Nasional RUU PESANTREN

RUU Pesantren, Pengakuan Negara yang Belum Tuntas

Jum, 28 September 2018 | 12:50 WIB

Jakarta, NU Online 
Abdul Waidl dari Pengurus Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah Nahdlatul Ulama (RMINU) menilai, Rancangan Undang-Undang (RUU) Pesantren dan Pendidikan Keagamaan belum memberikan pengakuan kepada pesantren secara tuntas. Secara umum, RUU itu masih berkutat pada dua hal, yaitu formalisasi dan anggaran.

Menurutnya, harusnya RUU tersebut memberikan pengakuan lebih besar lagi terhadap pesantren sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional yang khas, mandiri, dan setara posisinya dengan lembaga pendidikan formal yang selama ini diakui negara.

“Begitu banyak pasal yang harus ditambahkan, belum mencakup secara detail soal keilmuan, perspektif, kekhasannya; yang ada justru terlalu teknis,” kata Koordinator Bidang Kelembagaan dan Advokasi Abdul Waidl pada diskusi terbatas di Kantor Redaksi NU Online, Gedung PBNU, Jakarta, Jumat (28/9) sore. 

Makanya, kata Waidl, para kiai pondok pesantren masih ada yang meminta menundanya. Karena kalau terburu-buru, tujuan baik dari RUU itu bisa mengakibatkan dampak yang kurang baik dalam jangka panjang. Adanya ketentuan akreditasi dan ujian nasional di RUU bisa jadi akan menggerus kelhasan pesantren karena belum jelasnya standar yang digunakan.

Pasal-pasal yang ada di RUU itu yang menyangkut kurikulum malah terlalu teknis. Seharusnya kurikulum terletak pada frame bahwa pesantren harus punya ajaran moderat, cinta tanah air. 

Pada pasal fungsi pesantren di RUU itu, menurut Waidl, juga tidak dibahas fungsinya sebagai lembaga dakwah dan permberdayaan masyarakat secara rinci. Yang dominan masih pada pesantren sebagai lembaga pendidikan.

Pesantren, menurut RUU itu masih sebatas mata pelajaran, tidak sampai menempatkan sebagai lembaga pendidikan utuh dengan segala kekhasan, keilmuan, perspektif, dan yang lainnya.   

Hal itu, sambungnya karena RUU Pesantren tidak dibahas secara detil dan panjang melibatkan banyak pihak. Seharusnya dilakukan sebagaimana UU Desa yang digodok bertahun-tahun melibatkan perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, dan pihak-pihak terkait. Sehingga hasilnya memuaskan. 

Memang, lanjutnya, RUU Pesantren sudah dilakukan sejak 2013, tapi sering kali terhenti, diusulkan lagi, terhenti lagi. Bahkan kalangan pesantren sendiri tidak banyak yang tahu. 

RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan digodok DPR RI Komisi VIII. Saat ini RUU itu pada tahap penjadwalan di badan musyawarah (bamus). Kemudian akan diagendakan untuk disahkan pada rapat paripurna. 

Bagi RMINU RUU itu merupakan pengakuan negara terhadap pesantren sebagai lembaga pendidikan tertua di Indonesia yang jumlahnya sangat besar dan masih eksis hingga sekarang. 

Saat ini, ia memperkirakan ada sekitar 28.000 lembaga pendidikan pesantren yang masih hidup dengan jumlah santri sekitar 4-5 juta orang. Sehingga wajar ada inisiatif dari DPR RI untuk melakukan rekognisi. 

Jasa pesantren, lanjutnya, sejarah mengatakan, para santri dan kiai turut serta dalam mengusir penjajah, merebut kemerdekaan dan mengisinya. Tak sedikit pemimpin yang lahir dari pesantren. (Abdullah Alawi)