Nasional

Suluk Maleman: Berguru pada Cinta Nabi Ibrahim

Ahad, 9 Juni 2024 | 15:48 WIB

Suluk Maleman: Berguru pada Cinta Nabi Ibrahim

Anis Sholeh Ba’asyin, Ali Fatkhan, Abdul Jalil dan Budi Maryono dalam Ngaji NgAllah Suluk Maleman ‘Mendekap Cinta’ yang digelar di Rumah Adab Indonesia Mulia, Sabtu (8/6) (Foto: DOk. Suluk Maleman)

Pati, NU Online
Kisah Nabi Ibrahim yang banyak dikisahkan saat mendekati hari raya Idul Adha, rupanya membawa pesan kemanusiaan yang mendalam. Rasa cinta Nabi Ibrahim itulah yang menjadi bahan diskusi dalam Suluk Maleman edisi ke-150 pada Sabtu (8/6) malam.


Menyembelih satu-satunya anak yang sudah puluhan tahun dinantikan kelahirannya adalah perintah yang di luar jangkauan pengetahuan manapun. Anis Sholeh Ba’asyin, penggagas Suluk Maleman menyebut perintah itu mengantarkan Ibrahim pada batas pilihan antara pengetahuan dan cinta. 


“Mari coba posisikan diri kita pada tempat Ibrahim alaihi salam. Akankah masih mau percaya kepada Tuhan pemberi perintah tersebut?” terangnya.


Dia menyebut bisa jadi, masyarakat akan mengumpulkan dalih berdasar hukum alam dan sosial untuk menghindar atau malah menolaknya.


“Tapi Nabi Ibrahim memilih keyakinan cinta. Cinta yang membuat dia bisa menyampingkan nalar pengetahuan dan kemanusiaannya dan menerima Tuhan sebagai yang tak terwadahi oleh pengetahuan mana pun,” tambahnya.


Anis menambahkan, kesempurnaan keyakinan Nabi Ibrahim, membuatnya memilih menjalankan perintah tanpa bertanya. Bahkan meskipun tiga kali Iblis mencoba menggodanya, tiga kali pula Ibrahim alaihi salam tanpa ragu melemparinya dengan batu.


“Dan Tuhan memberi jawabnya. Nalar bahwa apa yang disembelih akan mati menjadi tidak berlaku. Ismail yang di sembelih, tapi yang mati justru domba. Kenyataan yang tak mungkin tercakup dalam bahasa pengetahuan mana pun kecuali bahasa cinta,” tambahnya.


Anis berujar, hal itulah yang menyebabkan Ibn ‘Arabi menyebut Ibrahim sebagai maqam cinta. Cinta membuat dia selalu dalam keadaan memandang yang dicintainya sehingga tak setitik pun lupa bisa menyentuh atau mengalihkan perhatiannya.


“Dalam hal ini kita harus berguru pada cinta Ibrahim, yang rela dia bayar dengan apa saja agar setiap saat semakin mendekat (taqarrub), dan semakin mendekat lagi pada yang dicintainya. Inilah satu-satunya jalan untuk mengelak dari siklus kejatuhan yang selalu diembuskan iblis dalam sejarah,” ujarnya.


Abdul Jalil, narasumber dalam Suluk Maleman menyebutkan, Nabi Ibrahim mengajarkan bahwa ketaatan kepada Allah tidak boleh disaingi dengan ketaatan pada yang lain. Semua nabi pun mengajarkan hal serupa.


Dia pun mencontohkannya dengan peristiwa Nabi Adam. Dia menyebut kala itu Nabi Adam berani pohon yang dilarang bukan karena tergoda, tapi saat itu Iblis menggunakan kata “Demi Allah”.


“Nabi Adam tidak pernah membayangkan ada yang berani menggunakan nama Allah untuk membohonginya,” jelasnya.


Jalil juga menyebut dalam peristiwa berkurban antara Qabil dan Habil juga mengajarkan bagaimana untuk memberikan yang terbaik. Bukan sekadar memberikan sesuatu untuk dikurbankan.


“Jadi takarannya berbeda kalau memang kuat sapi tentu sebaiknya jangan kambing. Begitu pula sebaliknya kalau memang tidak kuat berkurban sapi maka jangan dipaksakan juga. Esensinya adalah memberikan yang terbaik yang bisa dilakukan,” imbuhnya.


Budi Maryono budayawan yang juga hadir sebagai pemateri menambahkan adanya pelajaran saat Iblis tak mau bersujud kepada Adam. Iblis seharusnya memikirkan siapa yang memerintah bukan kepada siapa dia bersujud.


“Nabi Ibrahim juga meyakini yang memerintah menyembelih anaknya datang dari Tuhan makanya tidak apa-apa. Sekarang ini yang terpenting bagi kita sebagai hamba adalah mengakui adanya Tuhan dan pengakuan itu diekspresikan dalam perbuatan. Tentu kita selamat,” ujarnya.


Meski cukup berat namun ngaji budaya yang digelar di Rumah Adab Indonesia Mulia itu tetap terlihat gayeng. Ratusan orang tampak menyaksikan secara langsung maupun melalui berbagai media sosial.


Menariknya selain musik Sampak GusUran, Suluk Maleman kali ini juga dimeriahkan dengan dramatik reading karya Anis Sholeh Ba’asyin yang dibawakan oleh empat orang pegiat sastra; M. Nur Zaini, Pendi Sukarjo, Muhammad dan Sya’roni.