Nasional

Soal Pakar dan Ahli, Kiai Said: NU Punya 740 Guru Besar

Sel, 27 Oktober 2020 | 10:40 WIB

Soal Pakar dan Ahli, Kiai Said: NU Punya 740 Guru Besar

Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siroj.

Jakarta, NU Online

Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siroj memberikan teguran kepada pemerintah karena pembahasan Undang-Undang (UU) Cipta Kerja sangat eksklusif dan tidak transparan.


“NU sebagai ormas Islam terbesar di Indonesia sama sekali tidak dilibatkan dalam pembahasan UU Cipta Kerja,” kata Kiai Said, dikutip NU Online dari Media LD PBNU, Selasa (27/10).


Menurut kiai kelahiran Cirebon ini, NU akan selalu siap apabila diminta untuk terlibat dalam pembahasan UU Cipta Kerja. Sayangnya, kata Kiai Said, ormas Islam yang selalu setia mengawal Indonesia ini justru sama sekali tidak dilibatkan. 


Bahkan, ia mengungkapkan bahwa di NU terdapat banyak ahli yang memiliki kompetensi untuk membahas UU Cipta Kerja. Antara lain yang ada di Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU). 


“Kami punya banyak tenaga ahli. Di ISNU yang diketuai Pak Ali Masykur Musa ada 740 guru besar, itu banyak sekali pakar. Tapi tidak ada yang diajak. Dikira kita (NU) enggak punya ahli,” ungkapnya.


Parahnya, lanjut Kiai Said, salah seorang Ketua PBNU ada yang menjabat sebagai Deputi IV di Kantor Staf Kepresidenan RI (H Juri Ardiantoro) tapi tidak mengetahui dan tidak membaca naskah UU Cipta Kerja. Alasannya karena draf yang tersebar, ketika itu, berbeda-beda. 


“Ketika tanggal 5 diketok, DPR yang buat malah tidak tahu itu. Mereka enggak ngerti. KSP-nya pun, deputinya Pak Moeldoko kan ada dari Ketua PBNU, namanya Pak Juri enggak ngerti (detail UU Cipta Kerja). Belum baca tapi sudah diketok,” tuturnya.


Kiai Said menilai, dalam proses legislasi UU Cipta Kerja dinilai ada kesan kejar tayang, baik dari DPR maupun Pemerintah. Ia lantas bertanya-tanya, “Itu yang juga bikin saya bertanya-tanya kenapa? Kenapa terburu-buru, kenapa tergesa-gesa? Kenapa terkesan eksklusif, elitis, apa yang dikejar sih?”


Dengan tegas, ia lantas menerangkan bahwa pada saat UU Cipta Kerja diketok pada 5 Oktober lalu, anggota DPR yang mengikuti Rapat Pleno sama sekali tidak mengerti apa pun terkait UU yang sedang disahkan tersebut. 


“Karena yang ngerti hanya ketua-ketua komisinya atau ketua partai, yang di bawah (anggota DPR) enggak ngerti itu,” terangnya. “Saya nanya ke Pak La Nyalla Ketua DPD enggak ngerti. Waktu tanggal 5 (pengesahan di Paripurna) itu belum pegang (draf),” pungkas Kiai Said.


Sebelumnya diberitakan, PBNU akan tetap melakukan judicial review atau uji materi ke Mahkamah Konstitusi untuk menggugat UU Cipta Kerja yang dinilai terdapat banyak permasalahan, baik secara substansi maupun secara legal-formal. 


Salah satu yang menjadi bagian dari Tim PBNU untuk mengajukan gugatan judicial review ke MK adalah Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Konfederasi Sarikat Buruh Muslimin Indonesia (K-Sarbumusi). Hal ini berdasarkan keterangan yang diberikan Wakil Presiden Dalam Negeri DPP K-Sarbumusi Sukitman Sudjatmiko, kepada NU Online, pada Senin (26/10) kemarin.


“Kita menjadi salah satu bagian yang diminta PBNU untuk menyiapkan judicial review, khusus klaster ketenagakerjaan UU Cipta Kerja,” jelas Sukitman.


Selain itu, di DPP K-Sarbumusi sendiri akan dilakukan judicial review dengan dua hal. Pertama, uji formil terkait proses legislasi UU Cipta Kerja yang terkesan tidak transparan dan mengabaikan partisipasi publik.


Sebagai informasi, untuk melakukan uji formil ini dasar hukumnya adalah UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Pasal 5, 88, dan 96. Selanjutnya bisa pula digunakan Pasal 51A UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. 


Kedua, DPP K-Sarbumusi juga akan melakukan uji materiil. Menurut Sukitman, ada beberapa pasal yang dianggap krusial sehingga harus dilakukan judicial review ke MK. Pertama, pasal 59 yang dihapus dalam UU Cipta Kerja.


Padahal kata Sukitman, pasal 59 ini adalah jantungnya serikat buruh karena memuat aturan soal tenaga kerja kontrak. Namun pasal tersebut tidak dicantumkan alias dihapus. Dengan demikian, pemerintah dinilai tidak mengatur secara rinci soal batas waktu pembaruan tenaga kerja kontrak.


“Kemudian (akan judicial review) pasal 63, 64, dan 66. Jadi ada empat pasal yang akan kita judicial review,” terang Sukitman.


Soal draf mana yang menjadi rujukan Sarbumusi untuk melakukan judicial review, Sukitman menjelaskan pihaknya mendasarkan pada naskah dari PBNU yang didapat langsung dari Menteri Sekretariat Negara (Mensesneg) Pratikno, beberapa waktu lalu.


“Itu agak lebih sahih karena (diterima) langsung dari Pak Pratikno ke PBNU. Makanya itu yang kita pakai sementara ini. Tapi terkait (banyaknya) versi itu hanya beda halaman saja, sementara untuk klaster ketenagakerjaan tidak berubah. Itu yang sedang kami siapkan," jelasnya.


Rencananya, Sarbumusi akan melakukan judicial review setelah UU Cipta Kerja diundangkan dan diteken oleh Presiden Joko Widodo.

 

“Karena kan kita nanti yang dirujuk nomor UU-nya tentang apa pasal berapa saat nanti setelah menjadi lembar negara. Nomor itu yang menjadi rujukan untuk judicial review ke MK,” pungkas Sukitman.


Pewarta: Aru Lego Triono

Editor: Fathoni Ahmad