Nasional

RMI PBNU Jelaskan Persoalan Penggunaan Teknologi Keuangan di Pesantren

Rab, 31 Maret 2021 | 16:55 WIB

RMI PBNU Jelaskan Persoalan Penggunaan Teknologi Keuangan di Pesantren

Salah satu yang masih menjadi persoalan adalah karena tidak semua pesantren mendapat informasi tentang Fintech. (Foto: TVNU)

Jakarta, NU Online
Wakil Ketua Rabithah Maahid Islamiyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (RMI PBNU) Lora Hatim Ghazali menjelaskan berbagai persoalan penggunaan teknologi keuangan atau financial technology (Fintech) di pesantren.

 

"Penggunaan Fintech di kalangan pesantren, masih belum masif sebenarnya. Walaupun integrasi atau infiltrasi fintech ke pesantren sudah mulai berjalan. Di beberapa pesantren sudah ada, tetapi masih jauh belum masif,” ungkap Hatim dalam tayangan galawicara bertajuk Prospek Financial Technology untuk Pesantren di TVNU, pada Rabu (31/3) sore.  

 

Salah satu yang masih menjadi persoalan adalah karena tidak semua pesantren mendapat informasi tentang Fintech. Persoalan lain, terdapat resistensi dari kalangan pesantren untuk menggunakan Fintech karena menganggap akan mengubah banyak struktur dan sistem yang sudah tertata. 

 

“Jadi, di satu sisi pesantren harus terbuka dengan kemajuan yang sangat pesat di dunia Fintech ini, tetapi di sisi lain harus ada upaya mitigasi beragam potensi masalah yang muncul karena Fintech. Salah satunya adalah perubahan tradisi,” tutur Hatim. 

 

Selama ini, ketika seseorang melakukan sowan ke pengasuh pesantren maka dibawalah hasil bumi. Dikhawatirkan, jika orang-orang pesantren benar-benar menggunakan Fintech maka akan terjadi perubahan kultur. 

 

“(Misalnya) tiba-tiba, di depan rumahnya kiai ada barcode. Itu jadi sesuatu yang lucu dan masih belum common (umum), sehingga itu masih menjadi sesuatu yang menantang agar Fintech ini bisa masuk ke dalam dunia pesantren,” tuturnya dalam tayangan galawicara yang dipandu oleh Host TVNU Ahmad Rozali ini.

 

Meski begitu, saat ini sebagian besar pesantren di Indonesia sudah banyak memanfaatkan kemajuan teknologi di bidang finansial. Seperti persoalan transaksi pembayaran sekolah, pondok, dan asrama.

 

“Tetapi porsinya masih sangat sedikit. Jangankan 50 persen, 10 persen pesantren yang menggunakan fintech masih belum sampai. Masih sangat kecil sekali, walaupun potensinya sangat besar. Ada 18 juta santri dan 28 ribu pesantren lebih,” jelas Hatim.

 

Hatim menjelaskan, saat ini RMI PBNU sedang melakukan kerja sama dengan amazon web services selama satu tahun ke depan. Kemudian akan mendistribusikan 100 laptop untuk master trainer dan master teacher dengan berbagai pelatihan yang diadakan. 

 

“Outputnya sangat jelas, karena bicara soal cloud computing. Jadi kita menyambut dan sudah mulai mempraktikkan revolusi industri itu. Dimulai dengan piloting (uji coba) di 100 master teacher itu,” jelasnya. 

 

Rencananya, terobosan besar yang sedang dilakukan RMI PBNU itu akan melahirkan sebuah produk uji coba dalam bentuk platform. Kemudian platform tersebut dimanfaatkan untuk membuat database dan menghitung aset pesantren dengan menggunakan cloud computing atau sejumlah aplikasi. 

 

Sementara itu, Sekretaris Lembaga Ta’lif wa Nasyr (LTN) PBNU Savic Ali menekankan, penggunaan Fintech akan jauh lebih efisien karena dapat memangkas waktu dan biaya. Namun, harus diakui juga bahwa masih ada problem terkait security atau kemanannya. 

 

“Saya pikir, security memang masih menjadi isu di dunia digital secara umum. Sama dengan pembayaran di marketplace ya. Dulu, ada orang yang merasa rekening di marketplace-nya berkurang. Jadi memang ini sangat efisien, tetapi mungkin karena masih baru, jadi masih ada problem security yang belum terpecahkan,” kata Savic. 

 

Menurutnya, Fintech ini sangat dibutuhkan oleh kalangan pesantren karena terdapat banyak keunggulan jika dibandingkan dengan perbankan. Di Fintech, kata Savic, tidak ada sama sekali biaya charge ketika melakukan transaksi. Kalaupun ada, biayanya sangat kecil.

 

“Kita kalau kirim uang lewat bank sekarang ada biaya Rp6500. Tapi kalau di Fintech biayanya jauh lebih rendah dari itu,” tutur Direktur NU Online ini. 

 

Hal senada juga disampaikan oleh Koordinator Sub Direktorat Perekonomian I Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo) Eko Slamet Riyadi. Ia menyatakan, potensi pesantren di Indonesia sangat besar untuk bisa menguasai dan mempergunakan Fintech sebagai alat transaksi. 

 

“Lebih dari 28 ribu pesantren di Indonesia dan lebih dari 18 juta santri. Itu kan potensi luar biasa yang seharusnya di kalangan pesantren juga bisa mengelola itu sebagai sebuah pasar sekaligus sebagai awak untuk menggerakkan Fintech di internal pesantren,” katanya.

 

“Saya lihat kemampuan teman-teman kita di pesantren luar biasa, hampir di semua bidang juga sudah mereka kembangkan, termasuk di lingkungan Informasi dan Teknologi (IT),” imbuh Eko.

 

Ia menegaskan, pemerintah akan terus mendukung pesantren, terutama di bidang pengembangan infrastruktur Fintech. Kemenkominfo sendiri diakuinya akan selalu mengawal pengembangan Fintech di Indonesia. 

 

Pewarta: Aru Lego Triono
Editor: Kendi Setiawan