Nasional

Sistem Perbankan Tak Luput Jadi Kajian Bahtsul Masail NU Jatim

Sab, 29 Februari 2020 | 03:30 WIB

Sistem Perbankan Tak Luput Jadi Kajian Bahtsul Masail NU Jatim

Sekretaris PW LBMNU Jatim Ahmad Muntaha saat menjelaskan persoalan yang dibahas pada bahtsul masail kepada sejumlah insan media. (Foto: NU Online/istimewa)

Surabaya, NU Online
Istilah riba semakin kencang disampaikan sejumlah kalangan. Hampir semua hal disematkan kepada transaksi keuangan apakah ribawi maupun tidak. Bahkan hal tersebut juga merembet terhadap transaksi lain.

Berangkat dari hal ini, Pengurus Wilayah (PW) Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama (LBMNU) Jawa Timur menyelenggarakan diskusi terkait masalah ini dan masail lainnya di Pondok Pesantren Mathaliul Anwar, Karanggeneng, Lamongan mulai hari ini hingga Ahad (1/3).

“Riba secara bahasa bermakna al-ziyadah atau tambahan. Sedangkan pengertian secara syara’ didefinisikan sebagai suatu akad berbasis pertukaran barang tertentu yang tidak diketahui padanannya menurut timbangan syara’ yang terjadi saat akad berlangsung atau akibat adanya penundaan serah terima barang baik terhadap kedua barang yang dipertukarkan atau salah satunya saja,” kata Ustadz Ahmad Muntaha, Sabtu (29/2).

Disampaikan Sekretaris PW LBMNU Jatim ini bahwa permasalahan mengenai bunga perbankan, sebenarnya bukan masalah baru. Masalah ini sudah mencuat semenjak 1984. Hukum dan keputusannya juga berbeda-beda antara satu sama lain.

“Perbedaan ini setidaknya mengundang tanda tanya dari masyarakat. Khususnya, bagaimana mengenai sikap tegas NU terhadap perbankan konvensional dan sistem bunga bank yang diterapkan,” ungkap alumnus Pesantren Lirboyo Kediri tersebut.

Dalam tubuh Nahdlatul Ulama tercatat pernah sekali melakukan bahtsul masail yang membahas tentang masalah ini. Arsip itu yang selama ini dijadikan sebagai pedoman dasar oleh Nahdliyin dalam menyikapi hukum bunga bank dan bermuamalah dengan perbankan.
 
Munas NU di Lampung
Berangkat dari arsip keputusan hasil bahtsul masail yang diselenggarakan lewat Komisi Bahtsul Masail Musyawarah Nasional NU di Lampung, yang digelar pada 1992, dinyatakan bahwa bank konvensional dengan sistem bunganya masih diperlukan.
 
“Karena, alasan belum adanya sistem keuangan yang berlandaskan syariah yang mampu menjadi lembaga substitusi atau pengganti dari bank konvensional di Indonesia dengan sistem bunganya,” jelasnya.
 
Ketiadaan ini menjadi logis mengingat perbankan syariah di Indonesia baru berdiri pada tahun 1991 dan secara resmi baru beroperasi pada tahun 1992, usai Munas NU di Lampung. Satu-satunya bank syariah yang berdiri saat itu adalah Bank Muamalat Indonesia (BMI).

“Dengan alasan ini, maka tidak mengherankan bila sikap penerimaan musyawirin Munas 1992 terhadap bunga bank adalah didasarkan karena landasan dlaruratnya perbankan konvensional, sebagaimana kaidah, karena darurat, maka boleh hukumnya menerjang larangan syariat dengan syarat ketiadaan berkurangnya sifat kedaruratan itu,” terangnya.

Pada 1997, Indonesia mengalami krisis moneter yang menyebabkan beberapa bank harus diliquidasi seiring ketidaktahanannya terhadap krisis. Dan dari kesekian bank yang turut mengalami krisis, BMI justru menjadi bank yang paling tahan terhadap krisis tersebut.

“Kondisi ini menjadikan BMI menjadi banyak dilirik oleh para pemegang kebijakan. Lalu akhirnya, diputuskan kebijakan untuk lebih mempertegas lagi eksistensinya lewat regulasi,” katanya.

Ustadz Muntaha menceritakan, seiring semakin lengkapnya perangkat hukum perbankan syariah hingga akhir 2003, maka lahirlah fatwa dari Komisi Fatwa MUI tahun 2004 yang ditandatangani oleh KH Ma’ruf Amin selaku ketua tentang bunga interest atau faedah.

Dalam perjalanannya, juga ditegaskan bahwa bank syariah di Indonesia terdiri dari dua model. Pertama, bank syariah yang sepenuhnya melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. Kedua, bank konvensional yang melaksanakan kegiatan berdasarkan prinsip syariah melalui unit usaha syariah yang dimilikinya. Keduanya tidak boleh melakukan kegiatan usaha yang melanggar prinsip syariah.
 
UU Perbankan Syariah
“Lebih tegasnya, prinsip syariah yang harus dipatuhi oleh bank syariah menurut UU Perbankan Syariah di sini adalah prinsip syariah yang difatwakan oleh Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia yakni DSN-MUI dan selanjutnya dituangkan dalam Peraturan Bank Indoneisa atau PBI,” tegasnya. 

“Permasalahannya kemudian adalah, setelah perjalanan selama kurang lebih 12 tahun semenjak terbitnya UU Perbankan Syariah tersebut, dan 16 tahun semenjak Fatwa MUI Nomor 1/2004 apakah benar bahwa kita sudah siap untuk beralih secara murni ke perbankan syariah dan meninggalkan perbankan konvensional secara total?” katanya balik bertanya.

Atau memiliki pandangan lain terkait dengan bunga perbankan sehingga berbeda dengan Fatwa MUI Nomor 1 Tahun 2004, menjadi alasan tetap berlakunya hukum bunga, lanjutnya. “Untuk menjawab permasalahan itu, dibutuhkan pertimbangan analisis terhadap kondisi aset perbankan konvensional dan perbankan syariah di Indonesia, khususnya yang terjadi dewasa ini,” katanya.

Demikian pula bagaimana hukum bermuamalah dengan bank konvensional karena prinsip yang diemban dalam mengklasifikasi hukum ini adalah semua tindakan perbankan adalah bersifat terkontrol oleh Bank Indonesia.

“Demikian pula peran suku bunga acuan atau BI rate yang ditetapkan oleh BI adalah berfungsi sebagai bentuk pengendalian harga biaya administrasi, margin keuntungan, denda, serta bunga kredit perbankan serta nisbah bagi hasil bagi nasabah pada akad investasi atau istitsmariyah,” urainya.

Belum lagi bank selaku lembaga intermediasi keuangan, perannya sangat dibutuhkan oleh masyarakat, sehingga mau tidak mau, bank masuk unsur maslahah hajiyah.

“Aneka pertimbangan inilah yang akan disampaikan pada forum bahtsulk masail sejak hari ini hingga besok,” ungkap Ustadz Muntaha. Termasuk yang juga dibahas adalah hukum bekerja di bank konvensional dan perlu tidaknya mempertahankan bank konvensional di Indonesia, lanjutnya.

Sebagai panduan, forum bahtsul masail yang dihadiri unsur syuriyah PWNU Jatim, utusan dari kabupaten dan kota maupun pesantren di Jatim akan menyampaikan rekomendasi terkait hal ini. “Semua dilakukan sebagai panduan bagi berbagai kalangan,” pungkasnya.

Pewarta: Ibnu Nawawi
Editor: Musthofa Asrori