Nasional

Sebesar Apa Pun Godaan Politik, Khittah NU Harus Tetap Diperkuat

NU Online  ·  Selasa, 7 Agustus 2018 | 18:00 WIB

Jakarta, NU Online
Wakil Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Masduki Baidlowi mengatakan, saat NU memutuskan untuk kembali ke Khittah 1926, banyak godaan yang menghampirinya. Terutama praktik-praktik politik praktis. 

Sebagai ormas dengan jumlah anggota terbesar, banyak politisi dan partai politik berebut untuk mendapatkan simpati dan dukungan NU. Oleh karena itu, semangat berkhittah harus tetap diperkuat agar NU tidak terjerumus ke dalam praktik politik praktis.   

“NU ketika berkhittah menjadi rebutan para partai politik itu sudah sejak dahulu kala,” kata Masduki saat dihubungi NU Online, Selasa (7/8).

Ia menceritakan, pada zaman KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur menjadi ketua umum PBNU dan usai keputusan ‘Kembali ke Khittah 1926 disahkan, godaan akan politik praktis juga begitu deras dan besar. 

“Sebagai Ketua Umum PBNU saya (Gus Dur) duduk-duduk di bawah pohon beringin (Golkar), rencananya mau sembahyang menghadap Ka’bah (PPP), tiba-tiba diseruduk banteng (PDI),” kata Masduki menirukan Gus Dur untuk menggambarkan betapa besar godaan politik praktis bagi NU saat itu.

(Baca juga: KH Sahal Mahfudh: Khittah 1926 Bukan Sekedar NU Menjauhi Politik Praktis, Tapi...)


Ia menuturkan, Khittah NU 1926 lahir pada saat rezim Orde Baru dimana kebebasan begitu dikekang. NU dilarang masuk ke wilayah politik karena memiliki massa yang kuat, terutama di tingkatan akar rumput. 

“Lalu NU membaca itu dan dirumuskan lah Khittah NU 1926 itu,” ucapnya.

Dengan Khittah NU 1926, lanjutnya, KH Abdurrahman Wahid (Ketum PBNU) dan KH Achmad Siddiq (Rais Aam) berhasil menjadikan NU sebagai kekuatan masyarakat sipil yang diperhitungkan pada era Orde Baru yang represif. Di satu sisi, NU berhasil melakukan kritik atas kebijakan-kebijakan negara yang tidak pro-rakyat. Di sisi lain, NU juga mencerdaskan Nahdliyin dalam hal politik.  

“Kalau kita membaca Khittah NU dengan berbagai konteks, baik konteks Orde Baru, awal reformasi, atau sekarang, maka yang harus dibaca adalah relasi NU dalam hubungannya dengan negara,” urainya.

Sementara pada saat memasuki era reformasi yang bebas dan terbuka, imbuh Masduki, Gus Dur mengamalkan Khittah NU dengan cara yang berbeda. Gus Dur mendirikan partai politik sebagai sebuah kekuatan bawahan NU untuk mentransformasikan bidang pendidikan, politik, dan ekonomi.

“Dalam konteks ini, sampai saat ini boleh dikata visi misi ketika partai itu didirikan gagal atau belum berhasil. Karena partai ini mestinya menjadi subordinat, alatnya NU, bukan sebaliknya,” jelasnya.

“NU harus bermain strategis dalam hubungannya dengan negara. Visi misi NU adalah bagaimana mentransformasikan rakyat Indonesia baik secara pendidikan atau ekonomi,” jelasnya.  

Paham keagamaan dan kebangsaan

Masduki menuturkan, aspek lain dalam Khittah NU 1926 yang tidak kalah penting adalah bagaimana mempertahankan dan mempertajam paham keagamaan yang sudah berkembang dari ancaman paham trans-nasional yang ingin mengubah dasar dan bentuk negara Indonesia. 

“Bagaimana NU menjadi bemper negara dalam konteks paham keagamaan dan kebangsaan,” terangnya.

Dalam hal ini, sambungnya, NU harus terus berinovasi untuk mendakwahkan paham keagamaannya sesuai dengan zamannya. Strategi dan metode dakwah harus terus dikembangkan, tanpa meninggalkan model lama yang sudah ada. 

Saat ini dunia memasuki era digital atau internet, masyarakat, terutama generasi milenial, mendapatkan informasi apapun dari internet. Ini bisa menjadi medan NU dalam berdakwah. 

“Bagaimana berdakwah di kalangan milenial itu, masuk di situ. Ini adalah tantangan yang tidak kalah penting. Ini adalah sebenarnya hal lebih riil untuk dihadapi NU dalam konteks berkhittah,” jelasnya. (Muchlishon)