Nasional

Petani Jember Gagas Jagung sebagai Tanaman Favorit

Jum, 27 September 2019 | 03:30 WIB

Petani Jember Gagas Jagung sebagai Tanaman Favorit

Ustadz Syukri Rifa’i memastikan bahwa menanam jagung cukup menjanjikan. (Foto: NU Online/Aryudi AR)

Jember, NU Online
Harga jagung yang cenderung stabil dalam beberapa bulan terakhir, membuat sejumlah petani di Jember, Jawa Timur memalingkan perhatian kepada komoditas pangan tersebut. 
 
Salah seorang petani yang mantap untuk bertani jagung adalah Ustadz Syukri Rifa’i. Warga Dusun Tugusari, Desa Kaliwining, Kecamatan Rambipuji tersebut, saat ini bercocok tanam jagung di atas lahan seluas 3,5 hektare. Lahan bukan miliknya sendiri, tapi didapat dengan cara sewa.
 
Menurut Ketua Pengurus Cabang (PC) Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama (LBMNU) Jember ini, sesungguhnya bertani jagung cukup menjanjikan. Biayanya tidak terlalu mahal. Perawatannya pun tidak begitu sulit. Hanya menjaga pasokan air untuk memastikan tanah yang ditanami tidak terlalu kering. Dan hasilnya cukup menggiurkan. 
 
“Keberpihakan pemerintah terhadap petani jagung yang diwujudkan dengan penolakan impor, saya kira ini momentum bagi petani untuk menjadikan jagung sebagai tanaman pokok setelah padi,” ungkap Ustadz Syukri di kediamannya, Kamis (26/9).
 
Selama kurun waktu puluhan tahun, kebanyakan petani di Jember menganggap jagung sebagai tanaman kelas tiga, alias hanya sampingan setelah padi dan tembakau. 
Jember memang dikenal sebagai Kota Tembakau. Daun tembakau yang menjadi logo pemerintahan  setempat merupakan pengakuan bahwa Jember memang penghasil tembakau papan atas. Tembakau dielu-elukan sebagai tanaman berdaun emas. Ini karena petani yang sukses menanam tembakau, biasanya langsung memborong perhiasan emas.
 
Namun seiring berjalannya waktu, harga tembakau mulai keropos, khususnya Na-oogst. Banyak petani kolaps gara-gara rugi menanam tembakau karena harganya murah. Sehingga muncullah kata-kata ‘tembakau berdaun emas tapi berbuah sengsara’. Dan sejak saat itu, petani tidak mempunyai pegangan tanaman sebagai pengganti tembakau. Barulah dalam beberapa tahun terakhir, jagung muncul sebagai alternatif.
 
“Dan saat ini jagung sudah mulai menjadi tanaman favorit,” ucap Ustadz Syukri.
Dalam menanam jagung itu, Ustadz Syukri bekerja sama dengan sebuah perusahaan benih nasional yang berkantor di Jember, yakni PT BCA (Benih Citra Asia). Wujud kerja sama itu adalah suplay benih ‘Betras’ gratis untuk petani sebanyak  29 kilogram perhekare dan pendampingan selama proses produksi. Harga kontrak ditentukan di awal (Rp. 5.500/kilogram), sehingga meskipun harga jagung turun saat panen, petani tetap untung karena kontrak tidak akan berubah. 
 
“Hasil jagung kita jual kepada mitra,” ujar Ustadz Syukri.
 
Ia memperkirakan bahwa setiap hektar sawah akan menghasilkan 6 hingga 10 ton jagung. Syaratnya tanaman jagung harus dirawat dengan sungguh-sungguh, mulai dari pemupukan hingga pengairan.
 
“Bekerja apapun, tidak bisa setengah-setengah. Jika setengah-setengah, hasilnya juga setengah,” kelakarnya.
 
Sementara itu, dikonfirmasi terpisah, Presiden Direktur PT BCA, H Slamet Sulistyono,  menegaskan kerja sama yang ditawarkan kepada petani adalah salah satu cara untuk mendongkrak produksi jagung  nasional. Diakuinya, meskipun produksi jagung nasional dalam 5 tahun terakhir meningkat rata-rata 12,49 persen per tahun, bahkan tahun 2018 sudah mengalami surplus, namun semakin banyak produksi jagung, semakin baik. 
 
“Walaupun misalnya, secara nasional, stok jagung surplus, saya yakin tidak akan berpengaruh pada stabilitas harga. Pemerintah juga sangat memperhatikan nasib petani jagung. Toh surplus jagung bisa diekspor dan sudah diekspor,” jelasnya.
 
Namun yang juga penting dari program kemitraan itu adalah agar petani tidak lagi memandang jagung sebagai tanaman kelas tiga. Menurut H Slamet, tidak elok jika Indonesia sampai kekurangan jagung. Sebagai negara agraris, sudah seharusnya Indonesia bisa swasembada hasil-hasil pertanian, atau bahkan bisa melakukan ekspor.
 
Selain dengan Ustadz Syukri, H Slamet juga menjalin kemitraan dengan puluhan petani pemilik lahan di berbagai pelosok Jember. Luas lahannya juga beragam mulai satu  1 hingga lima hektare.
 
Saat ini pemerintah menjadikan jagung sebagai salah satu komoditas pangan utama yang diprioritaskan untuk dikembangkan. Hal ini tentu sangat terkait dengan kesadaran petani yang masih perlu dipacu untuk ‘mencintai’ jagung. Namun jika harga jagung terus terjaga dalam posisi stabil, dengan sendirinya itu merupakan kampanye gratis bagi sosialisasi tanaman jagung. Jika itu terjadi, bukan tidak mungkin Jember tidak hanya bertengger di posisi kedua sebagai daerah penghasil jagung terbesar di Jawa Timur, namun bisa melesat ke posisi pertama mengalahkan dominasi Kabupten Tuban. 
 
Dan apa yang dilakukan oleh H Slamet bersama Ustadz Syukri dan petani lainnya merupakan langkah nyata untuk mempromosikan tanaman jagung sekaligus menggugah kesadaran petani terkait prospek komoditas pangan yang satu ini.
 
 
Pewarta: Aryudi AR
Editor: Ibnu Nawawi