Soal Pilkada, Elit Politik Harus Berkaca Diri
NU Online · Jumat, 12 September 2014 | 12:17 WIB
Jakarta, NU Online
Hasil Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama dan Konferensi Besar (Konbes) 2012 NU di pesanten Kempek, Cirebon, yang menyatakan pemilihan kepala daerah dipilih (Pilkada) oleh DPRD, akhir-akhir ini mencuat dan menjadi perbincangan hangat. Sayangnya, ide dasar hasil Munas NU ini tidak turut diperbincangkan, sehingga diskursus Pilkada ini tak menyentuh substansi masalah bahkan cenderung menjadi bola liar yang dimanfaatkan oleh kelompok kepentingan tertentu.
<>
Demikianlah salah satu kesimpulan diskusi terbatas yang diadakan oleh Forum 1926 di kantor PBNU, Jumat (12/9) sore. Muhammad Nurul Huda, salah satu pembicara dalam diskusi pada Jumat sore ini menjelaskan, ide besar dari keputusan tersebut adalah penyempurnaan dan perbaikan kualitas proses demokrasi.
“Posisi NU saat itu sedang merespon situasi maraknya politik uang, konflik sosial, dan rontoknya modal sosial dan kultural masyarakat oleh perilaku elit politik,” jelas Nurul Huda, peneliti dari Tankinaya Institute, Depok Jawa Barat.
“Perdebatan sekarang ini hanya mengutip keputusan Munas secara harfiyah, tidak mengambil spirit moral yang terkandung dalam teks hasil Munas. Sehingga, hasil Munas NU menjadi bola liar dan dijadikan alat untuk melegitimasi kepentingan politik tertentu,” jelas Huda.
Menanggapi mudhorot dan maslahat Pilkada langsung, Nurul Huda memaparkan, bahwa dampak negatif Pilkada langsung bersumber dari perilaku elit politik, bukan masyarakat di bawah. Dampak negatif ini tidak bisa dijadikan dalil untuk mengembalikan Pilkada melalui DPRD. Yang penting adalah bagaimana meletakkan keputusan Munas 2012 NU ini secara moral dalam konteks perdebatan politik yang mencuat belakangan ini.
“Politik uang dilakukan elit politik, konflik sosial itu provokasi disulut oleh elit politik, korupsi jelas oleh elit politik. Problem Pilkada langsung itu ada pada elit politik, bukan pada masyarakat. Mengapa solusinya yang ditawarkan Pilkada melalui DPRD? Mengapa wewenang rakyat yang dicabut? Saya setuju ada koreksi dan evaluasi Pilkada langsung, termasuk bahwa elit politik harus berkaca diri,” jelasnya.
Fiqih Politik
Di sesi lain, Mahbub Ma’afi menggarisbawahi pentingnya mengembalikan roh fiqih politik dalam Islam, yakni politik yang membela dan melindungi hak-hak rakyat. Pemimpin yang berpotensi melindungi rakyat itu adalah, dalam istilah fiqih politik, syarikah baynar ro’aya atau membaur dan mengakar di masyarakat.
Dia mengutip pernyataan ulama bermadzhab Maliky, Abu Bakar Ath-Thurtusy yang mengatakan, “Afdhalul muluk man kana syarikatan baynar ro’aya," pemimpin yang ideal adalah yang membaur dan mengakar di tengah rakyatnya.
“Nah, diskusi Pilkada ataupun bahkan pemilu sekalipun, sebetulnya ada pada sistem pemilihan yang dapat menyeleksi sosok pemimpin yang membaur dan mengakar di masyarakat. Pilkada melalui DPRD kemungkinan-kemungkinannya seperti apa? Pilkada langsung maslahat dan mudhorotnya seperti apa?” jelas Mahbub Ma’afi, aktivis Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat. (Alhafiz Kurniawan)
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Jadilah Manusia yang Menebar Manfaat bagi Sesama
2
PBNU Soroti Bentrok PWI-LS dan FPI: Negara Harus Turun Tangan Jadi Penengah
3
Khutbah Jumat Hari Anak: Didiklah Anak dengan Cinta dan Iman
4
Khutbah Jumat: Ketika Malu Hilang, Perbuatan Dosa Menjadi Biasa
5
Khutbah Jumat: Menjadi Muslim Produktif, Mengelola Waktu Sebagai Amanah
6
Khutbah Jumat: Jadilah Pelopor Terselenggaranya Kebaikan
Terkini
Lihat Semua