Nasional

Santri Jombang Minta Barat Evaluasi Kebebasan Berekspresi

NU Online  ·  Ahad, 30 September 2012 | 05:44 WIB

Jombang, NU Online
Amerika Serikat (AS) dan negara Barat lainnya perlu mengevaluasi kebebasan berekspresi mereka supaya sesuai dengan International Covenant on Civil and Political Right (ICCPR).<>

“Pasal 21 yang menyatakan bahwa ada larangan terhadap ekspresi yang menyebarkan kebencian, diskriminasi dan penghasutan tindak kekerasan,” Demikian salah satu butir rekomendasi Mahasiswa Ma’had Aly Hasyim Asy’ari dalam diskusi bersama Pengasuh Pesantren Tebuireng KH Salahuddin Wahid (Gus Sholah) pada 25 September 2012. 

Diskusi terkait protes keras dunia terhadap film Innocence of Moslems. Forum lebih luas menyoroti kasus tindakan penghinaan terhadap agama Islam yang dilakukan oleh beberapa kelompok di sejumlah negara seperti karikatur di Perancis dan Jerman dan yang paling aktual yaitu film Innocence of Moslem di Amerika Serikat.

Akibat tindakan penghinaan itu, di Libya, dilaporkan Duta Besar Amerika Serikat, Christopher Stevens, terbunuh karena sikap anarki massa. Di Jakarta, kedutaan Amerika Serikat dilempari batuoleh kelompok FPI. Gerai McDonald’s di Makassar juga dirusak. Pemerintah AS sudah meminta maaf, bahkan menahan pembuat film Innocence of Moslems,  tetapi terlambat ketika aksi kekerasan telah terjadi.

Dalam rilis pers yang diterima NU Online, Mahasiswa Ma’had Aly Hasyim Asy’ari mengingatkan, penghinaan terhadap Rasulullah SAW ada sejak zaman beliau hidup. Seperti ketika beliau di Thoif dilempari batu, diludahi dan berbagai macam sikap sinis lainnya. Akan tetapi sikap Nabi ialah bersabar. Bahkan beliau mendoakan kepada mereka Allahummahdi qawmi fainnahum la ya’lamun” (Wahai Tuhanku berilah petunjuk kepda kaumku karena mereka belum tahu). Alhasil tidak ada sikap benci atau pembalasan dari Rasulullah SAW.

Pasca zaman nabi, para ulama kemudian merumuskan sebuah hukumsabbunnabi (menghina nabi). Maka dalam kitab-kitab klasik disebutkanbahwa orang yang menghina Rasulullah SAW hukumnya dibunuh, baik itumuslim ataupun bukan. Pendapat ini dikutip Ibnu Mundzir dari Imam Ahmad, Malik, Syafii, Laits, Ishaq dan Ibnu Taimiyyah yang bertendensipada firman Allah surat At-Taubah ayat 61-66 dan Al-Ahzab 57.

“Menurut hemat kami, hukum diatas hanya berlaku di negara Islam yang sepenuhnya memberlakukan hukum Islam. Dan harus dilakukan melalui proses hukum di pengadilan. Jika hukum ini memang ingin diterapkan maka yang dihukum mati ialah  produser film Innocence of Moslems, bukan tindakan membunuh Dubes AS di Libya diluar proses hukum. Ini kesalahan besar jika mereka yang tidak menahu tiba-tiba terjerat hukum bahkan sampai terancam nyawanya,” demikian dalam rilis pers tersebut.

Opsi lain jika memang hukum “dibunuh” ingin diterapkan bukan berarti dibunuh jasadnya, akan tetapi sifat dan perbuatan menghina nabi ditiadakan. Bisa dengan himbauan dari pimpinan negara dan tokoh agama akan kesadaran pribadi. Dengan demikian akan tercipta umat beragama yang saleh baik dalam ranah ritual, sosial maupun individual.

Meski demikian Mahasiswa Mahad Aly Pesantren Tebuireng menilai film Innocence of Moslems, sangat idak layak untuk diproduksi, dipublikasi maupun disaksikan. Produser film dan pihak-pihak yang terkait di dalamnya harus bertanggungjawab secara hukum.



Redaktur    : A. Khoirul Anam
Kontributor: Fathurrahman Karyadi