Tak Ada Pembenaran bagi Perang Ofensif dalam Islam
NU Online · Jumat, 29 Juli 2016 | 12:02 WIB
Perang dalam Islam tidak sembarangan. Ia mesti melalui peraturan yang ketat. Islam tak mengizinkan mengangkat senjata kecuali untuk kepentingan bertahan atau membela diri lantaran terzalimi. Dengan bahasa lain, umat Islam diperkenankan menyerang hanya ketika dalam situasi diserang.
Pandangan ini disampaikan pakar fiqih dan hokum humaniter internasional, Prof Dr Ahmed al-Dawoody saat menjadi pembicara dalam diskusi Tashwirul Afkar di gedung PBNU, Lantai 8, Jalan Kramat Raya 164, Jakarta, Jumat (29/7), bertajuk “Tantangan Hukum Humaniter Internasional dan Hukum Islam tentang Konflik Bersenjata Kontemporer”.
“Tidak perang ofensif (jihad difa’i) dalam Islam,” tegas penulis buku The Islamic Law of War: Justifications and Regulations ini dalam bahasa Arab.
Menurutnya, dengan merujuk kepada pandangan sejumlah ulama klasik, perang tak bisa dilakukan begitu saja hanya karena sasaran adalah nom-Muslim. Ia menegaskan, kebebasan beragama dijunjung tinggi oleh Islam. Bahkan perang di zaman Nabi pun di antara pemicunya lantaran jaminan kebebasan tersebut sedang dalam keadaan diserang.
Ia mengakui, dalam tradisi fiqih klasik terdapat pemilahan tiga bentuk negara, yakni darul harb (negara dalam suasana perang), darul islam (negara Islam), dan darul shulh (negara dalam sausana dalami). Mengutip pendapat Imam Abu Hanifah, Ahmed al-Dawody berujar, “Negara Islam adalah ketika umat Islam dalam suatu wilayah mendapat jaminan keamanan menunaikan agamanya. Itulah darul islam.”
Karena itu, doktor studi Islam lulusan University of Birmingham Inggris ini menolak paham dan tindakan sejumlah kelompok Islam yang berperang secara serampangan, apalagi sampai mengorbankan orang tak bersalah. Sebab, katanya, dalam banyak literatur hadits terpapar jelas bahwa Islam meski dalam situasi perang sekalipun, melarang melakukan kerusakan yang tak ada hubungannya dengan perang, seperti membunuh wanita, anak-anak, orang tua, dan menebang pohon.
Rasulullah, kata Ahmed, juga melarang serangan di malam hari yang potensial mengorbankan rakyat sipil, panah dengan racun di ujungnya, dan sejenisnya. Peraturan-peraturan tersebut bisa menjadi analogi bagi persenjataan kimia era kontemporer, karena menurutnya fiqih bersifat realistis dan pragmatis.
“Andai saja kelompok-kelompok ekstrem itu memahami kerahmatan Islam sesungguhnya maka itu tidak akan terjadi,” sesalnya.
Pembicara lain, mantan ketua Lakpesdam PBNU, Ulil Abshar Abdalla berpandangan, fiqih bukan hanya warisan Islam melainkan juga warisan kemanusiaan yang amat penting. Namun, ajarannya mengalami “penyabotan”. Fiqih Islam digunakan untuk melakukan kejahatan atas nama Islam. “Dan penyabotan yang paling parah dilakukan oleh ISIS,” katanya.
Ia menggarisbawahi bahwa pelajaran penting dari fenomena kebiadaban ISIS adalah dunia Islam menghadapi tantangan besar untuk menjadikan fiqih sebagai khazanah berharga yang terbuka, realistis, dan mengikuti perkembangan zaman yang berjalan terus-menerus. (Mahbib)
Terpopuler
1
Kader PMII Dipiting saat Kunjungan Gibran di Blitar, Beda Sikap ketika Masih Jadi Wali Kota
2
Pihak MAN 1 Tegal Bantah Keluarkan Siswi Berprestasi Gara-gara Baju Renang
3
Kronologi Siswi MAN 1 Tegal Dikeluarkan Pihak Sekolah
4
Negara G7 Dukung Israel, Dubes Iran Tegaskan Hindari Perluasan Wilayah Konflik
5
KH Miftachul Akhyar: Menjadi Khalifah di Bumi Harus Dimulai dari Pemahaman dan Keadilan
6
Amerika Bom 3 Situs Nuklir Iran, Ekskalasi Perang Semakin Meluas
Terkini
Lihat Semua