Nasional

Sumpah Pemuda, Momentum Akhiri Ketimpangan Gender di Indonesia

Kam, 28 Oktober 2021 | 11:30 WIB

Sumpah Pemuda, Momentum Akhiri Ketimpangan Gender di Indonesia

Kesetaraan gender. (Foto: Ilustrasi)

Jakarta, NU Online
Tepat pada hari ini, 93 tahun lalu, berlangsung Kongres Pemuda ke-2 yang memicu lahirnya Sumpah Pemuda. Pada momentum Sumpah Pemuda bertemakan Bersatu, Bangkit dan Tumbuh saat ini pembangunan yang inklusif dibutuhkan untuk mengakhiri berbagai bentuk ketimpangan di masyarakat, salah satunya ketimpangan gender.


Hal itu disampaikan Direktur Asian Muslim Action Network (AMAN) Indonesia, Dwi Rubiyanti Kholifah atau yang akrab disapa Ruby Kholifah saat dihubungi NU Online lewat sambungan telepon, pada Kamis (28/10/2021).


“Karena di dalam konteks sejarah Indonesia, sebenarnya kontribusi perempuan itu cukup signifikan. Nah, kalau ini dimaknai sebagai kebangkitan dan menumbuhkan (lagi) sikap kebangsaan, tentu PR kita adalah bagaimana gagasan Gender Equality (kesetaraan gender) itu betul-betul dijalankan,” jelas aktivis perempuan dan anak ini.


Pada dasarnya, kata Ruby, makna sebenarnya dari Sumpah Pemuda adalah kebangkitan yang di dalamnya termasuk pengarusutamaan gender untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender.


Maksudnya, kesetaraan gender bermakna bahwa laki-laki dan perempuan dapat berkembang optimal tanpa terkendala oleh jenis kelaminnya.  Sedangkan keadilan gender bermakna bahwa laki-laki dan perempuan punya perbedaan kebutuhan yang harus dipenuhi.


Nah, kesetaraan dan keadilan yang diperuntukan kepada warga Indonesia ini, termasuk di dalamnya adalah kesetaraan dan keadilan gender yang menjadi hal penting. Karena memang praktik-praktik ketidakadilan dan ketidaksetaraan sampai saat ini masih banyak ditemukan kepada perempuan,” terang anggota aktif di Majelis Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) itu.


Nah, ini penting  dijadikan highlight kita bersama bahwa angka kesetaraan gender Indonesia masih sangat rendah,” sambungnya.


Akan tetapi, menurutnya, ada yang perlu digarisbawahi dalam memaknai kesetaraan gender yang selama ini justru hanya dinilai sebatas suatu program kegiatan, padahal tujuan prioritasnya adalah strategi pembangunan.


“Strategi tersebut diperlukan untuk memastikan semua lapisan masyarakat bisa terlibat dalam proses pembangunan. Sehingga diharapkan pembangunan yang dilaksanakan bisa bermanfaat untuk semua. Dan ini memang menjadi bagian dari kebangkitan itu sendiri,” terang Ruby.


Melasir laman resmi Kemenpppa.go.id, isu ketimpangan gender masih menjadi salah satu masalah yang dihadapi di Indonesia, khususnya bagi perempuan. Hal itu terlihat dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM), Indeks Pembangunan Gender (IPG) juga Indeks Pemberdayaan Gender (IDG) antara perempuan dan laki-laki masih selisih jauh.


Data Kementerian PPPA menunjukan bahwa tingkat IPM laki-laki pada 2020 sebesar 75,98. Sedangkan IPM perempuan baru 69,19. Dalam IDG yang mengukur peran aktif perempuan juga masih lebih rendah dibandingkan laki-laki.


Data tersebut didukung oleh Badan Pusat Statistik (BPS) yang juga menunjukan bahwa tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan masih jauh tertinggal dari laki-laki. Di mana perempuan baru 53,13 persen sementara laki-laki mencapai 82,41 persen.


Sederhananya, Ruby menegaskan bahwa kesetaraan gender di Indonesia masih belum sepenuhnya tercapai.


Kontributor: Syifa Arrahmah
Editor: Muhammad Faizin