Nasional

Rebo Wekasan, Keyakinan Hari Bala dan Anjuran Shalat

Sel, 5 Oktober 2021 | 01:00 WIB

Jakarta, NU Online

Hari Rabu terakhir di bulan Safar diyakini menjadi hari turunnya bala bencana di bumi. Hal tersebut disampaikan Abdul Hamid Quds dalam kitabnya Kanzun Najah Was-Surur fi Fadhail Al-Azminah wash-Shuhur bahwa para wali mengatakan Allah swt menurunkan 320 ribu bala bencana di bumi pada hari Rabu terakhir di bulan Safar. Hari itu dikenal dengan sebutan Rebo Wekasan.

 

 

Namun, Muktamar Ketiga NU menetapkan tidak mempercayai adanya hari naas. Keputusan ini didasarkan pada pandangan Syekh Ibnu Hajar al-Haitamy dalam Al-Fatawa al-Haditsiyah berikut.

 

"Barangsiapa bertanya tentang hari sial dan sebagainya untuk diikuti bukan untuk ditinggalkan dan memilih apa yang harus dikerjakan serta mengetahui keburukannya, semua itu merupakan perilaku orang Yahudi dan bukan petunjuk orang Islam yang bertawakal kepada Sang Maha Penciptanya, tidak berdasarkan hitung-hitungan dan terhadap Tuhannya selalu bertawakal. Dan apa yang dikutip tentang hari-hari nestapa dari sahabat Ali kw. Adalah batil dan dusta serta tidak ada dasarnya sama sekali, maka berhati-hatilah dari semua itu," (Ahkamul Fuqaha’, 2010: 54).

 

Disunnahkan shalat?

Untuk menjaga diri agar terhindar dari bahaya tersebut, ulama menganjurkan Muslim agar melaksanakan shalat sunnah. Shalat ini bukanlah shalat khusus untuk hari Rebo Wekasan. Sebab, tidak ada anjuran demikian dalam hadis. Namun, shalat sunnah yang dilaksanakan adalah shalat sunnah mutlak.

 

KH Muhammad Djamaluddin Ahmad menganjurkan agar setiap rakaat setelah al-Fatihah, dibaca surat al-Kautsar 17 kali. Lalu, diikuti surat al-Ikhlash 5 kali, surat al-Falaq dan surat an-Naas masing-masing sekali.

 

 

Senada dengan Kiai Jamal, Syekh Abdul Hamid menganjurkan agar melaksanakan shalat sunnah mutlak tanpa bilangan tertentu di waktu-waktu seperti Rebo Wekasan.

 

"Aku berpendapat, termasuk yang diharamkan adalah shalat Shafar (Rebo wekasan), maka barangsiapa menghendaki shalat di waktu-waktu terlarang tersebut, maka hendaknya diniati shalat sunah mutlak dengan sendirian tanpa bilangan rakaat tertentu. Shalat sunah mutlak adalah shalat yang tidak dibatasi dengan waktu dan sebab tertentu dan tidak ada batas rakaatnya." (Syekh Abdul Hamid bin Muhammad Quds al-Maki, Kanz al-Najah wa al-Surur, hal. 22).

 

 

Sementara itu, KH Abdul Kholik Mustaqim, Pengasuh Pesantren al-Wardiyah Tambakberas Jombang menyampaikan ada tiga pandangan terhadap Rebo Wekasan. Pertama, tidak ada nash hadits khusus untuk akhir Rabu bulan Safar, yang ada hanya nash hadits dla’if yang menjelaskan bahwa setiap hari Rabu terakhir dari setiap bulan adalah hari naas atau sial yang terus menerus. Sementara sebagaimana maklum, hadits dla’if ini tidak bisa dibuat pijakan kepercayaan.

 

Kedua, tidak ada anjuran ibadah khusus dari syara’. Ada anjuran dari sebagian ulama tasawuf namun landasannya belum bisa dikategorikan hujjah secara syar’i. 

 

Ketiga, tidak boleh melaksanakan amalan khusus atau shalat Rebo Wekasan, kecuali hanya sebatas shalat hajat lidaf’il bala’ al-makhuf (untuk menolak balak yang dihawatirkan) atau nafilah mutlaqoh (shalat sunah mutlak) sebagaimana diperbolehkan oleh Syara’, karena hikmahnya adalah agar kita bisa semakin mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala.

 

Pewarta: Syakir NF
Editor: Kendi Setiawan