. Tugas manusia adalah merawat keberagaman untuk menuai manisnya kebersamaan.


Pesan-pesan perdamaian dari Pulo Geulis lewat keberagaman di Kelenteng Phan Ko Bio merupakan simbol kerukunan dan toleransi di Kota Bogor. Narasi teduh tentang kerukunan umat beragama yang dibangun Phan Ko Bio adalah salah satu contoh dari sederet cerita pengamalam budaya toleransi di Indonesia.


Penulis: Nuriel Shiami Indiraphasa

Editor: Fathoni Ahmad

 

Konten ini hasil kerja sama NU Online dengan Biro Humas, Data, dan Informasi Kementerian Agama RI