Nasional

Tahun 2021, 39 Persen Masyarakat Khawatir Alami PHK

Ahad, 10 Oktober 2021 | 20:00 WIB

Jakarta, NU Online
Pada tahun 2021 ini, rata-rata orang mengalami kekhawatiran dalam bentuk rasa cemas akan masa depan, seperti dikurangi upahnya dan takut usaha rugi. Berbeda dengan 2020 ketika orang-orang mengalami kecemasan akibat adanya social distancing dan takut tertular virus Covid-19.


Hal itu disampaikan Peneliti dan Lead for Survey and Big Data on the Impact of Covid-19 pada Lembaga Pengembangan Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI), Chairina Hanum Siregar dalam rilis yang diterima NU Online, Ahad (10/10/2021).


“Selama pandemi Covid-19, sebanyak 39 persen orang khawatir mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) dan sebanyak 26 persen orang khawatir upahnya dikurangi,” papar Hanum.


Kekhawatiran dan kecemasan merupakan bagian dari isu kesehatan mental menjadi salah satu isu krusial yang perlu diperhatikan di tengah berlangsungnya pandemi Covid-19. Melambatnya roda perekonomian serta meningkatnya kondisi ketidakpastian memberikan dampak yang signifikan pada kesehatan mental masyarakat.


Pada 10 Oktober setiap tahunnya, World Mental Health Day (WMHD) diperingati sebagai upaya peningkatan kesadaran akan masalah kesehatan mental dan untuk memobilisasi upaya dalam mendukung kesehatan mental di seluruh dunia. WMHD tahun ini mengangkat tema Mental Health in an Unequal World.


Menurut Hanum, sejauh ini perhatian pemerintah Indonesia sudah cukup baik pada isu kesehatan mental. Terbukti dari adanya Undang-Undang Kesehatan Jiwa yang di dalamnya juga mengatur mengenai kesehatan mental.


Namun, Hanum menyayangkan karena adanya undang-undang tersebut nyatanya belum diikuti oleh hadirnya peraturan-peraturan turunan di bawah Kementerian Kesehatan. “Petunjuk untuk terkait mental health dapat menjadi isu lagi (yang perlu diperhatikan pemerintah),” ujar Hanum.


Kesehatan mental
Hanum menambahkan bahwa anggaran kesehatan jiwa dan kesehatan mental yang masing-masing sebesar 3 persen dan 1 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia belum cukup untuk mengatasi permasalahan kesehatan mental yang ada di Indonesia.


“Dari sisi SDM-nya sendiri pada tahun 2020, Indonesia hanya memiliki kurang dari 1,000 psikiater, 2,000 psikolog klinis terdaftar, dan kurang dari 7,000 perawat jiwa komunitas, padahal data dari Riskesdas menunjukkan bahwa dari 1000 rumah tangga, 7 di antaranya terdapat anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa. Apakah (anggaran) itu cukup?” cetus Hanum.


Dengan fasilitas yang masih kurang, lanjut Hanum, Indonesia masih banyak mengandalkan budget pemerintah. Menurut dia, Indonesia dapat meniru yang dilakukan India dengan menerapkan Public Private Partnership dalam bentuk tidak hanya dari infrastruktur. Tetapi, juga pemberian training untuk meningkatkan SDM.


Kerja sama dari pemerintah pusat dan daerah, menurut Hanum, juga harus melibatkan akademisi dan dari pihak swasta, sebab urusan kesehatan jiwa tidak hanya kuratif saja, tetapi juga termasuk promotif dan pencegahan (preventif).


“Di skala mikro, seperti di tingkat perusahaan, setelah sesi jam kerja, perusahaan dapat mengadakan pembekalan secara agama, sharing session, town hall meeting jika memungkinkan, atau sekadar sesi berbagi yang dibantu oleh fasilitator bekerja sama dengan wellness center,” paparnya.


Kebijakan pemerintah yang ada saat ini, menurut Hanum, seperti BPJS Kesehatan sebenarnya juga telah menanggung pembiayaan penyakit terkait kesehatan mental. Namun sayangnya, tidak semua orang mengetahui perihal tersebut sehingga sosialisasi menjadi penting agar masyarakat mengetahui hal tersebut.


Di samping itu, pemerintah melalui Kartu Prakerja juga terbukti telah dapat mengurangi rasa cemas karena dapat memberikan jaminan serta dapat menjadi salah satu coping mechanism kecemasan masyarakat, khususnya masyarakat usia produktif pencari kerja.


Hanum juga menyinggung dampak pandemi terhadap kesehatan mental para peserta didik yang menjalankan pembelajaran jarak jauh (PJJ). Hasil studi LPEM menemukan bahwa salah satu yang menyebabkan PJJ tidak efektif adalah daya tangkap dan pemahaman pelajaran yang rendah. Hal tersebut ditambah adanya kekhawatiran orangtua bahwa anak akan rentan stres dan munculnya kecanduan anak terhadap gawai.


“Mengubah kurikulum memang menjadi jalan yang panjang. Tetapi, pemerintah dapat menyiasatinya dengan mengubah cara mengajarnya (melalui) PR-nya tidak terlalu banyak, (serta) di sela-sela pembelajaran (terdapat) ice breaking, sehingga anak tidak terlalu terbebani,” pungkas Hanum.


Pewarta: Kendi Setiawan
Editor: Musthofa Asrori